52. Waiting for You

21 4 1
                                    

Semuanya sudah selesai. Aku berjalan dengan gontai masuk ke dalam kamar ku, aku tidak punya luka yang parah sampai harus ditangani oleh dokter. Jadi aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan beristirahat.

Pakaianku dipenuhi bau anyir darah, ini semua milik Alexei. Perasaan bersalah menghantuiku begitu aku sampai di markas, bahkan sekarang tangan ku tidak sanggup untuk membuka kenop pintu.

Aku terjatuh di depan pintu kamar, memukulkan kepalaku ke dinding berkali-kali, membuat suara gaduh kecil. "Raihan..." Panggil suara itu dengan lembut namun dingin. Aku mendongak dan tidak menemukan siapapun, ah...benar Rylie berada di dalam kamar yang terkunci.

Aku tidak membalas panggilannya, namun karena aku sudah membuka kunci pintu kamar, Rylie bisa membuka pintunya sekarang. Dia keluar masih dengan pakaiannya semalam, rambutnya diikat menjadi satu, matanya memerah habis menangis.

Wanita itu ikut bersimpuh di sampingku, lantas beberapa saat kemudian ia menarik ku kedalam pelukan yang menghangatkan hati. Cukup lama sampai aku membalas rengkuhannya, karena aku mulai mendengar isakan kecil dan basah di leherku.

Mendapatinya terlihat begini rapuh membuatku tidak kuasa menahan diri pula, aku hanya menenggelamkan wajahku di ceruk lehernya. Tidak, aku tidak menangis, hanya saja satu bagian di hatiku terasa kosong, dan rasanya amat sangat kesepian. Kehadiran Rylie di sini pun sebenarnya tidak memberikan efek besar.

Kami berdua terhanyut dalam suasana hati masing-masing, sampai akhirnya Rylie yang pertama melepaskan diri. Wajahnya yang sebelumnya sudah sembab kini bertambah bengkak dengan mata yang masih berair, sudut bibir ku sedikit terangkat melihatnya. Kemudian aku beralih pada pakaian yang ia pakai, sekarang bajunya ikut terlumuri darah.

"Aku minta maaf sudah mengurung mu di kamar, aku tidak mau semuanya berantakan dan kau juga bisa dalam bahaya nanti." Ujar ku penuh kasih sayang. Rylie menarik napas panjang, kembali menyeruakkan kepalanya pada pelukan ku.

Dia menggeleng lemah, "Kupikir kau akan celaka...akan lebih baik jika kau bergabung dengan aliansi," Balasnya.

Aku mengelus kepalanya sayang, mengecupnya beberapa kali, "Aku selamat dan sehat seperti sebelumnya. Hanya pergelangan tangan kiri ku yang patah dan itupun sudah ditangani tadi." Ia mengusap air matanya kasar, lantas menarik tangan ku agar berdiri dan masuk ke dalam kamar.

Ia mendudukkan diriku di atas kasur, mengambil kotak P3K yang berada tidak jauh darinya. Rylie mengambil kursi dan duduk di depanku, menunggu sesuatu. Bibir bawahnya ia gigit karena ragu akan sesuatu, "Buka pakaian mu." Pintanya malu-malu.

Tatapan mataku seketika menjadi serius, menyadari perubahan itu Rylie segera menambahkan kalimat selanjutnya. "Aku hanya ingin mengobati lebam dan luka di tubuh mu, jangan salah paham!"

"Aku tahu..." Setelah itu aku melepaskan kaos lengan panjang yang tidak lain dan tidak bukan adalah mantel peluru, di dalamnya masih ada kaos tanpa lengan, aku juga membukanya. Dada dan lengan ku yang dipenuhi tato terekspos sepenuhnya dihadapan wanita itu.

Dia menekan pada bahuku yang memang ternyata punya luka memar yang parah, aku dipaksa mengerang kencang. Aku menatap wajah wanita itu, mencari rasa bersalah di sana, namun nihil. Rylie segera mengobati ku di tempat-tempat yang bisa ia jangkau.

Saat ia mulai mendekat untuk mengurus luka di wajah, aku sengaja menarik pinggangnya agar semakin mendekat. Ia jatuh dipangkuan ku dengan bibir yang sudah menabrak bibir ku. Aku melumatnya singkat sebelum melepaskannya, "Temani aku malam ini. Aku tidak mau sendirian," Rylie tidak menanggapi apapun.

Dia tidak memberontak, dia juga tidak protes, memilih melanjutkan kegiatannya yang tertunda barusan. Setelah selesai aku membiarkan Rylie pergi dari pelukan ku dan membenahi alat-alat kesehatan itu.

Lost Story '1 (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang