22 - Buronan

946 98 53
                                    

Sore itu, angin semilir kian menemani langkah kakinya di tanah berduka. Hembusannya terasa tenang dengan iringan awan biru sedikit gelap dan redup minim cahaya. Dengan bunga lily berwarna orange di tangan kanan, pemuda itu kian berdiri menatap batu nisan yang ada dihadapannya dengan sorot mata dingin dan tak berperasaan.

Sendu tatapannya, seolah tak ada perasaan yang tersirat di sorot matanya. Bahkan kian tampak kosong, namun juga sangat dalam di waktu yang sama.

Di kehidupannya yang sudah sangat sial ini, jika saja orang lain mengetahui bahwa ada begitu banyak hal yang telah ia lewati, mulai dari kehilangan orang-orang yang ia sayangi, bahkan sampai kehilangan jati dirinya sendiri. Yang kini kian membuat kehidupannya benar-benar berubah drastis.

Entah sudah berapa bulan lamanya dia pergi meninggalkan Ibukota, kini anxiety-nya pun kian telah kambuh kembali. Mengecam segala hal keji yang pernah ia perbuat dengan sadar di waktu lalu, yang kini kian telah meneror pikirannya tanpa henti.

Beberapa waktu yang lalu, gangguan cemas itu kian telah sedikit mengguncang kejiwaannya, bahkan terasa sangat melelahkan untuknya, untuk ia hadapi seorang diri. Ditambah lagi dengan obat-obatan terlarang yang ia konsumsi, kini kondisi dirinya diketahui sudah cukup parah, bahkan nyaris tak tertolong.

Namun, meski begitu, tak ada kata penyesalan terucap, tak ada yang ia sesalkan di kehidupannya, sedikitpun. Karena dia percaya, segalanya terjadi karena memang harus terjadi. Begitu juga dengan pilihannya saat ini.

Menjadi versi dirinya yang seperti ini, ternyata tidaklah terlalu buruk.

Sampai pada beberapa waktu yang lalu, lelaki itu kian masih kerap mendatanginya dengan tanpa kata. Seolah mendadak sengaja muncul di hadapannya, ketika kedua matanya tengah tidak terjaga. Dan tepat di saat itu juga, nafasnya sontak kembali terasa sesak, membuat sekujur tubuhnya terasa seperti mati rasa sejenak.

Bahkan jika saat itu dia masih memiliki kesempatan untuk berbicara padanya di saat terakhirnya pun, pemuda pemilik gigi gingsul itu kian akan tetap memilih bungkam dan menutup mulutnya rapat-rapat.

Setidaknya, dia telah menepati janjinya kepada seseorang.

Sore itu, tempat pemakaman kian tampak terlihat sepi dan juga sedikit orang serta kendaraan yang lalu lalang. Awan di langit bahkan tampak mendung sejak siang tadi, namun tak kunjung menitikan air hujan sedikitpun disana.

Suasana saat itu, persis seperti suasana hatinya, yang kian terasa sepi dan sunyi.

Lalu teriakan itu kian tiba-tiba saja terdengar kembali. Lirih namun memilukan. Meminta pertolongan, memohon ampunan. Terdengar histeris diiringi oleh suara percik api yang membara.

Kejadian itu, bahkan sedikit membuatnya terasa hampir gila.

Ingatan itu kian meneror kembali seisi kepalanya.

"...Tolong..."

Suaranya yang lirih meminta ampunan, kian telah kembali menggema.

Namun dengan sigap, pemuda tersebut pun langsung menggeleng cepat sambil menumpat kata-kata kasar. Lalu kemudian melemparkan Bunga lily orange ditangannya secara asal ke salah satu makam yang saat itu tengah ia datangi.

"Brengsek." Umpatnya dengan bibir bergetar. Kakinya bahkan telah berada tepat diatas bunga yang baru saja ia lemparkan di atas tanah merah.

Padahal, bunga yang tengah ia injak tersebut merupakan sebuah bunga yang memiliki makna cukup kelam yang mungkin tak banyak diketahui oleh orang-orang awam. Bahwa bunga cantik berwarna orange itu adalah sebuah bunga yang menyiratkan sebuah kebencian, kebohongan, dan juga penghinaan.

Jakarta GangsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang