Pagi hari...
Nina baru saja selesai berpakaian. Dalam rumah miliknya yang berada di perumahan elite, Nina tinggal sendiri. Hanya 2 orang pembantu saja yang tinggal di dua kamar belakang selama ini. Suami istri yang Nina bawa dari kampung sang ibu.
Hari ini tidak seperti biasanya, Nina terbangun lebih awal. Bahkan waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi tadi, Nina sudah terjaga dari tidurnya lalu memilih untuk mandi.
Nina keluar kamar utama yang terletak di depan, kemudian berjalan ke ruang makan.
"Pagi non" sapa si mbok yang baru saja menyiapkan sarapan di meja makan.
"Pagi mbok! Oh iya, dia udah bangun?" ujar Nina sambil menoleh dan menatap ke arah kamar dekat dari ruang tengah.
"Tadi sih mbok lihat dia udah bangun, tapi dianya masuk ke kamar lagi non."
"Ohh tunggu, biar gue bangunin dulu." Kata Nina, ia berjalan mendekat ke kamar tersebut. Nina mengetuk pintu kamar. "Mil... sarapan yuk!"
Kriekkkk!!! Pintu kamar terbuka. Mila, yang telah dua hari ini menginap di rumah Nina rupanya sudah selesai mandi. Hari dimana Nina mengajak Mila untuk ke rumah, Nina memberikannya beberapa lembar pakaian, karena menurut Nina ia pun bertanggung jawab atas gadis itu, meski bukan dia yang membuatnya bersedih melainkan si Rendy sahabatnya.
Selama dua hari ini juga, Mila lebih banyak mengurung diri di dalam kamar. Sedangkan Nina, di hari minggunya ia telah keluar pukul 11 siang dan kembali malam harinya. Awalnya Nina mengajak Mila untuk ikut dengannya, namun Mila menolaknya. Ia masih bersedih, dan masih ingin menenangkan pikirannya terlebih dahulu. Maka, Nina memahami kondisi gadis itu. Juga Nina sama sekali tidak memaksakan kehendak agar Mila bercerita apa yang sebenarnya terjadi.
Dan kini, Mila baru saja membuka pintu kamar dan mendengar ajakan Nina untuk sarapan bersama.
"Iya kak... Mila sebenarnya malas makan."
"Udah... gak usah sungkan ma gue," kata Nina sambil memegang lengan Mila. Wajah gadis itu masih tampak pucat. Tapi menurut PRT Nina, bahwa ia makannya teratur. Karena memang Nina berpesan secara khusus kepada si mbok untuk memperhatikan makannya.
"Ya udah kak."
Mila dan Nina berjalan ke ruang makan.
Beberapa lauk terhidang di meja. Nina menyuruh Mila untuk makan bersama.
"Oh iya, bentar lagi gue ngantor... loe gak ngantor juga?" tanya Nina di sela-sela menikmati sarapan.
Mila terdiam. Wajahnya penuh duka, ia masih saja bersedih atas apa yang terjadi. Melihat ekspresi Mila, Nina hanya menarik nafasnya dan sudah dapat menyimpulkan jika Mila masih belum ada keinginan untuk bekerja hari ini. Meski, Nina sendiri belum tahu semua tentangnya.
"Mila pengen berhenti kerja saja kak,"
"Lah kenapa?"
"Mila masih gak pengen ketemu ma kak Tino... ka-karena... Mila takut kak!" mendengar nama Tino di sebut, Nina kembali mengingat bahwa gadis ini adalah kekasih mantan kepala cabang di perusahaannya. Berarti jelas saja mantan anak buahnya.
"Oh iya, sampai lupa... loe pacar si Tino, kan?"
"Iya kak... tapi sepertinya Mila udah gak pantas lagi jadi pacar kak Tino sekarang," setelah mengatakan itu, kedua mata gadis itu berkaca-kaca. "Mila udah kotor kak... Hiks! Hiks!"
"Hush! Gak baik ngomong kayak gitu, Mil." Nina menggenggam tangan Mila, mencoba untuk memberikannya ketenangan sejenak.
"Kak... menurut kakak, apakah Mila masih pantas mendapat kasih sayang dari kak Tino? Setelah apa yang Mila lakukan di belakangnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not A Foreign
RomanceKetika dia di hadapkan pada situasi yang bahkan siapapun tak akan pernah memikirkan akan kejadian tersebut. Namun... Kebahagiaan itu hanya seumur jagung saja, dan siapa yang sangka... Semua kebahagiaan yang ia miliki, berubah menjadi mimpi buruknya.