9. KISAH RIAN

1.5K 212 2
                                    

Kadang mereka menyalahkan bukan karena kita yang salah.

Ree Caltha

Aku dan Rian kembali ke rumah setelah insiden memalukan itu. Ya memalukan karena lukanya tidak seberapa tapi aku disaksikan banyak orang terjerembab di paving dalam keadaan konyol. Malu sekali.

Di perjalanan, aku dan Rian tidak henti-hentinya mengutuk orang yang tidak punya etika itu! Sudah menabrak bukannya minta maaf malah pergi begitu saja. Huh!

Aku memutuskan duduk di kursi teras. Rian masih setia di sebelahku. Terus bertanya, apa aku merasa sakit? Oh hantu ini cerewet sekali!

"Sudah, Rian," ucapku lembut. "Ini nggak sakit."

"Tapi itu berdarah, Na!"

Aku menggeleng. Lututku memang lecet dan sedikit perih, tapi sungguh ini tidak apa-apa.

"Sudahlah, An. Tidak perlu berlebihan. Ini nggak sakit." Aku meyakinkan.

"Ya sudah," ucapnya kemudian membuatku lega. "Dasar keras kepala," umpatnya dengan nada sangat pelan, tapi bisa kudengar.

Hening. Aku tidak tahu mau bercerita tentang apa lagi dengan Rian. Namun, saat saling diam seperti ini, takutnya ia mendengar detak jantungku yang tiba-tiba berdegup lebih kencang.

"Eum, Rian?" panggilku yang langsung membuatnya menoleh.

"Iya?"

"Kenapa kamu jadi gini?"

Hanya pertanyaan itu yang muncul untuk memulai obrolan. Semoga saja tidak menyinggungnya.

Ia mengernyit heran.

"Maksudmu?"

Dasar gak peka! Gimana kalau soal perasaan? Eh!

Aku memberi isyarat dengan tanganku pada kakinya yang tak menapak.

Rian mengangguk mengerti. Menatap langit. Seperti sedang mencari jawaban di antara awan kelabu yang diselingi semburat berwarna jingga. Tandanya sudah sangat sore.

"Aku ... sudah mati!" ucapnya kemudian.

Ia sadar dirinya sudah mati. Cukup menarik dan dia pikir aku tidak tahu?

Aku mengurungkan niat untuk menyanggah ucapannya saat mendapati sorot mata cokelatnya menyimpan kesenduan. Hantu satu ini benar-benar beda. Tak hanya pada tampangnya, tetapi pada aura yang ia keluarkan. Tak ada dendam dan amarah. Hanya saja ada yang menjanggal. Kupikir begitu.

Aku tetap diam. Menunggu kalimat Rian yang mungkin sedang ia rangkai dalam hati.

"Tapi seharusnya aku belum mati!"

Ia menatapku dalam. Mata cokelatnya menajam.

"Ma-maksudnya?"

Aku menelan ludah. Bulu kudukku meremang. Apa-apaan ini?
Bukan saatnya untuk menjadi lemah di hadapan hantu tampan ini.

Kendalikan dirimu, Ratna!

"Ya, satu kejadian yang buruk sehingga nyawaku melayang begitu saja, tapi, aku tak menyesal melakukannya."

Mendengar penuturannya barusan berhasil membuat mataku membola seketika. Tak habis pikir. Bisa-bisanya ia tersenyum saat menceritakan peristiwa tragis yang merengut nyawanya? Lagi, ia juga tak menyesal melakukannya. Dia benar-benar hantu aneh!

"Hah? Hantu macam apa kau ini?!" bentakku tak percaya.

Ia terkekeh. Namu tidak seperti nada biasanya.

HANTU ANEH (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang