Bab 11. Maju atau mundur

12.2K 679 44
                                    

Tampaknya hari ini Anke sudah bisa pulang, Kondisinya sudah membaik, ia tidak lagi terlihat kesakitan.

Aku menyiapkan segalanya untuk kepulangan Anke kerumah, aku bersyukur anakku tidak kenapa-napa.

Setelah selesai, aku langsung berpamitan dengan Mas Bagas dan Luna, aku juga meminta Mas Bagas tetap disini menjaga Barra.

Dia tidak keberatan karna melihat keadaan Anke yang sudah baik-baik saja, berbanding terbalik dengan keadaan Barra.

Jalanan tidak terlalu ramai, bahkan tergolong sepi, karena gerimis terus bercucuran, membuat beberapa pemotor harus berpanas-panasan dengan jas hujannya.

Sesampainya dirumah aku kelelahan, kurangnya istirahat membuat aku terlelap begitu saja.

Aku bahkan lupa untuk masak makan malam, tiba-tiba saja saat aku terbangun Mas Bagas duduk disebelahku dan membawakan aku semangkuk bubur: Katanya aku kelihatan kurang sehat.

Setelah mengumpulkan nyawa aku memakannya perlahan, walaupun terasa terlalu asin, tetapi aku tetap menyukainya.

"Gimana enak ga? Aku yang masak, minta diajarin mba" harapnya meminta pujian.

"Enak ko!" sambutku semangat.

Iya meladeni dengan senyum manisnya, sembari terduduk pada pinggir kasur. "Tar. Jum'at ini aku ke Makassar ya? ada kerjaan," ujarnya mendadak. Entah dia meminta izin, atau memberi pengumuman secara halus.

Aku memasang mimik malas, "Berapa lama?"

"Seminggu lah. Tapi mungkin hari selasa juga udah bisa pulang, gak terlalu lama ko" pungkasnya.

Aku mendengkus sebal, melipat kedua tangan agak merajuk, "Katanya pulang dari Bali mau disini beberapa hari, ko pergi lagi? Anak-anakmu lagi sakit loh!" tanyaku memancing.

Ia menggosok tengkuknya tak nyaman, "Penting banget nih Tar! Pulang dari makassar deh aku janji" bujuknya dengan nada tak karuan.

Aku beranjak dari kasur, menggeser dia hingga berdiri, "Terserah kamu deh! Aku kenyang makan janjimu" desisku.

Mungkin ada yang berprasangka sama denganku, ini pasti Binar, 'kan? Sudah pasti bukan Makassar, tetapi pernikahannya.

Aku menepuk pundakku berkali kali, mencoba sadar dari mimpi buruk ini, rasanya aku ingin sekali tidak percaya pada Luna, tetapi ini terlalu jelas.

Lagi-lagi aku mengelus, mengapa hidupku seperti tidur yang sangat panjang, diiringi mimpi yang sama sekali tidak ada titik bahagianya: Aku lelah.

Pikiranku kacau, satu-satunya ketenangan adalah anakku, dan aku memutuskan untuk pergi ke kamar Anke, duduk dibangku kecil samping kasurnya.

Tangisku malah pecah, melihat anakku yang bernasib buruk seperti ini, andai dia punya ayah yang lebih baik, kelak mungkin dia tidak akan menangisi dirinya sendiri.

Rasanya aku ingin lepas, tetapi hati memilih untuk menetap, pertimbangan tentang anak selalu menjadi jebakan paling dahsyat.

Rasa tak ingin kalah juga ada, aku tak mau di kalahkan oleh dia yang tak berperasaan, dia yang bahkan akan memulai hidup bahagianya.

Tetapi, bagaimana jika akhirnya aku benar-benar tidak bisa melihat mentari lagi, bagaimana jika aku benar-benar terkalahkan oleh mereka, bagaimana jika aku tak bisa bahagia lagi, dan bagaimana jika aku terjebak selamanya disini: Aku takut.

Pertanyaan-pertanyaan yang tidak aku mengerti bermunculan di dalam diriku, aku bahkan tak punya jawabannya.

Aku juga tidak ingin menjadi wanita lemah, aku tidak ingin dianggap layaknya sampah, tetapi aku harus bagaimana?

Suamiku [TAMAT] || REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang