Selama beberapa minggu setelah aku tahu soal Binar dari Luna, aku meyakini diriku. Aku ingin berubah, aku ingin mengetahui lebih banyak, dan memperbaiki sedikit demi sedikit.—Hari ini cukup mendung, dihari pertamaku bekerja lagi dikantor suamiku; Aku terus meminta untuk kembali bekerja, aku bilang bahwa hidupku sepertinya terlalu monoton.
Semenjak aku menikah, aku hanya menjadi seorang wanita yang tinggal dirumah, memasak untuk suami, menemaninya tidur, mengurus anak.—Awalnya tidak diizinkan, karena Anke, tetapi aku tau, bukan karena Anke; mungkin ada lebih banyak rahasia yang belum terungkap.
Aku berdiri di depan kantorku, yang sudah setahun setengah tidak ku datangi.—Tempat dimana aku bertemu suamiku, tempat dimana kita memulai cerita kita.
Aku gugup setengah mati, aku takut, takut pekerjaanku tidak stabil, karena sudah lama sekali mengnganggur.
Dengan segenap rasa yang kupulihkan, aku masuk kembali ke dalam divisiku yang lama, posisi manager yang dulu kududuki, sudah diambil alih oleh sahabatku, Dahlia.
Aku membuka pintu ruangan dengan rasa gugup, langkahku kecil, kepala di divisi itu membawaku kedalam
Dia memperkenalkan aku kembali, ternyata dalam waktu dua tahun sudah banyak karyawan baru disini.
Dahlia menghampiriku dan memelukku, dia menerimaku hangat, "Yah Tar, tukeran posisi deh kita" bisiknya.
Aku tertawa kecil, hidup memang berputar. Aku senang sahabatku menempati posisi itu, dia pantas.
Perlahan aku duduk ditempatku, meja yang masih kosong, pekerjaan yang belum datang, membuatku mengutak-atik laptopku sebentar.
Pekerjaan sampai jam istirahat masih biasa saja, masih normal untukku yang baru saja kembali bekerja lagi.
Karena bosan, aku keluar untuk membeli kopi bersama Dahlia, Kita duduk ditempat favorite kita dulu.
Kami sama-sama melihat para karyawan yang sedang berlalu-lalang. Dahlia memulai untuk memecahkan keheningan, "ko lu bisa kerja lagi, Tar? Emang Bagas ngizinin?"
Aku menghela napas berat, "Ya, gitu deh. Gua bosen aja terjebak disitu-situ aja setelah nikah, padahalan dulu gua workaholic," beoku, lagi-lagi aku menghela napas, "Walaupun sebenernya gua gak tega ninggalin Anke," imbuhku.
Dahlia mengikutiku dengan napas beratnya, nada bicaranya kuat namun terasa malas "Hal kaya gini yang bikin gua gamau nikah. Terjebak di satu circle dimana lu dipaksa jadi seorang istri dan seorang ibu diwaktu berdekatan atau bersamaan, tanpa lu bisa ngerasa bebas," keluh Dahlia.
Aku memotong statement, "Gagitu juga si Li. Ya, menikah emang begitu, tapi gaseburuk itu sampe lu harus gamau nikah juga kan," ujarku gemas, "diumur lu sekarang bukannya lu udah cukup mateng ya? Finansial lu juga pasti udah siap, seharusnya gak ditutupin rasa takut, 'kan? Bukannya pas lu dulu kuliah pengen cepet-cepet" imbuhku lagi
"Mentari. Finansial gua siap, umur gua juga udah mateng, tapi apa gua mau menikah hanya karena itu?" sergahnya, "kalo suatu saat gua udah punya anak, terus suami gua selingkuh, gua terpaksa jadi single parent?—Masa gua harus ngulang kehidupan nyokap gua si, Tar?" lanjutnya.
Dahlia terdiam sejenak, tak lama kembali mengeluh. "Lu si enak, ketemunya sama Bagas. Kalo gua ketemunya orang yang salah gimana?"
Aku ikut terdiam, situasi yang Dahlia jelaskan, sama seperti situasiku saat ini, bagaimana bisa Dahlia seperti cenayang.
Dan lagi, aku menghela napas panjang, "gua deh Li yang kayanya ketemu sama orang yang salah," rintihku.
Dahlia melongo, "Salah gimana? Emangnya Bagas selingkuh?" tanyanya terburu-buru
Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam, tak bisa menjawab. Aku menutup mataku, seraya dengan kakiku yang agak kuselonjorkan.
"Bener, Tar?" Ia tak percaya.
Aku memutar bola mataku, membenarkan. Hanya Dahlia satu-satunya orang yang sangat kupercaya untuk pemberitahuan ini.
Dahlia bertanya berkali-kali masih juga tak percaya, aku hanya bisa diam, tidak sepatah katapun keluar dari mulutku saat itu.
"Gua pikir cuma kabar burung," beo Dahlia mendadak.
"Maksudnya?"
"Sekertarisnya. Yang baru.—katanya ada yang pernah liat mereka kissing diruangan suami lu" cetusnya.
Dahlia memang jujur dan lugas, aku bersyukur dia jujur tentang itu, karena setidaknya aku tau hal baru lagi dihari pertamaku.
Aku hampir tersedak saat itu, aku merasa jijik sekali mendengarnya, tetapi, aku hanya perlu bertahan sedikit lagi.
Dahlia merasa bahwa aku kelihatan tidak nyaman, dengan rasa bersalah ia gugup, "Tar, sorry ya. tapi sekertaris suami lu tuh masih bocah, baru duapuluh satutahun. Masa beneran dia?" desisnya emosi.
Aku tersenyum kaku, "Soal itu gua gatau Li, gua juga belum tau siapa, pas gua tau dia selingkuh" jawabku membohongi Dahlia. "Apa gua juga Bakal jadi single parent nanti?" tanyaku sembari mengusap rambut.
"Ga Tari. Jangan! Kasian Anak lu, masa dia harus bernasib sama kaya kita?" protes Dahlia menggebu-gebu.
Aku menutup mata, lelah. "Gua sebenarnya takut banget kalo hidup gua kaya dulu lagi, dua adik gua bahkan belum lulus kuliah, gua juga gamau ibu gua nyari nafkah lagi, sedangkan kalo gua sendiri emang bisa nafkahin semuanya? Ade gua juga baru masuk kerja ditempat yang kecil" timpalku masih mengeluh.
"Nggak Tar! Gaboleh sampe hidup lu kaya dulu lagi, kasian ibu lu," ujar Dahlia tulus.
Aku masih menutup mata, rasanya sangat lelah, aku benci dengan hidupku sendiri. "Andai aja hidup gua seberuntung lu, yang didukung finansial yang cukup dari lu kecil, walaupun ibu lu juga single parent, tapi dia sesukses itu" tundukku.
Dahlia berbalik memotong statementku. "Tar, kehidupan gua baik bukan berarti gua gak punya rasa sakit ko. Mungkin itu kelebihan gua, tapi, apa gua bisa sedeket lu sama ibu lu? Enggak Tar!" protesnya, "Rasa sakit setiap orang itu beda-beda tari, dan cara ngatasinnya pun gak sama.—Kalo gua boleh milih, gua lebih baik disayang dari pada kaya dari lahir" imbuhnya berat.
Argumen Dahlia ada benarnya, walaupun kehidupanku dahulu sangat kelam, tetapi, aku mempunyai ibu yang sangat menyayangiku.
"Li, ada gua ko sekarang disini, mungkin gua bukan ibu lu, tapi rasa sayang gua ke elu ga kalah besar ko Li" seruku menenangkan dia yang terlihat lebih sedih.
"Lu salah satu alasan gua bersyukur, Tar"
Kita terhanyut dalam kesedihan masing-masing, aku yang beberapa tahun lalu masih terlihat sempurna, kinipun punya kekurangan.
Dahlia, si wanita perkasa, si pekerja keras, yang hidupnya tidak pernah kekurangan uang pun, masih ada kurangnya.
Kita hanya manusia, kita bukan dia yang di atas sana, yang punya segalanya. Jadi kekurangan itu seharusnya kewajaran.
Tetapi, apa salahnya jika kita ingin memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam hidup kita, apa salahnya, jika kita menginginkan kehidupan yang jauh lebih baik dari sekarang.
Mungkin manusia memang selalu mempunyai sifat serakah, tetapi, setidaknya bukan ingin mengendalikan dunia.
Itu hal mustahil, kita hanya bisa mengendalikan diri kita, dan aku masih ingin berusaha untuk itu.
Mungkin kita pernah kehilangan diri kita, harga diri, jati diri, hati nurani, pernah. Tetapi, kita harus merebutnya kembali, kita harus berusaha berdiri diatas kaki kita sendiri, lagi.
Kata ibuku.
*****
To Be Contiuned
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku [TAMAT] || REVISI
Chick-Litketika dihadapan tuhan kita sudah mengikat janji untuk sehidup semati. Namun, apa daya jika kenyataan membawaku ke pernikahan yang menyakitkan. -Mentari Kusumawardi _______________________ Sedang dalam masa revisi bersekala besar, mohon maaf untuk k...