Terima Kasih Nana

7 6 0
                                    

"Mungkin karena ...."

Bi Sumi menjeda ucapannya. Mengendus-endus sekitar. Ia mencium ada bau yang tak sedap.

"Aduh! Ikannya gosong!" Ia tergopoh-gopoh mematikan kompor gasnya.

Saat diangkat, benar saja ikannya gosong. Bi Sumi memperlihatkannya pada Rean. Rona wajah perempuan itu sedih.

"Gak-papa, Bi. Rean beli makanan di luar aja," ucap Rean.

"Udah malem loh."

"Gak-papa. Sekalian mau jalan-jalan."

Rean menyambar dompet dan jaketnya. Ia mengeluarkan sepeda kesayangannya. Mulai menggoes menyusuri jalanan.

Ia mengayuh sepedanya sambil bersenandung ria. Beruntung, malam ini bulan bersinar sangat terang. Ia jadi tidak terlalu khawatir.

Dari kejauhan, ia melihat seorang gadis yang perawakannya mirip dengan Fenny. Rean mengucek matanya barangkali ia salah lihat.

Saat didekati, ternyata benar itu Fenny. Gadis itu sedang tertunduk sambil tersedu-sedu.

"Fen?" Rean turun dari sepedanya. Ia menepuk punggung gadis itu.

Wajah Fenny sangat kusut. Hidungnya memerah, matanya sembab, dan dipenuhi oleh air mata. Gadis itu langsung menghambur ke pelukan Rean. Menangis sejadi-jadinya.

Pelukan Fenny secara tiba-tiba membuat Rean terkejut. Ia akhirnya mengusap pundak gadis itu untuk menenangkannya. "Kenapa?"

"Aku ... abis kecopetan." Gadis itu menangis semakin keras. Untungnya, di sana sepi. Orang-orang tak akan menuduh Rean sebagai penyebab tangisan Fenny.

"Aku anterin pulang, ya?" Tak  ada pilihan lain, ini sudah malam untuk seorang gadis seperti Fenny. Rean dengan senang hati mengantarkan gadis itu pulang ke rumahnya.

Udara malam ini semakin dingin.  Fenny memeluknya dari belakang. Awalnya Rean tak pernah segrogi dan segugup ini. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang dibanding saat bersama Nada.

Ia menatap sendu ke arah dua sejoli yang sedang menaiki sepeda itu. Rasa sesak semakin menjalar di dadanya. Semakin hari, Rean semakin dekat dengan Fenny. Ia merasa tersakiti. Namun, pada kenyataannya, ialah yang terlalu berharap pada Rean.

Nada menyusut air matanya perlahan, menikmati rasa sakit yang paling sakit untuknya. Setelah ini, apakah ia akan bersama Rean lagi, atau sebaliknya? Rean yang akan bersama Fenny selamanya?

Jeritan sendu yang ada di hatinya, perlahan mereda. Ia sadar, terlalu berharap hanya membuat rasa sakit saja.

Lo yang gak peka, atau gue yang terlalu berharap, Re?

Jauh dari sana, ada seorang cowok yang diam-diam bersembunyi di balik pohon. Hanya bisa melihat orang yang ia sukai dari kejauhan saja. Tidak berani mengungkapkan rasa yang sudah ia percayai.

Pada kenyataannya, mereka sama-sama terjebak dalam cinta bertepuk sebelah tangan yang terjerat oleh pertemanan.

***

Rean menghentikan sepedanya di depan rumah yang mewah. Ia sempat terheran-heran bahwa Fenny yang mempunyai rumah semewah ini.

"Ini rumah kamu?" tanyanya.

Fenny mengangguk. "Iya, mau mampir dulu gak?"

"Ah, gak usah. Udah malem."

"Sekali lagi terima kasih ya, Re. Kalau nggak ada kamu aku gak tau mau gimana."

Rean mengangguk. Sebelum gadis itu pergi masuk ke dalam rumahnya, ia masih senantiasa memperhatikannya dari sini.

Setelah kepergian Fenny pun ia masih terdiam di sini. Ia sedang mengingat-ingat rumah ini, sepertinya rumah ini sangat familiar untungnya.

ReNadaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt