Prolog

62 11 8
                                    

Beberapa benda tentang kenangan masa lalunya masih tersimpan rapi di dalam kardus. Ia melihat sebuah foto yang terdapat dua orang sahabat saling merangkul sambil tersenyum ke arah kamera.

Nada ikut tersenyum melihat foto itu. Ada rasa bahagia yang bercampur haru di dalamnya.

Waktu berlalu sangat cepat, hanya menyisakan kenangan dulu yang  menjelma menjadi ingatan. Ia merindukan seseorang yang sering memanggilnya dengan sebutan "Nana", dan semua kenangan yang ada di dalamnya.

Lalu, ia melihat ada sebuah buku diary yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Ia langsung membuka diary itu.

ReNada

Itulah kata pertama yang terdapat di depan halaman diary tersebut. Dihiasi pensil berwana jingga yang membuat tulisan itu semakin menarik.

Di dalamnya terdapat banyak tulisan tangan yang tintanya mulai memudar. Nada mulai membaca satu paragraf awal dari diary itu.

Nana, semoga kamu tidak membaca diary ini. Soalnya aku malu.

Nada tersenyum membacanya. "Aku membacanya, Re."

Tapi, mana mungkin kamu membaca diary seperti ini. Kamu lebih suka membaca komik daripada tulisan seperti ini. Membosankan, katamu.

"Itu mungkin, Re. Karena sekarang, aku juga akan suka membaca buku-buku seperti kesukaanmu."

Oh, iya. Kamu tahu artinya "ReNada" tidak?

Nada menggeleng. "Apa itu, Re?"

Nanti kamu juga akan tahu. Tapi, tidak sekarang, Na.

Helaan napas gusar terdengar dari Nada. Perempuan itu mengerucutkan bibirnya.

Di bagian akhir cerita ini, kamu pasti tahu.

Buru-buru Nada memegang ujung kertas itu. Namun, niatnya untuk segera meloncati halaman itu urung, karena ada tulisan yang membuatnya berdecak sebal.

Jangan diloncat, gak seru. Biar kamu penasaran, Na. Hehehe

Bahkan, dengan tulisannya saja pun bisa membuat Nada kesal. Apalagi jika laki-laki itu yang mengutarakannya langsung. Mungkin, Nada akan mencabik-cabiknya.

Sebelum itu, baca dulu halaman berikutnya.

"Oke, Re. Terserah kamu."

Nada pun pasrah. Ia membalikan halaman selanjutnya.

Kamu ingat, pertemuan awal kita bertemu?

Nada mengangguk. "Iya, ingat, Re. Bahkan sangat jelas."

Waktu itu, kamu menolongku.
Mengajakku pergi entah ke mana. Meninggalkan ayah yang hampir memukulku.
Kamu bilang, seorang ayah tidak pantas melakukan hal itu kepada anaknya. Apalagi, dulu aku masih sangat kecil. Dan, kamu sangat benci dengan kekerasan. Bukan begitu, Na?

Nada mengangguk. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingat jelas, bagaimana Rean hampir dipukul ayahnya. Nada kecil yang tidak suka dengan kekerasan itu mengajak seorang anak laki-laki yang belum ia kenali, pergi meninggalkan pria dewasa yang hendak melayangkan pukulan pada anak itu.

Hari-hari terus berlanjut, Na.
Dan sekarang kita sudah mulai dewasa. Tidak seperti dulu lagi.
Aku senang kita masih bisa sama-sama sampai saat ini. Bahkan, kita sedang duduk berdampingan di sini.
Kamu sedang tertidur, Na. Sambil mendengkur. Kamu pun mengigau, sampai memukulku. Lihat, tulisannya tercoret.

Nada tertawa. Memang, tulisan itu sedikit tercoret. Ia tak menyangka Rean akan menuliskan semua ini di dalam diarynya. Ia pun tak ingat, bahwa pernah tertidur seperti itu.

Di halaman selanjutnya, Nada menemukan sebuah amplop berwarna cokelat yang masih terbungkus rapi di sana. Dia menyimpannya terlebih dahulu, ingin melanjutkan membaca diary itu.

Banyak cerita yang akan aku tulis nantinya. Semua cerita itu banyak sekali suka dan dukanya. Membacanya membuatku seperti menaiki roller coaster. Dan ....

Ceritanya mulai dari sini, Na ....

***

Hayooo
Penasaran, gak?
Ikuti terus cerita mereka, ya?
Temani Nada buat baca sampe akhir diarynya.

Merci ❤️

Paipai

ReNadaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt