Tidak Boleh Ada yang Menyakitimu

27 9 11
                                    

Nada menggerutu tidak jelas di dalam hatinya. Gadis itu sudah lama menunggu Rean yang tak kunjung datang. Ia menoleh ke rumah Rean, ternyata sudah sepi. Mungkin cowok itu sudah berangkat terlebih dahulu, melupakannya yang sudah siap-siap dari pagi buta.

"Awas, ya, Re. Gue marah-marahin lo nanti!" Ia menghentakkan kakinya. Mengambil ancang-ancang untuk berlari menuju ke sekolah.

Sesampainya di kelas, ia tak melihat ada Rean di sana. Nada melirik ke kiri ke kanan mencari keberadaan cowok yang dari tadi tidak terlihat batang hidungnya.

"Nyariin siapa sih, Nad?" Lala menepuk pundaknya.

"Biasa, si Rean. Lo tau gak?"

Lala menggeleng. "Mana gue tau. Biasanya kan sama lo."

Benar, memang biasanya cowok itu selalu bersamanya. Tapi, tidak biasanya cowok itu tiba-tiba menghilang seperti ini. Nada dibuat khawatir karenanya.

"Vi, semalem gue teleponan sama Reland lho," ucap Jane setengah berteriak. Matanya mendelik ke arah Nada, sengaja agar gadis itu mendengarnya.

Nada dan Lala melirik ke arah Jane.

"Hah? Iya gitu? Astaga!" Ivi menjerit histeris. Gadis itu adalah salah satu fans-nya Reland. Bahkan mereka sudah membuat group di WhatsApp bernama "ReFans" yang berarti "Reland fans". Sangat berlebihan.

"Iya, dong. Reland so sweet banget ternyata."

Lala mendelik. "Alah, paling halu doang," cibirnya.

Nada memukulnya pelan. "Hust! Kalau dia denger, nanti pasti ribut." Ia tak mau lagi berurusan dengan Jane. Sungguh, gadis itu sangat menyebalkan.

Tidak begitu lama, Reland sampai di kelas. Baru saja cowok itu mendaratkan bokongnya ke kursi, Ivi langsung menghampirinya. Menghujaninya dengan beberapa pertanyaan.

"Land, katanya lo teleponan sama si Jane, ya?" tanyanya antusias.

Cowok itu menoleh ke arah Ivi, mengerutkan keningnya, heran.
"Nggak."

"Tapi—"

"Eh, Vi, katanya lo ngajak gue ke kantin, ya? Ayo!" Jane menghampiri Ivi, ia membekap mulutnya dan langsung menyeret Ivi dari sana.

"Eh, lo serius nelpon nomor itu?" tanya Reland memastikan.

Jane berhenti seketika. Ia cengengesan. "I-iya."

"Oh. Padahal itu kan nomor sopir gue." Rean menggelengkan kepalanya, kemudian ia mengambil handphone-nya dari saku celana. Memainkannya, mengabaikan Jane yang sedang menahan malu.

Air wajah gadis itu mendadak berubah. Merah, menahan malu. Ivi yang ada di sampingnya menatap ke arah Jane, menganga tak percaya.

Otomatis hal itu menjadi bahan olok-olok Lala. "Pfft, ternyata lo doyan sama om-om ya, Jane." Gadis itu tak henti tertawa sampai perutnya sakit.

Jane menghentakkan kakinya, ia pergi dari kelas menahan malu karena ulahnya sendiri.

***

Bau obat-obatan tercium menyengat di hidungnya. Ia menunggu Dokter Adi yang baru saja pamit keluar.

Rean melamun, ia teringat dengan Nada. Mungkin gadis itu sekarang sedang mencarinya. Ia jadi tak enak sudah meninggalkannya.

Sejujurnya ia khawatir dengan gadis itu. Apakah dia sudah berangkat sekolah? Dengan siapa dia berangkat sekolah? Pertanyaan itu muncul di benaknya.

Baru saja ia akan mengambil handphone-nya, Dokter Adi sudah datang. Niatnya untuk menghubungi Nada urung seketika.

"Keadaan kamu semakin memburuk, seharusnya kamu dirawat inap di sini," ujar Dokter Adi.

ReNadaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt