BAGIAN 39

7.9K 393 4
                                    

Jika kamu pernah memiliki masa lalu dengannya, lalu apa aku bisa menjadi masa depan denganmu?

🥀🥀🥀🥀🥀

Flashback

“Hey, kenapa kamu terus memandangi fotonya?” tanya Miranda yang saat itu berusia empat belas tahun. Matanya menatap ke arah bingkai foto seorang pemuda dengan senyum termanisnya. Membuat Miranda kecil merasakan perasaan aneh.

Dia tampan, batin Miranda dengan senyum tipis. Merasa kagum dengan pemuda yang bahkan tidak dikenalnya sama sekali.

“Kamu tahu? Dia itu teman satu sekolaku. Dia juga orang yang mau berteman denganku. Dia tidak pernah memandang kalau aku itu gadis cupu atau sebagainya. Dia selalu bertingkah baik. Dia benar-benar pemuda yang sangat manis,” terang seseorang yang ada di dekat Mirana dengan senyum tipis. Matanya menatap bingkai di depannya dengan tatapan berbinar. Bahkan, jemarinya sudah mengelus pelan gambar yang terdapat pada bingkai tersebut.

Miranda yang mendengar tertawa kecil dan menghela napas perlahan. Tangannya mengelus pelan pundak gadis yang berada di dekatnya, membuatnya menatap ke arah Miranda dengan senyum termanis.

“Jangan terlalu memujanya, Sukma. Belum tentu dia itu sebenarnya baik. Bagaimana kalau dia itu ternyata jahat?” celetuk Miranda yang langsung mendapat protes dari Sukma.

Sukma berdecak kecil dan memanyunkan bibir, menatap Miranda yang masih menahan tawa di dekatnya. “Jangan pernah menjelekan Arjuna, ya. Dia itu baik dan tidak seperti pemuda lainnya. Kalau sampai aku mendengar kamu menjelekannya lagi, aku akan marah dan tidak mau berbicara denganmu seumur hidup,” tegas Sukma dengan wajah yang dibuat serius.

Miranda yang mendengar tersenyum kecil dan mulai menganggk. “Siap, Putri,” jawab Miranda dengan tangan membentuk hormat, membuat Sukma tertawa seketika.

Miranda masih menatap bingkai dengan foto Arjuna di dalamnya. Mencoba mengingat wajah pemuda yang dicintai oleh saudaranya. Aku harap kamu bisa membahagiakan dia, batin  Miranda penuh harap.
_____

Miranda menghela napas perlahan ketika dia baru sampai di rumah. Dengan langkah gontai, dia melangkah ke arah kamar. Dia memilih merebahkan tubuh lelah di ranjang empuk bagian bawah. Ya, dia memang tidur bersama dengan Sukma dengan ranjang bertingkat.

Miranda mulai memejamkan mata, meresapi rasa sunyi yang membuatnya merasa nyaman. Namun, belum genap satu jam dia memejamkan mata, tidurnya mulai terganggu dengan suara pintu yang terbuka keras, menghadirkan Sukma dengan air mata berlinang.

“Sukma, kamu kenapa?” tanya Miranda yang langsung bangkit.

Sukma yang mendengar segera melangkah ke arah Miranda dan memeluk erat. Air mata yang sejak tadi ditahan langsung keluar seluruhnya. Tanganya memegang erat baju seragam Miranda.

“Hey, kamu kenapa?’ tanya Miranda semakin panik. Dia semakin takut ketika Sukma tidak menjawab sama sekali. Hingga dia merasakan genggaman yang sangat erat dari arah gadis tersebut.

“Sukma, tenang. Kamu kenapa?” tegur Miranda mulai melepaskan pelukan Sukma. Dengan cepat, dia menepuk pipi Sukma berulang kali, berharap saudaranya segera tersadar dari ketegangan yang melanda. Bahkan, wajahnya sudah sangat pucak ketika kukunya semakin kuat mencengkram seragam Miranda.

“Sukma, sadar. Tenang. Kamu bisa ceritakan semua denganku. Aku di sini,” ucap Miranda masih mencoba menyadarkan saudaranya.

Sukma yang merasakan kepalanya semakin berdenyut menatap ke arah Miranda dan menghela napas perlahan, mencoba menenangkan perasaan yang sudah kacau sejak dia berada di sekolah.

“Tenanglah. Jangan pikirkan hal buruk,” ucap Miranda dengan suara melembut.

“Dia – dia menolakku,” sahut Sukma dengan nada lemah. Sampai matanya memejam dengan tubuh melemah.

Flash back selesai

Miranda menatap wajah Sukma yang tengah tersenyum dengan tatapan lekat, membuatnya menitikan sebutir air mata yang mulai mengalir. Perlahan, dia menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Hingga dia merasakan tepukan ringan di bagian pundaknya, membuat Miranda menatap ke arah sang pelaku.

“Kakak masih memikirkan kak Sukma?” tanya Mark yang baru saja datang. Matanya menatap wajah lemah Miranda yang hanya ditunjukan ketika mengingat mengenai Sukma, kembarannya.

“Aku masih tidak percaya jika Sukma meninggalkanku hanya karena pria kurang ajar itu, Mark. Kamu tahukan kalau aku masuk kuliah di kampus yang sama dengan Arjuna karena sebuah misi. Aku ingin membalaskan dendam Sukma yang belum terbalas sama sekali,” ucap Miranda dengan suara serak.

“Apa Kakak yakin kalau kak Sukma membenci Arjuna?” tanya Mark dengan pandangan lekat. Dia seakan ragu untuk melanjutkan rencananya.

Miranda menarik napas dalam dan menatap Mark dengan tatapan dingin. “Apa kamu kira meninggal karena orang yang dicintainya tidak pernah membalas perasaannya tidak menimbulkan dendam?” Miranda malah balik bertaya.

“Aku yakin Sukama memiliki dendamnya sendiri, Mark. Hanya saja, dia tidak pernah mengatakannya. Dia sangat mencintai Arjuna dan bakan rela melakukan apapun untuk pemuda itu. Sayangnya, Arjuna itu pria yang tidak tahu terima kasih. Dia selalu merasa paling unggul dan aku membencinya,” tegas Miranda dengan penuh kebencian.

Mark yang mendengar hanya menghela napas perlahan. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Dia sangat hapal dengan sifat Miranda yang keras kepala. Kakaknya itu tidak akan pernah menyerah sebelum tujuannya tercapai.

“Lalu, sekarang apa yang akan kita lakukan? Arjuna bahkan tidak peduli dengan Selvi sama sekali,” ucap Mark mencoba mengakhiri tatapan dingin kakaknya.

“Kalau dia sudah tidak peduli dengan Selvi, berarti kita akan mengincar orang yang mulai berarti dalam hidupnya,” desis Miranda dengan senyum sinis.

Mark yang mendengar hanya diam dan menatap kakaknya lekat. Aku rasa kamu mulai salah jalan, Kak, batin Mark merasa kasihan dengan Miranda yang dipenuhi dengan kebencian.
_____

“Wuah, sudah jadi nih,” ucap Adolf dengan wajah sumringah. Dia segera menatap selai nanas yang ada di tangan Arjuna lekat.

Arjuna yang mengerti maksud kakaknya langsung menjauhkan mangkuk tersebut dan melangkah santai, membuat Adolf yang berada di dekatnya berdecih kesal.

“Arjuna, minta sedikit,” teriak Adolf sembari mengacungkan roti tawar yang sudah dibawanya.

“Maaf, Adolf. Ini hanya untuk Pentry,” jawab Arjuna yang terus melangkah santai. Kakinya mulai menapaki satu per satu anak tangga menuju ke arah kamarnya. Sampai kakinya berhenti tepat di depan pintu kamar.

Arjuna segera membuka pintu dan menatap Pentry yang tengah berbincang dengan mamanya, membuat senyum di bibirnya terlukis dengan sendirinya.

“Selainya datang,” ucap Arjuna dengan penuh kebahagiaan.

Pentry yang mendengar langsung menatap ke arah suaminya dan menghentikan obrolan. Matanya masih memandang lekat hingga nampan berisi roti tawar dan semanguk selai berada di pangkuannya. Membuat bibirnya semakin tersenyum lebar.

“Terima kasih,” ucap Pentry dengan nada lembut.

Arjuna yang mendengar terdiam seketika dan mengangguk pelan. Matanya mulai menatap sang mama yang sudah memandanganya dengan perasaan bangga.

“Terima kasih karena sudah menjadi  suami dan calon ayah yang baik, sayang,” celetuk Vika dengan nada bahagia. Dia merasa senang karena Arjuna mulai mengerti tanggung jawab.

Suami dan calon ayah yang baik, ya, batin Arjuna dengan perasaan aneh.
_____

Taraaa..selamat membaca sayangkuh. Jangan lupa tinggalkan like, comment dan tambah ke daftar perpustakaan kalian ya. Jangan lupa juga, follow Kim untuk tahu cerita lain yang akan Kim buat nantinya. See you next chapter sayangkuh.

My Secret WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang