Sebelas

792 145 0
                                    

Pukul lima sore.

Jeonghan berulang kali mendongak untuk mengecek jam dinding. Sepertinya ada yang mengubah posisi jarum pendeknya. Kenapa jarumnya tidak bergerak sedikit pun dari angka lima sejak berjam-jam yang lalu?!

Ia membuatkan Yoongi pasta dengan saus tomat encer. Itu pasta kesukaan Yoongi. Ayahnya sangat fanatik dengan saus tomat. Kaleng soda bebas gula berada di atas meja makan. Jeonghan duduk menyangga kepala dengan satu lengan, memperhatikan Yoongi menyuap pasta ke dalam mulut. Satu tangannya yang bebas dari garpu bermain di ponsel pintar. Bagi Jeonghan itu lebih tampak seperti TV berukuran sangat mini. Yoongi biasa melakukan atau mengecek pekerjaannya melalui ponsel pintar jika sedang berada di rumah.

Pukul enam sore. Jeonghan sudah mencuci semua piring dan gelas kotor, membuatkan Yoongi secangkir kopi hitam pekat tanpa gula, membersihkan meja makan yang terkena noda saus dan minyak, mencoba mengelap mesin pembuat kopi hanya agar ada yang bisa ia lakukan selain duduk diam dan menunggu.

Pukul tujuh. Jeonghan duduk di depan TV yang menyala, menampilkan pertandingan baseball. Tim yang sedang bertanding adalah tim kebanggaan Yoongi. Mereka duduk berdampingan dengan kedua kaki bertumpu naik ke atas meja, tatapan Yoongi tidak lepas sedikit pun dari layar TV. Yoongi memangku mangkuk penuh pop corn asin yang Jeonghan buat dan mulutnya tidak bisa berhenti mengunyah. Jeonghan duduk tegang. Dan ponselnya tetap tidak berbunyi.

Pukul delapan. Jeonghan mulai bosan menunggu. Berulang kali dia harus menyembunyikan kantuk, membelakangi Yoongi agar bisa menguap lebar tanpa membuatnya merasa tersinggung. Yoongi pasti akan mengira Jeonghan bosan menemaninya menonton pertandingan baseball di TV.

Pukul sembilan. Pertandingan berakhir. Tim favorit Yoongi mendapat kekalahan telak. Dia pergi tidur lebih dulu sambil bersungut-sungut seperti gurita raksasa dan menyisakan pop corn yang Jeonghan buat untuknya.

Pukul sepuluh. Kepala Jeonghan kembali mendongak memandang jam di dinding untuk ke 8304848 kalinya. Ia menghela napas bosan. Mungkin Seungcheol lupa pada janjinya. Mungkin dia tidak jadi menghubungi Jeonghan karena memang dia tidak tahu berapa nomor ponselnya. Ya! Pasti itu alasannya!

Jeonghan beranjak dari sofa, menaruh mangkuk bekas pop corn ke bak cucian, membersihkan wajah dan menyikat gigi. Ia menatap pantulan wajahnya sendiri di depan cermin. Kulitnya perlahan mulai kembali ke warna asalnya---putih pucat tanpa warna. Banyak yang bilang bahwa tampilannya lebih mirip Mum dengan kulit seperti itu. Lembek, putih pucat dan nyaris tidak berwarna. Sedangkan Yoongi memiliki kulit putih kemerahan. Terlebih jika berada di bawah sinar matahari terlalu lama. Kulitnya akan berubah menjadi semerah kepiting rebus.

Angin berhembus kencang membuat gorden kamar bergoyang. Ranting dari pohon besar yang ada di depan rumah berkali-kali menampar jendela, menimbulkan bunyi menyeramkan seperti yang ada di film horor. Imajinasi Jeonghan berlarian tak tentu arah. Seperti pembunuh cabul yang bersembunyi di balik jendela misalnya.

Bergetar. Bergetar. Bergetar. Tubuh Jeonghan menggigil, bergetar karena hawa dingin seperti biasa. Dia tidak membutuhkan pendingin ruangan di dalam kamar karena West Coast memang hampir tidak pernah mendapatkan sinar matahari. Beberapa teman sekolahnya bercerita, musim panas terpanas di West Coast terjadi tahun lalu, dengan suhu hanya menyentuh angka dua puluh lima derajat.

Jeonghan menutup pintu, memasang rantai pengait jendela, dan bergerak naik ke atas kasur. Suasana menjadi sunyi seketika. Lampu kamar sudah padam, dan cahaya dari lampu jalanan yang masuk ke dalam kamar melalui jendela yang tertutup menambah warna keemasan pada dinding kamar.

Memejamkan mata, Jeonghan mendengar sesuatu dari luar kamar. Sepertinya angin kembali berhembus sangat kencang hingga membuat ranting memukul-mukul jendela kamar. Jeonghan mencoba memejamkan mata kembali, tapi ternyata bunyi jendela yang dipukul oleh ranting semakin keras. Dengan geram ia bangkit dari posisi nyamannya, membuka jendela, dan terdengar suara seseorang ber-pffft.

"Halo?! Siapa itu?!" Jeonghan harus menyipitkan mata untuk bisa melihat menembus kegelapan malam. Rumpun tanaman hias yang ada tepat di bawah jendela kamar bergerak membuatnya mengambil langkah mundur. Jika itu seorang pembunuh atau psikopat atau penjahat cabul, dia harus lari dan bersembunyi sebelum mereka menemukannya.

"Minggir... biarkan aku masuk..." Tapi ternyata itu suara Choi Seungcheol!

Jeonghan kembali menundukkan kepala, melihat ke bawah jendela dan melihat Choi Seungcheol bersembunyi di balik salah satu tanaman hias milik Yoongi. Tangannya melambai meminta Jeonghan menyingkir dan Jeonghan menurutinya. Jeonghan menahan napas, tatapannya mengarah pada pintu kamar yang tertutup rapat dan terkunci. Semoga Yoongi tidur cukup pulas.

Kemudian dengan satu gerakan mantap, Choi Seungcheol berhasil mendarat di lantai kamar. Dia mengibaskan potongan ranting dari rambut serta kemejanya yang berwarna hitam.

"Seungcheol?!"

"Psssttt.." Seungcheol membekap mulut Jeonghan. "Kalau Ayahmu tahu aku datang bertamu dengan cara seperti ini, dia akan membunuhku!"

Jeonghan menyingkirkan tangan Seungcheol yang berada di mulutnya. "Apa yang kau lakukan?! Bagaimana kau tahu kalau ini kamarku?!"

"Yah, gampang sebenarnya. Biasanya kamar anak perempuan letaknya ada di lantai dua," Seungcheol masih mengibas ranting dari rambutnya "Nah, aku datang untuk menghubungimu."

"Apa?!"

"Aku mencoba menghubungimu, tapi lalu kuingat kalau aku tidak punya nomormu... jadi kuputuskan untuk meminta nomormu langsung sekarang juga..."

Hah???!

Jika Jeonghan berada dalam komik atau dunia kartun, dia pasti menjatuhkan rahangnya saat ini juga.

Seungcheol mengeluarkan ponselnya dari saku celana olahraga yang ia kenakan dengan bergaya, menyodorkan ponselnya tepat di depan wajah Jeonghan. "Nah... ayo masukkan nomormu... ayo..."

HEAVEN'S CLOUD | JEONGCHEOL (END)Where stories live. Discover now