Tangisku tanpa sadar membawaku kealam mimpi. Aku tertidur pulas di kamar hangat milik malaikatku.
Suara tangis Anke yang terdengar ditelinga membuatku tersadar dan membuka mata dengan cepat. Mimpiku sampai terbawa dialam nyata.
Aku mengusap wajahku dengan tangan sebelah tangan. Ingatku baru pulih setelah tidak mendengar lagi suara tangis melengking yang hampir memecah gendang telingaku. Anakku tidak ada disini.
Aku melihat keluar jendela dengan matahari yang sangat menyengat. Sinarnya dilengkapi dengan terangnya dalam kamar yang saling menghangatkan.
Aku segera beranjak dari kasur. Tidurku sangat pulas dan nyenyak, setelah beberapa tekanan dienam bulan terakhir tidak pernah membuatku tertidur pulas lagi dirumahku.
Aku membuka pintu kamar dari kayu jati setinggi dua orang berukuran sepertiku. Terang hangat dari sengatan sinarnya membuatku menghirup udara yang terasa tidak menyesakan lagi.
"ayo mba sarapan dulu," ajak Ifan yang baru menuju kamar ibuku. "sarapan?" aku melirik jam yang sudah hampir pukul setengah sembilan, "mba pikir ini matahari sore" lanjutku menggaruk kepala malu.
"mba-mba, udah kaya ga tidur setahun aja!" balas adikku ikut tertawa. Aku mengekori adikku kedapur.
Rizal yang sedang sibuk menggendong Barra, dan Amar yang sedang sibuk merapihkan baju sekolah Bayang. Senyumku melebar melihat adikku yang memang sangat sayang dengan anak kecil. "ada yang bisa anterin Bayang ke sekolah? Mba mau bantuin ibu di toko" ujarku sembari menarik bangku dan duduk dihadapan Bayang.
"Rizal yang anterin mba. sama Syena juga" tanggap Rizal mengangkat tangannya sedikit. "Syenanya ma.." belum habis aku bicara, Syena pacar adikku keluar dari kamar mandi.
"emang kalian ga kuliah?" tanyaku bingung melihat dua insan ini sudah siap mengantar anakku. "kelas malem ka, sekalian aja Barra Syena bawa. Kita mau kondangan dirumah temen aku" jawabnya cepat.
Aku mengangguk pelan, "kalo bisa Bayang ditungguin ya, sekolahnya sebentar doang" tuturku seperti memerintah.
Aku beranjak dari dudukku. "aku mandi dulu," ujarku menuju kekamar ibuku. "MBA MAKAN DULU!" teriak Ifan yang sedang memakai sepatunya diruang depan.
Aku acuh dan tetap meninggalkan, badanku yang sudah gerah dan berkeringat membuatku bergegas membasuh segalanya.
Cukup lama aku baru keluar, seperti biasa. Perempuan.
Aku segera menuju ke toko kue milik ibuku, memakai apron dan siap melayani siapapun yang datang. "Tari kenapa disini?" tanya ibuku bingung.
"bantuin ibu lah, dari pada Tari diem doang. Barra lagi diajak pergi" jawabku sigap berdiri didepan kasir tempat pelanggan memesan.
Beberap berdatangan dengan cepat, toko kue sekaligus kopi milik ibuku memang menjadi favorite banyak anak muda yang ingin berduduk-duduk santai.
Pria tinggi dengan mantel abu-abu berdiri tepat didepan mesin kasir. Aku sigap bertanya seperti biasa, "iya pesan apa?"
"satu Americano" pesannya singkat. "iya cuma itu ajak ka?" tambahku ramah. Ia tak menjawab, yang ia beri hanya uang pas dan satu kartu nama bertulis Dr. Richard.
Setelah membaca aku menatap bingung, tak mengerti apa yang dimaksud. "saya dokter yang ngerawat Anke," ujarnya memberi tahu aku yang tampak kebingungan.
Aku tersadar dan mengajaknya duduk didekat jendela. Antrian yang berbaris panjang membuat aku tergesa-gesa. Aku segera memanggil penjaga kasir yang sebenarnya.
Satu Americano pesannya diantar oleh karyawan ibuku. Aku masuk memegangi kartu nama yang ia beri tadi. "maaf saya ga ngenalin tadi," ujarku menunduk sungkan.
"mana mungkin kamu kenal sama wajah saya. Kemarin terlalu mendesak kan?" balasnya mematahkan perasaanku yang tidak enak padanya.
Aku tersenyum kecil, "keadaan Anke.. Bagaimana dok?" tanyaku gemetar. Ia menyeruput kopi dari cangkir yang sudah ia pegang sedari tadi, "sudah lebih stabil"
Aku menghela napas sedikit lega. Ketakutanku sedikit mereda mendengar kabar sebaik itu. Hal kecil yang ia ucapkan sudah lebih dari cukup untukku.
Aku menunduk menghentak-hentakan kaki canggung. "kamu beneran ga kenal aku Tari?" tanyanya tiba-tiba memecah kecanggunganku.
Aku menatap bingung dengan seksama, tidak mengingat sama sekali siapa orang dihadapanku yang tiba-tiba menghentikan pembicaraan formalnya.
"aku Richard, Tar. Kakak kelasmu di SMA dulu" lagi-lagi ia mematahkan kebingunganku. Aku terkejut tak menyangka, pria dihadapanku adalah Richard Adinugroho. Si berandalan yang suka sekali baku hantam disekolah.
Ia yang pernah meninju salah satu teman sekelasnya karena orang itu menyiramku dengan air yang disengaja.
Dahulu dia sering dibilang naksir aku. Tapi aku menolak keras karena sikapnya yang terlalu bar-bar. Siapa sangka kini ia menjadi seorang dokter.
Aku tertawa tak percaya, "ka-kamu beneran jadi Dokter sekarang?" ungkapku benar-benar terkejut.
Ia menganggukan kepalanya bersemangat, "dulu kamu bilang, kamu gamau sama aku karena aku cuma bisa bikin celaka orang kan?" balasnya mengikuti arusku. "kamu juga bilang kalo aku berhasil jadi manusia yang bisa menyelamatkan orang lain. Aku akan diterima jadi pacarmu."
Aku menutup wajah tak percaya, "itu guyon Richard! Dulu aku cuma sebel aja liat kamu berantem terus!"
"sekarang aku tau. Karena kamu udah milih orang lain" tuturnya tak berani lagi menatap.
Aku masih tak tahan dengan tawa kecilku, rasa terpercaya terus terbayang didalam pikiranku, "ya bagus si kalo kamu beneran terinspirasi jadi Dokter gara-gara omonganku. Kepinteran kamu jadi ga sia-siakan?" balas mencoba memecahkan suasana tegang yang ada didirinya.
"kalo aku tau kamu lebih milih pekerja kantoran, aku gaakan susah-susah sekolah kedokteran buat dapetin kamu," ujarnya mulai tersenyum bercanda.
"aku makasih deh karena kamu beneran jadi Dokter gara-gara aku. Sekarang kamu jadi bisa ambil andil dari kehidupan anakku kan" ujarku benar-benar ingin memecahkan suasana tegang
"harusnya aku datang beberapa tahun lebih awal, kamu gaharus kaya kemarin," ujarnya merendahkan suaranya seraya dengan wajahnya, "maaf kemarin aku ga sengaja dengar pembicaraan kalian"
Aku kembali tertawa kecil, tak ingin menambah bebannya yang merasa tak enak, "gapapa. Salah kami ko yang gak tau tempat."
Mimiknya semakin murung, ditambah merasa tak enak dengan apa yang ia dengar kala itu. Aku mencoba menenangkan dan memahami.
"tolong rawat anakku dengan baik. Dia satu-satunya harapanku"
Ia mengangguk perlahan. Dering telfonnya mengiringi kepalanya yang kian naik turun, "aku dapat panggilan dari rumah sakit. Kalo ada waktu luang aku kesini lagi ya Tari, titip salam buat ibumu. Dari dr. Richard pelanggan setianya"
Aku mengangguk kecil diiring senyum, melihat ia yang terburu menjambet tas dan mantel yang ia taruh dibangku sebelahnya.
Ia melambaikan tangan seiring dengan kepergiannya yang kian menjauh. Aku membalikan lambaian tangan itu.
Aku kembali terduduk. Menarik napas yang paling panjang karena tak tahu harus berkata apa dengan takdir tuhan kali ini.
Seorang wanita datang kehadapanku, menarik bangku dan memecah lamunanku, "Tar. Kita harus bicara."
Aku memfokuskan penglihatanku yang entah tadi melihat kemana. Saat sadar Dahlia tepat ada di depanku, melipat kedua tangannya diatas meja.
Aku berusaha menyembunyikan ekspresiku yang sangat terkejut. Aku mengusap dada pelan, "ada apa lagi?"
"Tar. Apa lu beneran gaada rasa iba sama gua? Kita cuma harus berbagi Tari."
Aku menghentakan telapak tanganku keatas meja, "buang-buang waktu gua tau ga! Sejak kapan si lu ga punya otak? Lu siswa cerdas milik kampus kita dulu Dahlia. Tapi sekarang lu keliatan bener-bener bodoh cuma gara-gara cinta."
"Bagas suami gua Li. Gua sama dia udah punya anak, bahkan ada anak selingkuhannya yang juga harus gua urus. Apa lu tega ngehancurin hidup anak-anak kecil yang gatau apa-apa tentang dosa orang tua mereka. Kita sama-sama wanita kan?" lanjutku merendahkan suara yang kian menggebu-gebu.
Ia menangis seperti terpojok, "kasih gua kesempatan buat bahagia Tar"
"Lu tau apa yang paling buruk dari hidup lu? Akting lu terlalu jelek buat ditampil didepan semua mata orang yang tertuju sama kita berdua. Lagian gua sama Bagas juga bakal bercerai! Itu kan yang lu mau? Berbagi apanya, lu pikir gua bisa berbagi sama perempuan kaya lu?"
Ia kian menutup wajahnya dengan kedua tangan, isak tangis yang kian menaik turunkan bahunya membuat puncak emosiku ada diujung tanduk.
"Bagas gak akan nikahin gua kalo dia harus sampe cerai sama lu Tar"
Aku mengarahkan lidahku kegusi bawahku tak percaya, "Bagas yang bikin malu gua karna ngebelain lu dirumah sakit, dia yang ngusir gua karena lu. Kenapa juga dia gamau nikahin lu"
"jangan gila Dahlia! Lu pikir wanita mana yang siap berbagi sama sahabatnya yang udah lama ada disampingnya. Gua manusia Li! Gua juga punya batasnya. Harusnya lu tau diri!"
Semakin lama banyak mata ditengah toko yang tertuju pada kita yang tak berhenti membicarakan orang yang sama.
Aku meninggalkan ia yang masih larut dalam aktingnya.
Rasa muak yang tak tertahan membuatku mengalah sebelum benar-benar larut dalam pertikaian setan ini.
Dia bukan manusia. Sungguh! Dia merebut milik orang lain seperti ia tak pernah merasa miliknya direbut orang lain.
Padahal hidup kita sama. Kita berjalan diiringi rasa sakit akibat perceraian kedua orang tua kita.
Tetapi. Dia bersikap seolah hanya dia yang butuh kebahagiaan. Dan dia rela menghancurkan kebahagiaan orang lain.
Aku yang bahkan sudah berjalan mundur masih ia tarik untuk masuk kedalam lingkar menyakitkan miliknya yang meminta selalu dipahami.
Bukankah dia juga pernah merasakan betapa sakit hidup dikeluarga yang hancur karena orang ketiga.
Bukankah dia juga pernah menyebut betapa bencinya ia pada orang yang telah merebut ayahnya.
Mengapa kini dia menjadi perebut seperti perbuatan keji orang-orang yang kian menang menghancurkan rumah tangga orang lain.
Usia kita sudah hampir memasuki kepala tiga. Bukankah seharusnya ia lebih dewasa menyikapi dunia yang memang sering kali tak adil.
Sungguh aku tidak mempermasalahkan lagi jika dia benar-benar ingin menikahi suamiku. Aku hanya minta hak milikku selama aku mengabdi sebagai istri, selama aku bertahan sebagai ibu.
Anak yang bahkan menjadi satu-satunya hartaku, dipersulitkan dengan ia yang menekan hidupku karena memberontak padanya.
Aku tau siapa aku. Aku hanya Mentari. Tapi aku juga manusia yang layak mendapat kebahagiaan.
Bukankah dunia memang sangat tak adil bagi kita yang tak punya apa-apa ?
Kenapa dia selalu menyulitkan jalanku. Membelok-belokan sesuka hatinya dan menyiksaku begitu berat.
Entah dosa masalalu apa yang ku perbuat. Ganjarannya terlalu menyakitkan untukku yang berusaha hidup diatas kakiku sendiri dengan menopang banyak nyawa diatas bahuku.*****
To Be Continued
![](https://img.wattpad.com/cover/222640535-288-k285148.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku [TAMAT] || REVISI
Chick-Litketika dihadapan tuhan kita sudah mengikat janji untuk sehidup semati. Namun, apa daya jika kenyataan membawaku ke pernikahan yang menyakitkan. -Mentari Kusumawardi _______________________ Sedang dalam masa revisi bersekala besar, mohon maaf untuk k...