33. EMPAT KORBAN

956 157 10
                                    

Jangan terlalu terpaku pada kesedihanmu. Lihat! Masih ada yang lebih terpuruk darimu.

Ree Caltha

***

Mataku perlahan membuka terpaksa akibat sinar yang sangat menyilaukan. Setelah mengerjap beberapa kali, aku mendapati diri di sebuah tempat asing.

Aku beralih mengganti posisi dari berbaring menjadi duduk. Lalu mengamati sekitar.

Pemandangan indah seketika memanjakan mata ini. Aku berada di hamparan taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni dengan aroma yang begitu harum dan menenangkan. Beberapa kumbang tampak hinggap di kelopaknya. Sementara di sisi lain, terdapat aliran sungai yang sangat jernih. Kurasa, ikan-ikan yang ada di sana pasti bisa terlihat berenang dengan jelas.

Apa ini surga?

Jika iya, berarti ... aku sudah mati.

Tunggu. Untuk memastikan kalau aku benar-benar mati, kuteliti lengan yang sudah tersayat tadi. Tak ada luka dan darah sama sekali. Padahal sayatannya sangat dalam.

Oke, ini cukup membuktikan aku sudah mati.

Indra pendengaranku menangkap suara gemerisik daun kering yang terinjak. Aku menoleh. Seseorang tampak berjalan mendekat.

Mataku memicing, memastikan mata ini tak salah melihat.

Seorang gadis semakin mendekat. Gaunnya yang berwarna putih menjuntai menutupi kaki.

Itu ... bukannya anaknya Bu Rini?

Ia tersenyum ke arahku sambil melambai.

Ya, ia benar-benar anak Bu Rini. Aku masih ingat betul wajahnya.

Belum usai keterkejutanku, di belakangnya, datang lagi dua orang yang saling bergandengan. Semakin dekat semakin aku bisa mengenali mereka.

Itu Mang Ujang dan istrinya. Mereka tampak tersenyum sembari melambai padaku.

Mereka di sini?

Itu berarti ....

Aku celingukan ke segala arah dengan semangat yang menggebu. Berharap, dari tempat datangnya tiga orang ini, seseorang yang aku rindukan juga akan berjalan dari sana.

Benar saja, beberapa saat kemudian, seseorang kembali mendekat ke arahku. Walaupun datang dari arah cahaya yang sangat menyilaukan, aku bisa merasakan dialah orang yang aku harapkan.

Itu Ibu!

Rasanya, aku tak percaya! Itu benar-benar Ibu. Rambut sebahunya sangat aku kenali dan tatapan meneduhkan itu ... sangat aku rindukan.

Aku segera bangkit berdiri. Menyambut Ibu dipelukanku. Merasakannya membelai rambut ini dengan lembut dan seperti biasa, penuh kasih sayang.

Aku memejamkan mata. Menikmati kerinduan yang perlahan terobati. Namun, tidak sepenuhnya.

"Bu, Ratna kangen," lirihku di balik bahunya. Rasanya, tenang berada di pelukan Ibu dan aku tak mau melepaskannya.

"Ibu juga, Nak," ucapnya lembut.

Ibu melepaskan pelukan. Rasa dingin merayap ke seluruh tubuh saat terlalu lama dipelukan Ibu.

Aku memandangi wajahnya yang pucat. Ibu balik memandang.

"Bu, maafin Ratna. Ini semua salah Ratna! Aku harusnya nggak undang setan kecil itu ke rumah kita!"

Mataku berembun. Menyesal karena kesalahanku menaruh simpati pada Risa.

HANTU ANEH (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang