Malam itu, tak seperti biasanya suara sirine mobil polisi telah terdengar mengisi kesunyian di sekitar kawasan perkampungan Kober. Daerah yang diketahui berbatasan langsung dengan markas besar TNI itu kini rupanya baru saja dimasuki oleh para oknum kepolisian yang tengah berpatroli malam.
Suara sirine itu datang dari arah jalan raya besar dengan sangat tidak terduga, membuat para pemuda yang tengah ribut di Kober sana sontak dibuat kalang kabut seketika. Mati-matian menyelamatkan diri dan menghindar, benar-benar tidak ingin sedikitpun berurusan dengan pihak kepolisian. Seolah mereka sudah sangat paham betul bagaimana resiko yang kelak nanti akan mereka dapatkan.
Masih dengan suasana gaduh, anak-anak Jaley tampak telah beranjak pergi dari tempat kejadian dengan memencar ke berbagai arah. Beberapa ada yang pergi ke Kober pedalaman, ke pasar dekat terminal, bahkan ada yang sampai nekad masuk ke komplek perumahan TNI.
Namun tidak seperti teman-temannya yang lain yang diketahui tengah sibuk melarikan diri, Iam yang masih sangat terobsesi dengan pembalasan dendamnya itupun sontak tidak langsung pergi.
Dengan keringat di sekitar pelipisnya, nafas Iam kian terdengar kasar dan juga gusar.
Saat itu, dirinya bahkan seperti kehilangan selera untuk sekedar bicara. Seolah sorot matanya yang tajam tersebut tampak telah menjelaskan segalanya. Perasaan amarah itu, benar-benar kian tak bisa lagi untuk ia bendung lebih lama.
Dengan sotot mata tajam, dia fokus memantau gerak-gerik para musuhnya yang ada di depan sana.
Dan dengan ekspresi geram sekaligus kesal, Iam telah mengintai kepergian Kibo beserta kawanannya. Bersumpah kepada dirinya sendiri, bahwa pada malam ini mereka semua akan mati.
"Kita ikutin bang Ali, bang?" Tanya Kamal yang telah bersiap untuk beranjak pergi.
"Ikutin dia pada Mal!" Ujar Iam memberi perintah kepada Kamal, menunjuk ke arah sekumpulan pemuda yang baru saja pergi ke arah utara.
Mendengar ucapan Iam yang sangat tidak terduga itupun sontak membuat kedua bola mata Kamal sontak melotot seketika.
"Nyusulin anak-anak Hacel?" Tanya Kamal yang kala itu merasa bahwa ia telah salah mengira.
"Iya buruan!" Jawab Iam yang tak ingin sampai kehilangan jejak para musuhnya.
"Ki-kita berdua doang bang?!" Sahut Kamal memastikan.
Lalu dengan pandangan mata yang masih terfokus ke arah anak-anak Hacel, Iam pun berdeham, mengiyakan pertanyaannya.
Wah anjir, mau ngapain lagi ini?
Keluh Kamal dalam hati.Dag dig dug rasanya jantung Kamal kala itu, manakala bang Iam telah memintanya untuk mengikuti kepergian anak-anak Hacel tanpa sepengetahuan teman-temannya yang lain.
Kamal yang masih dilanda keraguan itupun sempat ingin menghubungi anak-anak Jaley yang lain untuk meminta bantuan. Namun karena saat itu kondisinya sangat genting, dan bang Iam tampak sangat terburu-buru, dia pun kian jadi harus mengurungkan niatnya itu.
Meski sejujurnya Kamal pribadi tidak ingin menuruti perintah Iam yang sangat beresiko tersebut, namun karena saat itu dia tidak memiliki pilihan lain dan tidak memiliki keberanian untuk membantah ucapannya, bocah tersebut pun akhirnya mau tak mau tetap menuruti perkataan Iam untuk pergi mengikuti kepergian rivalnya tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta Gangster
Teen Fiction[Warning 17+] Setelah mendengar kabar buruk mengenai adik sematawayangnya yang telah mati tragis dengan cara dibakar massal dan dituduh sebagai pelaku begal oleh sekelompok geng motor, Iam, seorang anggota Gangster paling bringas di Jakarta bagian T...