32. TAKDIR MENYAKITKAN

995 149 11
                                    

Apa yang lebih menyedihkan selain menyaksikan orang yang kau sayangi dimasukkan ke tanah, ditimbun lalu ditaburi bunga?

Bagiku, sama sekali tidak ada.

***

Acara tahlilan tiga hari meninggalnya Ibu sudah bubar sejak sejam yang lalu. Rumah kembali sepi. Hanya suara binatang malam yang terdengar bersahutan di luar.

Aku duduk bersandar dengan memeluk lutut, terdiam memandangi karpet yang masih tergelar di ruang tamu.
Masih tak menyangka Ibu meninggalkanku sendiri. Padahal, Ibu pernah berjanji untuk tidak meninggalkanku setelah kepergian Bapak.

Lagi-lagi, aku kembali dibuai janji. Aku muak dengan janji!

Sekarang, aku sendirian.

Hidup di sebuah tempat asing tanpa satu pun keluarga itu sangat menyedihkan.
Mau pulang ke rumah nenek di desa, buat apa? Menyusahkannya lagi? Tidak.

Ada beberapa tetangga yang sangat kenal dengan Ibu menawari untuk tinggal di rumahnya, tapi aku menolak. Sejak dulu aku jarang berinteraksi dengan mereka, mana mungkin aku menumpang dan menjadi beban.

Sebagai gantinya, selama tiga hari ini, aku hanya ditemani dua remaja bersaudara yang merupakan tetangga sebelah rumah. Mereka masih SMP dan entah kenapa mereka menurut saat ibunya menyuruh untuk menemaniku.
Lumayan menjadikan suasana di rumah ini tak sepi. Walaupun kami jarang berinteraksi karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kamar tamu sambil main game.

"Na!" panggil Rian.

Sejak tadi, ia terus saja memanggil namaku. Biarkan saja. Aku hanya ingin sendiri sebentar saja karena rasanya aku benar-benar sedang berada di titik paling rendah kesedihan. Segalanya berat dan kacau. Sekadar bernapas pun, aku lelah.

Sesuatu yang sedingin es menyentuh bahuku.
Aku mengalihkan pandangan dari karpet kemudian memandangnya lewat mata yang bengkak serta terasa berat.
Rian sedang berjongkok, satu tangannya berada di bahu kiriku, balas memandangku dengan tatapan sendu.

"Mau sampai kapan kamu kayak gini? Ayolah, Na. Kamu harus bangkit. Aku yakin, Ibu kamu pasti tenang di alam sana."

Aku menghela napas berat.

Ibu sudah tenang di alam sana katanya? Benarkah itu?

"Ibumu tidak di sini lagi, Na. Ia sudah tenang. Aku yakin kamu tahu itu," ucap Rian, meyakinkan.

Aku beralih menatap lantai.
Ucapan Rian mungkin ada benarnya, sepertinya Ibu memang sudah tenang di alam keabadian. Buktinya, aku tak pernah menemui arwahnya di sini maupun di rumah sakit.

Ya, setiap sore menjelang, aku akan menunggu di depan pintu. Berharap Ibu datang dengan wajah lelahnya.
Tak masalah bila ia tak bisa kusentuh, karena memandang wajahnya saja aku sudah sangat senang.
Namun, aku tak pernah menemukannya. Sekali pun tidak.

Kemarin, aku kembali ke rumah sakit.  Mengunjungi kamar inap tempat Ibu dibunuh Risa dengan kejam. Namun, tetap saja Ibu tak ada dan aku harus kembali pulang setelah menyaksikan tatapan aneh orang lain yang kini menempati kamar itu.

Segalanya menjadi sangat menyedihkan. Apalagi mengingat cara Ibu menjemput ajalnya. Sangat keji. Andre telah menceritakan peristiwa biadab Risa menurut kesaksiannya.

Andre berkata, saat ia duduk di sebelah ranjang Ibu dengan keadaan mengantuk, asap hitam tiba-tiba bergelung di sekitarnya lalu muncullah satu sosok. Dia ... Risa dengan wajah mengerikan dipenuhi darah. Risa tersenyum ke arah Andre yang bersikap waspada dengan. Ia memperhatikan tangan bocah itu menggenggam sebuah belati. Ya, ia berhasil mengambil Belati Raga dariku.

HANTU ANEH (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang