Situasi yang membuatku banjir air mata, rasa tak percaya benar-benar membekukan hatiku. Bagas yang sadar mendatangiku seolah tak bersalah, dengan gugup dia mencoba menjelaskan situasi yang sama sekali tidak ingin aku tau.
Aku kembali berjongkok, menarik rambutku kebelakang dan menahannya, hatiku hancur, lebih hancur dari yang lalu. Wanita yang sama sekali tidak ingin aku lihat, tetapi, dia orangnya.
Orang yang sudah berteman baik denganku selama 18 tahun, mengetahui segala cerita hidupku, dia yang katanya bersyukur karena masih mempunyai aku disisinya.
Apa ini yang pak Budi bilang, ini yang tadinya ingin ku tau, namun bisa membunuhku. Kenapa harus dia, kenapa bukan Sarah, sekertarisnya. Kenapa bukan orang lain ?
Situasi yang sunyi namun mencekam itu, menghancurkan hatiku dengan cepat. Kenapa usiaku yang ke 29 tahun sangat buruk, apa ini tahun sialku? Ini bukan proses pendewasaan kan ?
Aku menutup kedua mataku, masih diposisi yang sama, aku mencoba menghentikan tangisanku, aku mencoba mengendalikan diriku.
"aku khilaf Tari" ujar suamiku bersimpuh, "aku minta maaf"
Aku membuka mata, dengan rasa yang sangat bingung, membuatku tertawa tak percaya. Khilaf? Maaf katanya. Dia benar-benar bukan manusia.
Aku menepuk sebelah dadaku, mencoba menghilangan rasa sesak yang semakin membuatku kehabisan napas. Aku lelah.
Lagi-lagi aku mencoba meyakini diriku untuk lebih kuat, aku bangkit dengan kondisi yang tidak baik sama sekali, "lu ada masalah apa si li? Kenapa suami gua li?" tatapku padanya.
"kasih gua kesempatan buat bahagia Tar, selama ini lu dikelilingin sama orang-orang yang sayang sama lu. Tapi gua ga Tar" jawabnya menatap melas.
"lu punya ibu yang sayangnya luar biasa sama lu, lu punya adek yang selalu ngerangkul lu, lu bahkan punya Bagas dan Anke. Gua gapunya siapa siapa Tari, tolong izinin gua sekali aja buat bahagia, dan gua bisa dapetin itu dari Bagas" sambungnya.
Aku memasang wajah tak percaya, seharusnya Dahlia tau, dia punyaku, dia tak perlu memiliki suami sahabatnya dengan dalih yang tak jelas.
Tanganku mengepal menahan emosi, rasa yang benar-benar membunuhku, kini ada dihadapanku.
"gausah jual cerita sedih lu demi dapet empati! Lu bahagia atau nggak, perselingkuhan lu sama Bagas tetep aja gabener" bentakku.
Tangisnya pecah, seolah memojokkan aku yang egois, entah permainan apa yang sedang ia mainkan, itu benar-benar membuatku muak.
"tolong bagi Bagas buat gua Tar, kita cuma harus berbagi. Bagas pasti bisa adil!" ujarnya.
Perkataannya benar-benar membuatku tak terkendali, lagi-lagi itu membuatku tertawa tak percaya, "adil? Lu liat dua anak yang ada dimobil gua.. " jariku mengarahkan matanya, "lu pikir itu anak gua? Itu anak selingkuhannya Bagas. Lu bodoh li kalo lu naruh harapan kebahagiaan lu sama Bagas" jelasku lantang.
Mimik wajahnya berubah seperti tak percaya, orang yang dia anggap menyayangi dia, tanpa dia tau bahwa orang itu adalah penjahatnya.
"kalo gua aja yang sabar bisa kalah, gimana sama lu? Gua yang masih punya banyak orang yang sayang sama gua, bisa sesakit ini. Mencintai Bagas sama aja bunuh diri" lanjutku.
Bagas menggapai tanganku yang sudah mengepal sedari tadi, dia mencoba membawaku pergi dari situasi ini.
"PEMBOHONG! LU PEMBOHONG TARI! Lu cuma gamau ngebagi Bagas kan?" teriak Dahlia mendorongku.
"kita liat li, gimana lu kedepannya. Itu semua tergantung sama pilihan lu!" jawabku berusaha tenang.
Dahlia lagi-lagi mendorongku cukup keras, punggungku yang terbentur pintu mobil membuatku jatuh duduk ditempat.
Darah mengalir dari balik rok ku, darah kental yang membuatku pun terkejut. Tiba-tiba perutku sakit tak karuan.
Bagas menggendongku bergegas membawa kemobil, Dahlia yang masih berdiri diposisinya dengan tatapan kosong, membuat Bagas semakin emosi.
Dengan kecepatan penuh dia membawa aku ke UGD terdekat, rasa cemas yang kita alami benar-benar merusak suasana.
Beberapa dokter menghampiri, aku yang tidak sadar, harus terbangun keesokan harinya, didalam kamar yang cukup luas.
Aku membuka mata pelan-pelan, kepalaku yang pusing membuat semakin berat untuk melihat.
Dengan penglihatan yang belum jelas, aku melihat sesosok lelaki yang duduk disamping bangsal rumah sakit ini.
Dia menaikan bangsalnya agar aku bisa diposisi setengah duduk, dia suamiku, dia Bagas, yang membawaku malam itu.
Menyadari bahwa kondisiku yang sudah mulai sadar, dia memegang punggung tanganku dengan kedua tangannya, "kenapa gabilang si tar kalo kamu lagi hamil" tanyanya berlinang air mata.
"ha-hamil?" tanyaku bingung, "Anke baru tiga bulan, mana mungkin aku hamil?" sambungku masih tak percaya.
"kita kehilangan janin kita Mentari, kita kehilangan adiknya Anke" jawabnya penuh air mata.
Mataku membelalak tak percaya, aku tidak merasa hamil. Tapi, ternyata ada satu janin yang terkandung didalam rahimku.
Janin yang baru berusia tiga minggu itu, harus kurelakan kepergiannya. Ketika dokter yang memberi tahuku, tangisku semakin pecah. Aku kehilangan anakku.
Aku menangis sampai kehabisan napas, dadaku yang semakin sesak seperti memojokanku pada suatu dinding berpaku.
Tatapanku kosong, aku masih tidak percaya dengan yang terjadi hari ini. Pukulan keras bagiku, yang kupikir juga memukul hati suamiku.
Lagi-lagi aku mencoba mengendalikan diri, mencoba memberi tameng untuk diriku, "kita selesaiin disini aja mas" ucapku gugup.
"selesaiin apa tar?" tanyanya bingung.
Aku mencoba menghapus airmataku yang terus mengalir dipipi, menatap dalam mata yang sudah lama tidak ku tatap, "aku cuma minta Anke, kita bercerai saja.. " pintaku yakin, "aku gaakan bawa perselingkuhan kamu kepengadilan, yang penting kamu biarin Anke tinggal sama aku" lanjutku.
Mimik wajah yang berubah membuatku menerka bahwa dia terkejut oleh ucapanku, "kamu yakin ? kamu bisa biayain Anke? Apa Kamu tau, kalo Anke punya kelainan jantung"
Situasi berubah, aku yang lebih terkejut kali ini. Aku tidak tau bahwa saat Anke masuk kerumah sakit, dokter memberi tau tentang apa yang terjadi dengan Anke.
Aku mencoba mengingat, yang ada diingatanku, hanya saat aku datang kekamar Barra, mungkin saat itu.
Suamiku melepas genggaman tangannya dari tanganku, "tanpa aku kamu gabisa ngebiayai Anke tar. Kalo kamu bawa Anke pergi, aku gaakan kasih kamu harta sedikitpun, aku hanya memberi kewajibanku yang tak seberapa!" tegasnya.
Aku seperti ditampar oleh tangan halus, suamiku yang dulu sangat baik, kini benar-benar berubah menjadi iblis.
Kepercayaan diri yang sudah kuusahakan sedemikian, runtuh begitu saja, saat aku tau bahwa aku tidak akan pernah bisa membiayai anakku.
Ditambah Bayang dan Barra yang menambah bebanku saat ini, membuatku semakin tertekan dengan keadaan runyam ini.
"kamu bisa terus berbagi kan tar? Demi ketiga anak kita" ujar suamiku agak gugup.
"nggak, anakku cuma satu. Dua anak itu milik kamu, yang Luna titip sama aku" tolakku keras.
"kamu ko sekarang gini tar? Kamu udah gamau hidup enak ya?"
Lagi-lagi aku tak percaya, ucapan yang sama sekali tidak berbobot itu membuatku semakin muak dengan kehadirannya, "aku bisa bahagia tanpa harta kamu" ucapku tegas.
"iya, tapi bukan tanpa Anke kan? Kalo kamu emang milih bercerai, aku akan urus secepatnya" ucapnya tengil. "aku gaakan pernah ngasih Anke ke kamu" lanjutnya meninggalkan ruangan ini.
Dadaku sesak tak percaya, kini dia benar-benar terlihat tak punya hati. Rasanya saat itu aku ingin sakit menusuknya hingga tewas.
Kekayaan yang ia bangga-banggakan sama sekali tidak membuatku iri, tetapi, Anke.
Bagaimana bisa aku hidup tanpa anak yang lahir dari rahimku ? Atau, bagaimana bisa aku membiayai Anke kedepannya.
Aku selalu ingin yang terbaik untuk putriku yang paling istimewah. Hanya itu.*****
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku [TAMAT] || REVISI
Chick-Litketika dihadapan tuhan kita sudah mengikat janji untuk sehidup semati. Namun, apa daya jika kenyataan membawaku ke pernikahan yang menyakitkan. -Mentari Kusumawardi _______________________ Sedang dalam masa revisi bersekala besar, mohon maaf untuk k...