Bab 17. Memilih jalan

13K 674 75
                                    

Semakin hari kondisiku semakin baik, aku memutuskan pulang kerumah untuk merawat anak-anak yang ku tinggalkan.

Melihat senyuman manis yang terpasang diseluruh wajah orang rumah, sudah membuatku lebih baik lagi.

Aku mencoba tidak berpikir apapun kali ini, melihat Anke yang masih ada dirumah sudah membuatku sangat baik.

Aku memasuki kamarku yang kupikir kosong, ternyata ada suamiku menunggu disofa dekat jendela kamar. "aku sengaja nunggu dirumah, kamu pasti gamau dijemput kan?" ucapnya santai.

Aku diam tak menjawab, tak membenarkan tapi juga tidak menyalahi. Suamiku memberi selembar kertas, "ini surat pemecatan kamu dari kantor, kamu gabisa kerja disana lagi"

Aku mengambil kertas itu dan melihat dengan seksama, "kenapa?" tanyaku bingung.

Ia membalikan tubuhnya, memungguiku, "aku kasihan kalo Dahlia harus ketemu kamu terus dikantor. Lagi pula kamu bisa aja ngebocorin itu demi kehancuran aku!" balasnya tak menatap.

Aku mengepal kertas yang perlahan kusut, diriku yang tak percaya, membuatku marah begitu saja, "kasihan? Aku yang istri kamu loh. Kenapa kamu lebih ngebela Dahlia?" ucapku gemetar.

Ia berbalik melihat kearahku, mata yang tajam, membuat aku tak merasa lagi perasaan cinta yang ku alami selama kurang lebih empat tahun ini, "kamu minta kita selesaikan? Kamu yang minta bercerai, aku udah urus itu tari. Kamu tinggal siap-siap pergi dari sini" ujarnya tega. "aku pastiin kamu gaakan dapetin Anke, aku gamau kamu ngebunuh putriku!" tegasnya.

Tatapku yang tak percaya kini semakin terlihat, pria yang beberapa tahun ini selalu menggenggam tanganku, kini menusukku dengan pisau yang paling tajam.

"aku gaakan kaya gini kalo kamu gamulai duluan, kamu gabisa main-main sama aku tar" sambungnya makin menatap tajam.

Mata kami yang bertemu, semakin membuatku muak, emosiku yang sudah ku tahan sejak lama, akhirnya pecah juga. Aku menampar pipi pria yang dulu bersimpuh karena perselingkuhannya. Tapi kini dia membanggakan hal menjijikan itu.

Hatiku yang sudah digoreskan, kini ia sirami dengan air garam. Setega itu dia ingin membalasku yang memberontak.

Dengan sangat tega tanpa rasa bersalah ia meninggalku didalam kamar yang sangat sunyi, air mataku yang bahkan sudah tidak bisa lagi keluar, membuat hatiku terasa semakin sesak dan menyakitkan.

Pria yang dulu memohon dan meyakini ibuku akan menjadikan ku wanita paling istimewah didalam hidupnya.

Kupikir, kehadiran Luna adalah yang paling sakit didalam hidupku. Tapi nampaknya, ada wanita yang lebih istimewah didalam dirinya.

Pikiranku kacau, tubuhku yang menjadi lemas membuat aku terduduk dengan tatapan kosong. Sikap asli yang dia tampakan, sangat menghancurkan aku yang selama ini bergantung padanya.

"Mentari!" ucapku dalam sepi, menyebut nama yang paling indah yang ibuku berikan. Mengapa aku tidak bisa bersinar terang seperti Mentari. Mengapa hidupku dipenuhi dengan badai yang tiada henti.

Rasa jijik, kecewa, menyesal, sakit, yang begitu menusuk hatiku, membuat aku hampir tak terkendali.

Hal yang paling sakit, yang bisa dirasakan oleh semua orang, adalah tangisan yang sudah tidak bisa bersuara lagi.

"Bunda.. " suara kecil Bayang yang mulai mendekat, anak ini memelukku lagi. Seperti orang dewasa yang mengerti situasi. "bunda jangan nangis terus, Bayang cuma punya bunda" ucapnya lirih.

Saat aku ingin melepas gantungan hidupku pada Bagas, kini ada dua orang yang menggantungkan hidupnya padaku.

Anak-anak ini tidak bersalah, mereka hanyalah korban dari kejahatan orang dewasa.

Dengan lemas aku mencoba mengendalikan diri, aku tak ingin membuat Bayang takut lagi, "bunda gapapa Bayang, kita akan baik-baik saja" bohongku pada gadis kecil ini.

Ia memelukku makin erat, mengisyaratkan bahwa dia memang hanya punya aku. Ibu yang meninggalkan dia, ayah yang bahkan tidak pernah menoleh kearahnya lagi. Hidup ini terlalu keras untuk anak-anak kami.

Aku mencoba beranjak dari dudukku, menyusurin kamar yang terasa sangat gelap saat itu. Aku ingin bertemu Anke.

Memasuki kamar berwarna biru muda itu, yang dihias oleh tanganku sendiri sebelum aku melahirkan. Aku melihat gadisku yang menangis keras, napasnya yang sedikit tersendat membuatku panik tak karuan.

Suamiku datang dengan larinya, membawa anakku pergi dari kamar itu, menuju garasi tempatnya menaruh mobil milik Anke.

Aku mengikuti langkahnya dan masuk kedalam mobil hitam yang dulu dibeli saat Anke lahir. Anke yang semakin menangis membuat kita percucuran keringat.

Rumah sakit yang jaraknya sangat dekat dengan rumahku pun terasa seperti sangat jauh karena kepanikan kita.

Aku hanya bisa menangis memegang tangan anakku yang mulai dingin, suhu badan yang berbeda-beda membuat jantungku berdebar lebih cepat.

Sesaat setelah sampai di UGD, kita berlari menuju ruangan ramai itu, menerobos beberapa orang karena rasa panik yang sangat mendalam.

Dokter-dokter yang sudah pernah menangani Anke, langsung membawanya keruangan tertutup yang diketatkan.

Aku hanya bisa menunggu didepan, berharap mendapat kabar sebaik mungkin dari kondisi anakku.

Perutku yang masih terasa sakit, sudah tidak bisa ku rasakan lagi, fokusku hanya pada satu titik. Anakku.

Setelah menunggu lebih dari dua jam, akhirnya aku dan suamiku diperbolehkan melihat anak kamu.

Selang yang terpasang diseluruh tubuhnya, membuatku semakin merasa sedih. Aku bisa apa untuk anakku.

"kamu liat? Apa kamu masih mau egois, minta Anke tinggal sama kamu?" tanya suamiku yang berdiri tepat dibelakangku.

Aku hanya bisa menutup mataku, melihat kemampuanku yang tidak seberapa, entah berapa banyak biaya yang dibutuhkan. Aku tidak akan mampu.

Benar apa kata suamiku, memaksa Anke untuk tinggal bersamaku nanti, sama saja membunuhnya dengan tangan sendiri.

Aku berbalik menatap mata yang terus melihat tajam padaku, "apa Dahlia bisa ikhlas mengurus Anke kedepannya?" tanyaku diiring air mata.

"senggaknya, Anke masih bisa hidup. Dibanding dia sama kamu!" jawabnya merendahkanku.

Aku sudah tidak masalah lagi direndahkan, aku tidak masalah dia ingin menjelekanku seperti apapun juga. Yang aku pikirkan apa wanita yang ia pilih, bisa dengan ikhlas menerima darah dagingnya.

"kamu masih punya kesempatan tar, kalo kamu mau berbagi dengan Dahlia" ucapnya tanpa merasa bersalah.

Aku segera menggelengkan kepalaku. Harus berbagi dengan sahabat sendiri adalah hal yang sangat tidak bisa aku lakukan dalam diriku, "gaperlu, aku gabisa untuk itu"

"oke, itu pilihan kamu. Silahkan bawa Bayang dan Barra pergi bersama kamu, Anke biar jadi urusan aku" balasnya lugas.

Jika meninggalkan Anke pada Bagas adalah pilihan terbaiknya, aku akan mencoba mengerti.

Mencoba ikhlas adalah hal yang harus aku lakukan saat ini, harus kalah dari hak asuh anakku, harus membesarkan anak dari selingkuhan suamiku. Aku benar-benar hanya harus belajar ikhlas.

Kehidupan ibuku, harus benar-benar terulang dikehidupanku saat ini. Andai saja aku memilih jalan lain empat tahun lalu, mungkin hidupku masih baik-baik saja.

Namun, apa gunanya menyesal hari ini ? Aku sudah berjalan sejauh ini, saat bertemu dengan kedua jalan yang berbeda arah. Aku harus memilih salah satunya.

Berdiam diri ditengah-tengah adalah hal paling bodoh. Entah mati tertikam pisau, atau mati karena kelaparan, itu adalah pilihannya.

*****
To Be Continued

---------


Hii, bertemu lagi sama penulisnya Tari!:*
Ngerasa ga si guys 'Suamiku' lagi sering banget update, padahal biasanya seminggu sekali:D

Pengen ngasih tau aja si, ada anak yang baru netes nih😂 Second Wife judulnya. Mungkin nanti karakter didalam sana bisa masuk kedalam hati kalian, dan teringat didalam pikiran kalian. Seperti halnya Tari yang cengeng, Bagas si tukang selingkuh dan korban sumpah jelek para pembaca😂 dilengkapi Luna dan Dahlia yang sering membuat Author sendiri kesal.

Udah si segitu aja, cuma mau promo😂 maap banget kalo mengganggu mata kalian, aku sayang banget sama kalian yang udah sering baca Suamiku. Luf!:*

Nanti kita ketemu lagi ya sayangnya aku❤

Suamiku [TAMAT] || REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang