Aku kembali kekantor tepat jam 2 siang, karena hambatan tadi harusnya aku sudah selesai 30menit sebelum ini.
Aku menuju ruang meeting, dokumen yang kupegang memenuhi kedua tanganku. Rasa canggung masih ada antara aku dan Dito, sejak kejadian ditempat parkir tadi, aku dan Dito tidak membicarakan hal lain selain tentang yang kita Survei.
Didalam lift yang cukup membuat sesak, aku menyandar diujung paling belakang, otakku yang masih terus berputar memikirkan hal yang sama membuatku melamun begitu saja. Rekan kerjaku yang menepuk bahuku, membuat aku sadar bahwa kita sudah sampai dilantai yang kita tuju.
Aku membuka pintu kayu jati yang terletak tak jauh dari lift tadi, ruangan yang baru diisi dengan para direktur, dan kepala divisi, memberikan kita waktu untuk bersiap-siap.
Aku menoleh kekiri dan kekanan, merasa ada yang kurang ditempat meeting kali ini, "nyari apa bu?" tanya Reva bingung.
"bu Dahlia kok gaada?" tanyaku pelan.
"bu Dahlia gaikut di meeting kali ini, dia bilang ada acara sama rekannya" jawab Reva membisik.
Aku duduk dibangku samping Reva, dengan tatapan bingung, apa yang Dahlia pentingkan sampai meninggalkan pekerjaan. Perannya kali ini cukup penting, tetapi dia memilih untuk digantikan.
Tak lama dari itu, kita menyambut tamu kita, dan meeting dilaksanakan, lebih dari satu jam kita duduk dibangku, harap-harap cemas semoga ini semua lancar, ada didalam hati seisi ruangan.
Setelah selesai kita semua menarik napas dalam dan meminum air dari botol mineral untuk memecahkan suasana yang tegang. "kita berhasil" kehebohan seisi ruangan meeting membuat suasana mencair.
Client kali ini memang sangat penting, kehadirannya yang bisa membuat perusahaan ini lebih baik tentu menjadi harapan semua karyawan. Mereka yang ingin naik jabatan, tentu mempunyai senyum paling lebar, karena perjalanannya akan lancar.
Ditengah bisingnya ruangan, aku hanya bisa tersenyum melihat kebahagiaan ini, perjuangan yang sama sekali tidak menghianati hasil adalah yang terbaik.
Dengan senyum yang masih melekat pada diri masing-masing, kita mencoba berpisah dan melanjutkan pekerjaan.
Aku kembali ke mejaku, ditemani tumpukan dokumen yang harus diselesaikan secepat mungkin.
"ka Tari, nanti malem ada Dinner buat ngerayain ini. Ka Tari ikut?" tanya Wira rekan meja sebelahku.
"kenapa aku ikut? Itu kan cuma buat direktur aja" tanyaku balik.
"suami kakak pak Bagas kan? Dia kan salah satu direktur diperusahaan ini. Dan Dinner ini juga dihadirin para istri" jelas Wira agak membisik.
Aku bingung namun mengiyakan, Bagas tidak bicara apa-apa tentang Dinner keberhasilan kali ini. Ia bahkan tidak ada diruang Meeting penting itu tadi.
Aku menjamah handphone ku yang sedari tadi tengkurap, mencoba bertanya tentang perayaan kali ini.
*iyaa, kamu mau hadir?*
Balasan yang cukup membuatku bingung, dia hanya bertanya, dia tidak mengajakku, basa-basi yang akhirnya ku tolak, membuatku kembali menaruh handphoneku.
Ditengah kita berdua memang sedang ditumpuki gumpalan es, kita yang sama-sama merasa dingin, membuat peran kita sebagai suami dan istri semakin terasa jauh.
Mungkin sikapku yang kemarin terlalu kelewatan, atau mungkin diantara kita sebenarnya memang sudah sejauh ini. Kemarin kita hanya menutupi kenyataan yang begitu menyakitkan.
Suara pesan masuk yang membuat jari-jemariku berhenti dari papan ketik, sebuah pesan dari Luna si wanita yang sudah cukup lama tidak berkomunikasi padaku.
Dia menyuruhku mampir kerumahnya, hal yang sangat penting ingin dia bicara. Aku mengiyakan dan setuju untuk datang selepas kerja. Walau dihantui dengan rasa bingung, aku tetap pergi kerumahnya.
Jam yang sudah menunjuk pukul 6 sore, membuatku bergegas kerumah Luna yang jaraknya cukup jauh dari kantor.
Kemacetan yang cukup menyita waktuku, membuat perutku makin keroncongan, karena sampai pukul 8 malam aku masih berada ditengah-tengahnya.
Aku mencoba mencari handphoneku untuk menghubungi Luna, bahwa mungkin aku akan datang terlalu malam.
Tas yang sudah ku acak-acak baru menyadarkanku, bahwa aku meninggalkan handphoneku dimeja kerja.
Lagi-lagi aku menepuk dahi, kecerobohan ini terus berlanjut. Sayangnya perjalananku sudah melebihi setengah jalan, setelah kerumah Luna mungkin aku baru bisa kembali ke kantor.
Sampai pukul setengah sembilan aku baru sampai didepan rumahnya, pijakan kedua untukku kerumah yang cukup mewah itu, membuatku agak tercengang dengan perubahan yang sangat banyak dari pertama aku kesini.
Luna yang menunggu didepan rumah, dibangku yang dipisahkan dengan meja melingkar, membuat aku segera mendekat, "ada hal penting apa?" tanyaku sembari duduk.
"tar, kamu sayang kan sama Bayang dan Barra? Maksudku kamu anggap dia anak kamu sendiri kan?" tanyanya gugup.
"iya, emangnya kenapa?" jawabku bingung.
"Tari, kamu harus ngerawat Bayang dan Barra. Aku gabisa lagi, rumah ini udah jadi jaminan pinjaman aku, dan aku gabisa ngebayar itu, Bagas juga gamau ngebayar itu untuk aku. Aku bener-bener harus pergi dari sini Tar!" jelasnya.
"maksud kamu gimana? Rumah ini mau disita? Dan kamu pergi ninggalin anak-anak kamu?"
"Aku udah ditalak sama Bagas tar, dia bahkan mempermasalahin rumah ini, tapi rumah ini udah milik bank" jelasnya lagi, "lebih baik kalo Barra sama Bayang tinggal sama kamu, aku gamau ngajak anak-anak aku jadi susah! Aku harus pergi malam ini juga Tar" sambungnya.
Mataku terbelalak, aku terkejut dengan apa yang Luna ucapkan. Disisi lain aku merasa tidak sanggup jika harus merawat tiga anak sekaligus.
Luna mungkin tidak tau tentang perceraian yang aku rencanakan, Luna tidak tau kalau akupun sedang berantakan.
Tapi, aku juga tidak mau melihat Luna membawa Bayang dan Barra kehidup yang tidak jelas.
"kalo kehidupanku udah lebih baik, aku bakal ambil Bayang sama Barra ko tar, aku janji! Please ya bawa anak aku malam ini juga" pintanya.
Aku mengangguk pelan, mencoba memahami situasi, toh kalau Luna sudah lebih baik dia akan kembali merawat anaknya.
Malam itu, aku mengantar Luna kestasiun, ucapan perpisahan Luna dan Bayang, serta Barra yang sudah tertidur, membuat air mataku tergenang.
Aku tau, Luna juga tidak tega meninggalkan anak-anaknya padaku. Bagaimanapun juga Luna seorang ibu, dia tetap seorang ibu.
Hatinya yang rapuh, membuat dia mempercepat perpisahan itu, tangisan Bayang yang pecah, membuatku juga tidak bisa lagi menahan air mata.
Ada anak yang tak berdosa yang harus menjadi korban, Bayang yang bahkan aku tidak tau dia anak Bagas atau bukan, kini juga menjadi Korban.
Barra yang masih sangat membutuhkan ibunya, harus segera ditinggal pergi. Apa aku kuat? Apa aku bisa? Memikirkan Anke saja sering kali mengikis hatiku, bagaimana nanti aku harus membesarkan tiga anak sendirian ?
Hujan yang tiba-tiba saja turun, seperti mewakilkan perasaan kita malam ini. Aku yang harus tega membawa Bayang pergi dari stasiun itu, membuat air mataku tak berhenti mengalir.
Rasanya aku ingin sekali bilang pada Bayang, bahwa dia masih mempunyai aku saat ini, dan sampai hari ini dia masih mempunyai Bagas sebagai Ayahnya. Namun aku tak sanggup mengatakannya.
Aku berniat mengabari Bagas, aku kembali kekantor untuk mengambil Handphone yang tertinggal.
Bayang yang sudah lelah menangis, kini terlelap dalam tidurnya, aku bergegas dengan lari kecil menuju lift, meninggalkan Barra dan Bayang didalam mobil.
Seisi kantor yang sudah sangat sepi, membuatku makin mempercepat langkah karena cemas.
Secepat kilat aku mengambil handphoneku dimeja, dengan pencahayaan yang redup, aku memberanikan diri dan bergegas lagi menuju parkiran.
Dua pasangan yang sempat kulirik, membuatku mengalihkan pandangan. Pemandangan yang baginya romantis namun membuatku merasa mual.
Ekor mata yang masih sedikit melihat, membuatku kembali berpaling kearah itu, menyaksikan dengan seksama, melihat kemeja yang sangat kukenal. Kemeja yang ku berikan pada ulang tahun suamiku dua tahun lalu.
"mas Bagas" teriakku cukup keras menggema didalam parkiran.
Dua insan yang sedang menikmati adu bibir itu, menoleh berbarengan dengan wajah yang sangat terkejut.
Aku, benar-benar memergokinya kali ini.*****
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku [TAMAT] || REVISI
ChickLitketika dihadapan tuhan kita sudah mengikat janji untuk sehidup semati. Namun, apa daya jika kenyataan membawaku ke pernikahan yang menyakitkan. -Mentari Kusumawardi _______________________ Sedang dalam masa revisi bersekala besar, mohon maaf untuk k...