29. IBU!

982 167 76
                                    

Biasanya, dia yang terlalu dekat denganmu bisa menjadi musuhmu.

Ree Caltha

***

Aku dan Ibu sedang berjalan pulang sehabis melayat.

Berita tentang kematian Mang Ujang dan istrinya begitu cepat tersebar. Di sepanjang perjalanan pulang, kami berpapasan dengan beberapa tetangga yang baru akan pergi melayat.

Orang baik seperti Mang Ujang dan istrinya sangat tidak pantas meninggal dengan cara tragis begini. Para saksi mengatakan, keduanya ditemukan tak bernyawa di dalam warung baksonya pada tengah malam tadi. Keduanya terkapar di lantai dengan banyak luka tusukan. Anehnya, tidak ada darah.

Aku yakin pelakunya pasti dia yang memakai belati itu.

Keadaan mayatnya nyaris serupa dan benar-benar mengerikan. Di wajahnya ada lebam dan goresan luka menganga. Aku tak melihat bagian tubuhnya, tapi kata orang-orang yang memandikannya, banyak sekali luka tusukan terlebih di bagian punggung.

Sesuatu yang membunuh Mang Ujang dan istrinya pasti sedang berkeliaran mencari mangsa baru. Hanya tersisa dua korban, kalau perkiraanku dan Andre tak salah. Namun, bisa jadi korbannya akan lebih dari itu.

Argh! Aku menyesal menyimpan belati itu di rumah. Harusnya selalu kubawa. Harusnya ini tidak terjadi! Persetan jika harus dihukum guru karena membawa benda tajam!

"Ibu kenapa?"

Sigap kupengangi tubuh Ibu yang sedikit limbung saat hendak membuka pintu.

Ibu terlihat sangat pucat, sesekali bergumam sambil memegangi kepala.

"Ibu nggak apa-apa, Na. Cuma pusing sedikit."

Suaranya begitu lemah, nyaris tidak kedengaran. Aku memandangi wajah pucatnya. Ada raut kelelahan di wajah keriputnya itu. Belum lagi kantung matanya bertambah jelas yang menandakan Ibu tak cukup istirahat.

Pelan, aku memapah Ibu memasuki rumah.

"Apa kita ke Puskesmas aja, Bu?"

Ibu menggeleng. Aku mendudukkannya di sofa. Lalu berdiri dan bergegas berjalan ke dapur mengambil air minum.

Aku kembali ke ruang tamu. Membawa segelas air.

"Ibu capek ya nyari uang? Jangan maksain diri, Bu. Ratna nggak pengen apa-apa kok," ucapku sambil duduk di samping Ibu. Menyodorkan segelas air putih.

Ibu tersenyum. Tangannya terulur mengusap puncak kepala ini. Penuh kasih sayang, kurasa.

"Tidak, Na. Ibu ndak capek. Ini sudah tugas ibu, supaya kamu bisa hidup layak."

Aku sangat tak suka alasan seperti ini. Apa semua Ibu di dunia seperti ini? Hanya demi anak, seseorang yang membawa surga di telapak kakinya yang seharusnya berada di rumah malah bekerja keras supaya sang anak hidup layak? Sementara anak yang ia lahirkan dengan susah payah malah tak menghargai bahkan menuntut lebih. Sungguh, mulia hati seorang Ibu dan sungguh terlaknat mereka yang melukainya.

Dada bergemuruh. Kaca-kaca di kelopak mata tak terbendung. Akhirnya, mengalirkan setetes bulir bening keparat. Aku menuduk. Segera menghapus air mata ini.
Tak mau Ibu melihat diri ini menangis. Terlalu lemah, katanya.

"Andai aja bapak masih di sini. Ibu nggak perlu capek-capek kerja."

Kuatur nada suara agar tak terdengar bergetar.

Aku memijat lengan Ibu. Wanita yang sangat berjasa dalam hidup ini begitu kelelahan. Aku tak tega.

"Hust! Bapakmu sudah tenang di alam sana, Nak. Jangan kamu ungkit-ungkit lagi," kata Ibu. "Lagipula ini sudah kehendak Allah. Kita tidak boleh mengeluh. Harusnya kita bersyukur, masih punya tempat berteduh dan masih bisa makan."

HANTU ANEH (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang