9. Confession

123 59 17
                                    

Angin malam yang menerpa tubuhku dan Rylie membuat sebagian dari rambut kami beterbangan, aku diam sambil menyesap secangkir kopi buatannya beberapa menit lalu. Aku mulai membuka pembicaraan, "Jadi apa yang ingin kau sampaikan, selarut ini menghubungiku langsung dan memintaku untuk datang. Bukankah aku sudah memperingatkan mu untuk tidak pernah menghubungiku secara langsung lagi." Rylie masih diam dan ikut menikmati kopinya sendiri, rambut panjangnya diikat menjadi satu menyisakan helaian poni yang membuatnya terlihat manis. "Bagaimana tanggapan kedua orang tuamu, selama dua Minggu ini aku terus memikirkan hari itu. Bukan karena mencemaskan mu tentu saja, kejadian hari itu terus muncul di pikiranku."

"Harus kukatakan jika hari itu memang pertemuan dengan sandiwara yang sangat buruk, aku masih belum tahu bagaimana harus bersikap tentang kejadian itu. Mereka juga tidak pernah mengungkitnya lagi sejauh ini," aku menatap wanita itu dengan tatapan yang selalu kuberikan padanya selama ini, tatapan yang mendominasi dengan iris merah milikku. Sebenarnya pikiranku sedang diganggu oleh hal lain, hey lihatlah. Wanita dihadapanku ini sedang menggunakan kemeja tipis berwarna hijau muda dan celana hitam panjang. Mungkin karena gengsinya yang terlalu tinggi maka ia tidak mengeluh kedinginan kepadaku.

Rylie menggeleng, "Atau bisa jadi itu adalah sandiwara terbaik yang bisa kita tampilkan, mungkin karena ciuman tersebut kau terganggu sama sepertiku. Tapi itu dapat dimengerti, semuanya terjadi begitu tiba-tiba. Jadi....." Aku segera menyela setelah merasa ucapannya terlalu berbelit-belit dan tidak langsung pada intinya. "Apa yang mau kau tanyakan?"

Rylie melempar seringaian tipis yang terkesan dipaksakan, ia menarik napas dalam sebelum kembali berbicara. "Sampai kapan kau akan membuatku menjadi kekasihmu? Kita tidak mungkin melanjutkannya sampai ke tahap pernikahan atau pertunangan, akan menjadi sangat sulit jika hubungan ini sudah terbawa arus terlalu jauh." Aku berdecak malas, sudah kuduga dia akan kembali menanyakan masalah ini. Aku terkadang berpikir jika ia adalah orang yang tidak bisa bersabar meskipun sebentar saja, kasar kuusap rambutku dan menggeram kesal padanya.

Aku mengalihkan pandanganku pada pemandangan kota yang disuguhkan dari balkon lantai lima belas apartemen milik Rylie, aku sendiri belum menentukan bagaimana akan mengakhiri kisah ini.

"Tiga bulan, pertahankan hubungan ini selama tiga bulan. Aku akan mengakhirinya setelah jangka waktu tersebut, agar tidak terlihat mencurigakan aku akan kembali memintamu menjadi kekasihku setelah beberapa minggu kita berpisah, media akan merilis beritanya. Tapi kita memerlukan ikatan pertunangan agar mereka mampu memuatnya sebagai berita besar, selama tiga bulan yang akan datang kita akan melangsungkan pertunangan. Kali ini aku akan membiarkanmu memilih harinya," jelasku panjang lebar. Ekspresinya tidak berubah sama sekali, meskipun aku yakin hatinya sedang mencaciku dengan berbagai macam umpatan. Samar, tapi aku bisa melihat bibirnya mendesiskan kata 'brengsek' yang membuatku tertawa kecil.

"Kau boleh menganggap ku brengsek, tentu saja. Aku tidak akan tersinggung sama sekali. Lagipula percuma jika aku ingin menjadi pria baik-baik dihadapanmu sekarang, tidak ada sedikitpun rasa percaya yang kau miliki untukku. Bukan begitu?"

"Ya, kau benar. Daripada berpura-pura baik aku akan lebih percaya jika kau berperilaku seperti iblis, tambahkan mata merah milikmu itu dan lengkap sudah."

Aku kembali tertawa kecil dan mengibaskan sebelah tanganku, "Tempat ini tidak buruk juga, kau memilih tempat tinggal yang nyaman." Ujarku dengan sangat pelan hampir seperti bergumam, tapi aku yakin dengan keheningan suasana malam ia pasti mendengar kalimatku meski samar.

Flashback (Rylie PoV)

Sial. Sial. Sial. Pesawat hari ini mengalami penundaan jam terbang, aku harus berlarian seperti orang gila diantara banyaknya pengunjung bandara. Belum lagi beberapa kali melanggar lampu lalu lintas hanya untuk tiba tepat waktu di kediaman keluarga Caltron. Entah sudah berapa banyak panggilan tak terjawab dari Sekretaris Raihan, juga entah sudah berapa kali aku tersandung oleh sepatu hak tinggi ini.

Lost Story '1 (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang