20. JADI TEMAN

1.1K 167 3
                                    

Katanya, cinta itu buta. Makanya jangan bodoh menaruh perasaan pada dia yang tak mengharapkanmu.

Ree Caltha

***

Aroma minyak kayu putih begitu menusuk hidung. Aku tak suka aroma ini.

Pelan, mataku membuka. Aku tak tahu apa yang terjadi. Bangun-bangun sudah ada di kamar. Menoleh ke tepi ranjang dekat kepala, mendapati Ibu berucap syukur.

"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Nak."
Ibu mengusap puncak kepala, lembut. Seperti biasa, ada ketenangan yang menjalar jika Ibu sudah bersikap seperti ini.

Aku meringis. Kepala masih berdenyut tapi tidak terlalu sakit.

"Memangnya aku kenapa, Bu?"

Otakku rasanya tak bisa berpikir. Bahkan mencerna perkataan Ibu sangat sulit kulakukan.

Ibu menatapku lembut.

"Kamu tadi pingsan di teras. Untungnya, ada teman kamu yang nolongin."

Pingsan? Ah iya, aku ingat! Kuarahkan pandangan ke jendela. Tadi, di jendela kamar ada kerumunan Mbak Kunti. Namun, mereka sudah tak ada. Apa yang mereka cari?

"Kamu liatin apa di jendela?"

Ibu menyadarkan. Aku menarik pandangan dari jendela, menoleh pada Ibu.

"Gak apa-apa, Bu."

"Kalau begitu kamu istirahat ya, Ibu mau ke ruang tamu, teman kamu itu tadinya ibu suruh nunggu."

Dahiku mengernyit mendengar kata teman. Apa dia?

"Siapa, Bu?" tanyaku memastikan.

"Namanya Andre. Katanya tadi dia pulang bareng kamu," kata Ibu seraya bangkit berdiri.

Oh, jadi orang yang tadi adalah Andre. Tak heran, ternyata dia membuntutiku.

"Ibu keluar, ya. Kamu istirahat saja."

Setelah mengecup puncak kepalaku, Ibu ke luar kamar. Menutup pintu dengan pelan.
Meninggalkanku dengan segudang pertanyaan.

Menit berikutnya, Rian datang diikuti Risa. Melihatnya menembus jendela membuatku bergidik.

"Ratna, maafin aku," ucapnya dengan nada penuh penyesalan.

Dahiku mengernyit. Heran.

"Maaf, karena tadi ninggalin kamu pulang sendirian." Lanjutnya seraya menunduk. Aku tak suka ekspresi bersalahnya itu.

"Ah, gak apa-apa," ucapku seraya mengibas tangan.

Entah kenapa, aku berusaha bersikap biasa di hadapannya. Padahal hati jengkel setengah mati. Ingin sekali mencecarnya karena membuatku cemas.

"Jelaskan, kenapa Mbak Kunti berkerumun di depan jendela?!" bentakku seraya menangkup kedua tangan di dada.

Aku berharap ini tidak terdengar seperti sebuah bentakan karena tiba-tiba aku merasa ada yang salah dalam nada yang terlontar. Rasanya aku hanya ingin agar dia terus berceloteh. Entahlah, terlalu sulit menjelaskannya.

Aku yakin. Rian pasti dalang dari semua ini. Apa yang dicari Mbak-mbak Kunti itu di kamarku selain hantu tampan ini? Mana mungkin mereka berkerumun demi melihat isi kamar yang berantakan atau mengintip karena penasaran mengapa tak ada skincare di meja belajar melainkan novel-novel horor yang kubeli dari hasil menabung.

Aku menatap Rian. Benar. Ia terlihat gugup. Menunduk menatap lantai yang sama sekali tidak menarik.

"Emm, aku gak tau. Mereka ngikutin aku sampai ke sini."

HANTU ANEH (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang