Karena rumah adalah perasaan.
***
Hujan deras di siang dini hari tampak telah mengguyur sebagian besar wilayah Jakarta dan sekitarnya. Suara bercak air yang terhempas oleh roda kendaraan pun kian terdengar dengan cukup jelas di sekitaran jalan. Bahkan angin berderu cukup kencang. Terasa begitu sejuk dan dingin secara bersamaan.
Benar kata orang, ternyata hujan memang dapat mengundang kenangan, dan juga rasa rindu yang mendalam.
Jika diingat kembali, ini sudah cukup lumayan lama lelaki berwajah hitam manis tersebut tidak dapat merasakan bagaimana rasanya berbaring di ranjang setelah sekian lama terkurung di balik sel jeruji besi.
Dengan bertelanjang dada, dia mulai merebahkan tubuhnya yang dipenuhi oleh bekas luka sayat dan juga jahitan. Matanya terpejam perlahan, sambil sesekali menghembuskan nafas panjang.
Dia mengantuk, namun suara panggilan itu terus saja terdengar seakan menerornya.
Meski sedikit tersamarkan oleh derasnya seruan air hujan, namun itu masih dapat terdengar dengan jelas.
"Bang Iam, ujannya udah gede. Ayo cepatan."
Suara bocah lelaki berusia 6 tahun itupun lagi-lagi terdengar jelas ditelinga, memanggil-manggil namanya dengan rengekan yang kian membuat kedua mata lelaki tersebut kembali terbuka dengan cepat.
Sejak tadi malam, matanya terus terjaga. Bahkan ketika semalam Yoman mengajaknya berbicara, dia kerap kesulitan mendengar dan tak fokus pada topik pembicaraan.
Iam yang akhir-akhir ini diserang oleh gangguan cemas dan kesulitan tidur itupun akhirnya sontak bangun dari posisi tidurnya. Dia terduduk lemas di lantai seraya menyandarkan tubuhnya ke dinding kumuh tak berwarna.
Ini benar-benar melelahkan, batinnya.
Halusinasi nya benar-benar tampak nyata di mata. Kejadian yang kian berulang-ulang itu terus saja berputar liar di dalam kepala.
Bagian yang hilang itu, teramat sangat menyakitkan.
Dosa-dosa yang ia perbuat sewaktu lalu, yang dulu pernah ia janjikan untuk tak akan pernah mengulanginya kembali, kini seolah menjadi sia-sia tak berarti.
Matanya tampak memerah dan sedikit berair. Dengan tubuh sempoyongan, dia berjalan keluar dari kamar sambil mengenakan sebuah sweater hitam bertopi, lalu kemudian melangkahkan kaki menuju halaman depan rumah.
Langkah kakinya sempat terhenti manakala kedua matanya memandang jauh keatas langit yang tampak gelap dan masih menitikkan air.
Mengapa hujan tak pernah datang diwaktu yang tepat?
Mengapa hujan tak pernah datang ketika dibutuhkan?
Iam kembali menghembuskan nafas.
Sebelum memantapkan hati untuk melangkahkan kaki kembali, ia menengok ke belakang, dengan raut wajah lemas dan tak bertenaga.
Pandangannya kosong, bahkan matanya lagi-lagi berair tanpa sebab.
Kini mulutnya tampak sedikit terbuka, dengan mata yang masih berkaca-kaca,
Menatap sesosok bocah lelaki yang kini tengah menyembunyikan sebagian tubuhnya di balik pintu kayu rumah sambil menatapnya dengan raut wajah sedih, dan tentunya dengan wajah yang dihiasi oleh beberapa luka yang cukup parah.
Tatapan Iam yang kosong itupun perlahan kian menghangat,
Ketika kakinya berniat bergerak selangkah untuk menghampiri, bocah lelaki tersebut malah mundur selangkah seolah menjauhi. Membuat Iam sontak terdiam kaku diposisinya berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta Gangster
Fiksi Remaja[Warning 17+] Setelah mendengar kabar buruk mengenai adik sematawayangnya yang telah mati tragis dengan cara dibakar massal dan dituduh sebagai pelaku begal oleh sekelompok geng motor, Iam, seorang anggota Gangster paling bringas di Jakarta bagian T...