Keesokan paginya, Nada mengunjungi Jane di penjara. Jane masih harus tinggal di sini sebelum ia dinyatakan tidak bersalah.
Jane terlihat sangat murung. Ia tengah tertunduk di kursi. Ada lingkaran hitam di bawah matanya. Gadis itu benar-benar terlihat sangat kacau.
"Jane?" lirih Nada. Ia tak bisa membayangkan Jane berada di dalam penjara. Tubuh gadis itu agak kurusan, wajahnya pun sangat pucat dan penampilannya berantakan.
"Lo yang—"
Jane mendongak. "Apa?! Lo juga mau nuduh gue yang udah ngelakuin itu ke dia?"
"Lo sama kayak mereka, Nad. Denger, ya, sebenci-bencinya gue sama dia, gue gak akan senekat itu buat ngilangin nyawanya."
"Bukan gue yang ngirim SMS itu. Gue berani sumpah, Nad." Air mata itu lolos begitu saja di kedua mata Jane.
Semua orang menghakiminya. Menuduh dirinya yang mencoba untuk mencelakai Rean. Bahkan, orang tuanya pun tidak mau menengoknya ke sini. Mereka mungkin malu jika harus mengetahui anaknya mendekam di penjara karena kasus kekerasan.
"Gue udah hancur, Nad! Semua orang jauhin gue, gak ada lagi yang percaya sama gue!"
Nada bingung. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia juga tidak akan menghakimi Jane sepenuhnya, karena belum tentu Jane yang melakukannya.
Setelah berbicara lama dengan Jane, Nada juga mengunjungi Ayah Rean. Om Akbar sedang berdiri di dalam sel tahanan. Wajah pria itu sangat murung. Pria yang selalu minta uang pada Rean itu tengah melamun. Tatapan matanya pun kosong.
"Om?" Nada menghampiri Om Akbar. Berdiri di hadapan pria itu.
Om Akbar nampak terkejut saat melihat wajah Nada.
"Om ... apa benar, Om yang sudah melakukan itu pada Rean?"
"Tidak! Bukan saya!" Urat leher pria itu menonjol bertanda sedang emosi. Pipinya mengeras.
Nada terlonjak. Ia menghela napas dalam. "Tapi ... malam itu Nada lihat Om ada di sana."
Pria berumur empat puluh tahunan itu kembali terdiam. Napasnya memburu. Kedua tangannya mengepal.
"Kamu terlalu percaya dengan apa yang kamu lihat, tapi kamu tidak tahu kenyataan dibaliknya. Jangan menyangka saya melakukan itu, karena saya sering memukul Rean." Om Akbar terdiam sesaat. "Saya tidak ada niat untuk membunuh anak itu. Jika saya pelakunya, mungkin dari dulu saya sudah membunuh Rean."
Nada tertegun. Ia meneguh ludahnya. Tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Om Akbar berbisik, "Hati-hati dengan gadis itu. Jangan percaya dengan semua kebaikannya."
Nada menautkan alisnya. "Gadis itu? Siapa yang Om maksud?"
"Jangan tertipu dengan penampilannya. Kedoknya masih belum terbuka."
"Maksudnya apa, ya, Om?" Jam besuk Nada sudah lewat. Polisi yang ada di sampingnya berdehem untuk segera meninggalkan Om Akbar.
Akhirnya Nada pergi sambil memikirkan perkataan Om Akbar. Gadis itu? Kedok? Apa maksud dari semuanya?
***
"Na?" Nada menghentikan kegiatannya yang sedang mengupas apel ketika Rean memanggil namanya.
"Kenapa?" Ia menyimpan apelnya terlebih dahulu, kemudian mendengarkan Rean.
"Aku minta maaf karena ... udah nerima Fenny."
Nada tertegun. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bibirnya hanya menyunggingkan senyuman, mencoba untuk tidak menganggap lebih. Meskipun di dalam hatinya ingin sekali bertanya ini itu tentang perasaan Rean pada Fenny.
Dalam keadaan lain, Nada akan memarahi cowok itu, mendesak agar Rean menceritakan semuanya. Tapi sekarang, keadaan Rean tak memungkinkan untuk diajak berdebat.
"Gak-papa, Re. Kalian kan sama-sama suka." Ia akhirnya memamerkam senyuman hambarnya.
"Kamu tau alasan aku nerima dia?"
Nada menggeleng. "Mmm ... mungkin karena lo juga suka sama dia. Bener, gak?" Nada mencoba keras untuk tidak menangis, saat ini di hadapan Rean.
"Kamu salah besar, Na. Aku gak mau dia menanggung malu karena nembak aku di depan banyak orang. Aku menghargai dia, Na."
Air mata itu lolos seketika. Ucapan jujur dari Rean mampu menjawab semua pertanyaan yang ada di benak Nada.
"Kenapa lo baru bilang sekarang, Re?"
"Karena aku gak mau bikin kamu sakit, Na. Aku terima kalau dulu kamu benci a—"
"Tapi lo suka kan sama dia?" potong Nada.
Rean menggeleng. "Aku nggak suka dia. Aku cuman menghargai perasaannya, Na. Dan sekarang, kita gak ada hubungan apa-apa lagi."
"Maksud lo, lo udah mutusin dia?"
Lagi-lagi Rean mengangguk. Mereka semua sama-sama terdiam, berkecamuk dalam pikirannya masing-masing.
Rean akhirnya berujar, "Na, jika ada awal pasti akan ada akhir." Ia menatap wajah Nada dengan damai.
"Maksudnya? Gue gak ngerti, Re."
"Gak-papa." Rean tersenyum. "Aku boleh peluk kamu?"
"Eh?" Wajah Nada merona. Lalu, ia mengangguk. "I-iya, Re."
Rean langsung menghambur di pelukan Nada. Cowok itu mengusap punggung Nada dengan lembut.
Rean sempat berpikir, apakah ia sudah siap untuk meninggalkan gadis itu? Apakah Nada bisa menjalani hari-hari tanpa dirinya? Tanpa Nada ketahui, Rean menangis di pelukannya.
Rean akhirnya melepaskan pelukannya setelah hatinya sudah tenang. "Aku mau tidur dulu, Nad."
Nada mengangguk. "Kalau begitu, gue pamit sebentar ke kantin, ya?"
"Iya." Rean tersenyum. Entah kenapa Nada merinding melihat senyuman Rean kali ini. Terasa aneh dan berbeda.
Setelah Nada pergi, tiba-tiba kepalanya mendadak sakit. Sekelilingnya terasa berputar. Rean mencoba memanggil seseorang, tapi lidahnya sangat kaku. Kerongkongannya sangat sakit. Ia ingin mengambil air yang ada di nakas, tapi air itu malah jatuh ke bawah. Suara pecahan gelas itu terdengar nyaring.
Dengan kekuatannya yang masih tersisa, Rean mencoba menyebut nama Nada. Pada akhirnya, Rean menghembuskan napas terakhirnya.
***
Saat Nada kembali, keadaan kamar itu berantakan. Pecahan gelas bertebaran di lantai. Ia langsung menghampiri Rean memastikan keadaan cowok itu.
"Re, kamu kenapa?" Nada mulai panik. Tubuhnya bergetar hebat.
"Re?" ulang Nada. Ia kemudian menepuk-nepuk pipi Rean mencoba untuk membangunkannya.
Apakah cowok itu sedang tertidur pulas hingga tak menggubris ucapannya?
Nada menjerit saat mengetahui Rean tidak bernapas. Ia memeluk tubuh Rean, menangis sekencang-kencangnya. Cowok itu sudah pergi meninggalkannya.
"Re, lo bilang tadi lo mau tidur! Tapi, kenapa lo malah pergi ninggalin gue selamanya, Re?!"
Untuk yang kedua kalinya, Nada kehilangan Rean.
***
Sorry for typo
Vote & komen
Krisarnya juga
Merci
Salam
Gadis halu (Pluto)