Chap 5

408 72 4
                                    

[Next Level]

Hyunjin kembali ke rumahnya dengan amarah yang menggebu. Dia tidak suka dipermainkan. Dia benci hal itu. "Argh!" Teriak Hyunjin menendang sebuah tong sampah kecil dirumahnya. "Apa yang membuatmu sangat marah?" Tanya seorang perempuan yang tengah minum di ruang tamu sembari membaca majalah.

"Sejak kapan kakak disini?" Tanya Hyunjin masih belum melihat ke arah kakak perempuannya itu.

"Hmm, sejak tadi." Kata pemilik senyum manis itu, dan kembali menyeruput teh hangatnya untuk menghangatkannya dimalam itu. 

Hyunjin membuka matanya, dia tidak sadar jika dia berhalusinasi lagi. Selalu seperti itu, bayangannya terhadap kakaknya tidak juga pergi. Entah itu karena penyesalan atau rasa marah. "Haahhh.." Hyunjin menghela nafas.

Dia ingat jika besok adalah hari kematian kakaknya. Mungkin karena itu dia mulai berhalusinasi lagi. "Choi Soobin." Panggil Hyunjin saat memanggil Soobin lewat panggilan jaraj jauh. "Kosongkan semua jadwalku besok."

"Sudah ku kosongkan sejak lusa kemarin." Kata Soobin, sahabatnya yang satu itu memang cekatan tanpa harus bertanya. Dia tahu hampir semua apa yang ada di otak Hyunjin, tak terkecuali jadwal-jadwal yang ingin Hyunjin hadiri dan tidak ingin hadiri. Setelah itu panggilan diakhiri begitu saja oleh Hyunjin, tanpa kata terimakasih.

Hyunjin kemudian melihat lagi laporan Soobin tentang keluarga Kim itu. Dilihatnya anak perempuan yang berusia 19 tahun itu. "Dia cukup pintar untuk melewati akselerasi secara terus menerus... Kita lihat apa dia juga sangat pintar untuk menghentikanku."

Pagi harinya Hyunjin menuju ke tempat dimana abu kakaknya disimpan. Dengan pakaian serba hitam dan kacamata hitamnya, entah kenapa perjalanan terasa sangat lama dari rumah ke tempat itu. Dan ketika sampai, dia bejalan ke arah tempat kakaknya. Dan menatapnya lama. Seketika ingatannya kembali kepada saat-saat itu.

Darah yang mengalir, kaki yang sakit karena berlari, musim dingin yang membeku, dan siksaan yang tajam.

"Benar. Jika diingat lagi, memang sudah sepantasnya aku memberikan pembalasan." Kata Hyunjin bergumam sembari menatap mata kakaknya difoto. Hyunjin mengeluarkan bunga yang sudah mengering dan memberikan bunga baru disamping guci itu.

"Tahan untuk sementara. Aku akan memberikanmu Euphoria yang kau dambakan." Kata Hyunjin kembali bergumam. Dan memejamkan matanya berdoa dalam hati.

"Dan semoga rasa sakit yang ada di hatimu dan fisikmu menjadi rasa bahagia disana." Hyunjin terkejut dengan adanya seseorang yang tiba-tiba bersuara disampingnya memang tidak dengan suara yang terdengar hingga jauh namun gumaman yang masih terdengar oleh Hyunjin.

Hyunjin membuka mata dan terlihatlah seorang perempuan yang ikut memejamkan matanya. Dia familiar dengan wajah perempuan itu. Tanpa dia menghampiri, seorang perempuan dengan marga Kim, dan nama Dahyun. "Sedang apa-" Tanya Hyunjin.

"Mendoakan saudara anda." Kata Dahyun ketika dia sudah selesai berdoa.

"Bagaimana kau tahu jika dia kakakku?" Hyunjin mulai curiga dengannya. Apa dia juga memata-matainya?

"Hwang Hyeri. 28 tahun, 7 tahun yang lalu . Akibat meninggal..." Dahyun terhenti disana. Kemudian mulai mengalihkan pembicaraannya, "Dilihat dari penampilan anda masih cukup muda, lagi pula difoto ini ada anak yang mirip dengan anda. Jadi saya berasumsi." Kata Dahyun yang kemudian berjalan satu langkah disamping Hyunjin dan berjongkok untuk mendoakan seseorang juga.

Hyunjin bisa mengakui jika perempuan itu cukup cerdik. Namun dia harus bisa lebih waspada. Hyunjin ikut melihat nama diguci milik Dahyun itu. "Shin Minah. 35 tahun, 5 tahun yang lalu. Akibat meninggal, tenggelam."

Hyunjin melewatinya begitu saja, dia tidak tertarik dengan perempuan itu. Dia berjalan pergi dan menelepon Soobin yang sebenarnya sudah berada disana, "Halo-". "Saya sudah disini Tuan." Kata Soobin sembari memakan sebuah roti dengan tangan kiri yang mengangkat handphonenya.

Menjadi sekretaris orang adalah pekerjaan yang sulit.

"Sapu tangan? Laporan saham? Baju ganti? Sarapan?" Tanya Soobin yang sepertinya sudah mempersiapkan segalanya di tasnya. "Bagaimana kau datang ke sini?" Tanya Hyunjin.

"Dengan taxi, Tuan." Kata Soobin masih mengunyah roti isinya yang masih ada dua buah di kantongnya. "Berhentilah makan, ayo pergi." Kata Hyunjin yang melihat sahabatnya yang banyak makan tapi tak juga memperbanyak lemak itu dengan tatapan malas.

"Baik." Kata Soobin mengikuti Hyunjin yang menuju ke dalam mobilnya. Saat Hyunjin memberikan kunci mobil kepada Soobin, Soobin berkata, "Sepertinya anda sudah melihat Nona Dahyun didalam sana Tuan."

"Kau melihatnya?" Tanya Hyunjin. "Iya Tuan, saat dia masuk ke dalam." Soobin mulai menyalakan mobil saat mereka berdua sudah berada didalam.

"Bagaimana dia menurutmu?" Tanya Hyunjin lagi seperti memberikan interview kepada Soobin. "Cantik, berwawasan, pintar, berprestasi dan tidak terlalu tinggi." Kata Soobin membuat Hyunjin menghela nafas, karena bukan itu yang dimaksud oleh Hyunjin sendiri.

"Aku bertanya tentang kepribadiannya. Bukan penampilannya, apa kau ingin menjadi pedofil pada umurmu itu?" Tanya Hyunjin yang menyalahkan Soobin yang mengerutkan dahinya dan menatap Hyunjin yang tengah memeriksa handphonenya lewat spion depan. Karena sepertinya bukan dia yang bermasalah dalam urusan suka menyuka perempuan tentang umur.

***

"Kau tidak bisa merebut anakku begitu saja!" Teriak dokter Kim kepada istri keduanya yang menurutnya telah melewati batas.

"Memangnya kau bisa mengurusnya?! Kau bahkan tidak pernah mengurusku! Selalu saja pekerjaanmu itu yang paling utama!" Suara wanita itu tidak kalah tinggi dari sang pria. Selalu seperti itu.

"Itu karena aku seorang dokter!" Kata pria itu mencoba menjelaskan.

"Tidak! Itu karena kau memang tidak ingin pulang dan menyelesaikan masalahmu!" Kata sang wanita membuat pria itu tak berkutik karena memang itu ada benarnya, namun dia tidak bisa begitu saja mengambil Dahyun darinya.

"Baik! Terserahmu saja! Bawa Dahyun jika itu keinginanmu! Aku sudah tidak peduli." Dan disaat itu, Dahyun masuk kedalam rumah. Matanya melihat ke arah kedua orang itu dengan tajam dan helaan nafas yang berat.

Dia memasang headsetnya dan berjalan menuju kamarnya. "Da-dahyun!" Ayahnya mencoba mengejar Dahyun dan menggenggam tangannya, namun Dahyun tidak mengindahkannya dan mengelapnya begitu saja. "Bukankah kau sudah tidak peduli?" Suara parau Dahyun membuat ayahnya sakit hati.

"Tunggu ayah bisa jelaskan." Ayahnya mencoba untuk menyentuh tangan Dahyun, agar dia bisa menjelaskan semuanya. "Jangan sentuh aku! Kau bahkan tidak hadir di hari peringatan ibu. Aku akan tinggal disini, pergilah sesuka hatimu." Kata Dahyun berlari ke arah kamarnya dan menutup pintunya.

Di dalam kamarnya dia terduduk membalakangi pintu. Semua ini memusingkan. Dia ingin kembali.

Dimana waktupun tidak berharga karena digunakan dengan baik. "Ibu.. aku ingin pergi dari sini."

TBC
Like! Comment! Follow!

The CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang