Bab 13. Dendam terpendam

12.7K 661 18
                                    

Ini hari keduaku, di jam istirahat aku mendatangi ruangan suamiku, kita sudah janjian sebelumnya.

Aku sempat keliru, sudah lupa tata letak yang ada di dalam perusahaan ini, bahkan memang sudah ada beberapa ruangan yang pindah posisi.

"Bu Tari. Mau keruangan Pak Bagas?" tanya seorang pria usai mendatangiku.

Aku terkejut, aku tidak kenal dia, tetapi aku tau dia ada disatu divisi yang sama denganku. Mataku melirik Idcard yang tergantung dilehernya: Dito namanya.

"Iyaa! Disebelah mana, ya?"

"Ayo. Saya antar" ajaknya sopan.

"Terima kasih, Dito" aku mengucap sambil berjalan dibelakangnya.

Setelah beberapa lama, akhirnya aku sampai di depan pintu ruangan suamiku, Dito meninggalkan aku tepat di depan pintu, aku mengetuk pintunya pelan.

Setelahnya aku membuka perlahan, disana ada satu wanita yang sedang mengurus pekerjaan, sepertinya.

Saat aku masuk, dia langsung pamit pada suamiku, "Sebentar Sarah!" pungkasnya memotong langkah si wanita, "Kenalin, itu Tari istri saya" imbuhnya memperkenalkanku.

Dia menunduk padaku, aku juga menunduk padanya. "Dia sekertarisku yang baru, Tari," sambungnya lagi

Ohh ini, pikirku.

Aku mengangguk pelan, sekertarisnya langsung berpamitan lagi, akupun langsung terduduk di atas sofa dengan sembrono.

"Aku baru tau, kamu punya sekertaris baru. Kirain aku sekertarismu masih Ineke" lontarku menyinggung.

"Ineke menikah tahun lalu, terus dia hamil, jadinya dia berhenti. Sarah juga baru sebulan ini bekerja denganku" dalihnya,"Ohiya! Akhir bulan ini kita ada lelang untuk amal, loh. Kamu pasti bakal kerja lembur, Anke gimana?" imbuhnya berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Ya, 'kan dirumah ada Mba. Dia jadi babysister Anke bukan sehari duahari loh, kenapa juga kita harus ragu,"

Lagi-lagi suamiku berusaha mencari celah, seperti gelisah tiada tara, ia menyentuh beberapa barang tanpa tujuan. "Kamu pindah divisi aja ya? Kamu pasti mau mencoba hal baru, 'kan?" racaunya.

Aku melongo, "Buat apa? Aku udah nyaman. Lagipula dulu aku bekerja disitu, jadi ini udah tempat yang paling oke buat aku" kritikku mengelitik.

Aku bisa melihat betapa gelisahnya suamiku, ia bahkan beberapa kali sempat menggigit bibir bawahnya: ragu. "Jujur aja si, Tar, aku masih gak enak gitu kamu kerja lagi, padahalkan secara finansial aku mencukupi kamu," ujarnya.

Aku menyingkap rambut percaya diri. "Ya, kalo ginikan kita jadi sama-sama sibuk, otakku jadi gak harus kamu aja" celetukku lugas, aku bisa melihat perubahan mimik suamiku yang menjadi sedikit terkejut.

"Tar, are you oke? Ini bukan kamu banget, deh!"

Aku mengangguk untuk jawabannya, "Hidup kamu juga bukan tentang aku dan Anke aja, 'kan? Jadi aku gak salah dong bicara begitu?" tekanku semakin berani.

"Kamu cemburu sama Luna?"

Seketika aku tertawa heran pada pembicaraannya, sekaligus menyeringai tajam, "Kalau keadaan kita balik. Apa kamu gak akan cemburu?" pungkasku tak puas, "Aku gak pernah bilang, 'kan? kalo aku juga gak bisa selingkuh kaya kamu?"

"Tar, seriosly? Kamu jangan sembarangan bicara deh," celanya dengan nada bicara yang berbeda lagi.

Aku acuh, dengan sombong mengngangkat kedua bahuku dan berdiri dari dudukku. "Jam istirahatku udah mau abis" pamitku langsung pergi.

Suamiku [TAMAT] || REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang