Dua Belas

165 23 0
                                    

Song Yuqi menghubungi Jeonghan pagi-pagi sekali di hari Minggu. Jeonghan masih bersembunyi di balik selimut bermotif polkadot yang dibeli Mum di pasar barang bekas dengan diskon sebesar 75 persen, kedua matanya masih terpejam rapat sementara Yuqi terus bicara dan Jeonghan hanya setengah hati mendengarkan.

"Jadi, aku tidak tahu bagaimana awalnya. Tapi ternyata dia punya perasaan yang sama denganku."

Yuqi katakan Huang Xuxi adalah cowok tertampan yang tinggal di lingkungan perumahannya. Dia cowok yang sangat tinggi dan sebelah telinganya memakai anting berbentuk taring. Yuqi biasa memanggil nama kecilnya Lucas.

Lucas memiliki wajah yang hangat, dan itu membuatnya terlihat semakin tampan.

"Bagus.." Sahut Jeonghan asal.

"Tentu saja bagus! Kau tahu sudah berapa lama aku menyimpan perasaan untuknya?!" Jeonghan menggeleng meskipun Yuqi tidak bisa melihatnya. "Aku sudah menyukainya sejak kita di sekolah dasar. Astaga! Bisa kau bayangkan itu?!"

Ya, tentu saja bisa. Jeonghan sendiri ingat bagaimana rasanya memiliki perasaan kepada lawan jenis saat usianya bahkan belum genap sepuluh tahun. Saat itu memakan lolipop yang sudah jatuh ke tanah pun terasa sangat menyenangkan dan nikmat.

Matahari tertutup awan seperti biasa. Yuqi baru memutuskan sambungan telpon setelah Ayahnya berteriak padanya, meminta diambilkan kotak perkakas dari bawah tangga.

Jeonghan turun dan mendapati Ayahnya sedang mencoba membuat sarapan untuk mereka berdua. Jeonghan mengucapkan selamat pagi sambil menguap lebar. Itu membuat Ayahnya mengernyit. "Apa kau tidak tidur nyenyak semalam?!"

Jawaban yang benar adalah ya. Semalam, setelah kunjungan singkat Seungcheol yang mengejutkan, Jeonghan tidak bisa memejamkan mata dengan benar. Seungcheol menelponnya menjelang pukul dua belas malam, setelah dia berada di dalam kamar tidurnya sendiri. Hanya obrolan ringan dan mereka lebih banyak bercerita tentang kegiatan memancing kemarin siang.

"Aku mencium aroma kopi...." Jeonghan duduk di kursi makan menonton Yoongi memotong bawang bombai.

Yoongi cukup mahir memasak. Rasa masakannya juga cukup lezat. Terkadang, jika sedang libur atau saat Mum sedang sakit, Yoongi akan memasak untuk mereka dan Mum akan memuji masakannya. Masakan favorit Mum yang selalu Yoongi buat adalah tumis daging dengan kecap asin dan wijen. Itu adalah masakan yang pertama kali Yoongi buat saat Mum berkunjung ke rumah grandma untuk pertama kali ketika mereka berpacaran.

"Kopi hitam yang pekat, seperti biasa..." Yoongi meneguk kopinya sendiri dan menawarkan kopi yang sama. Jeonghan menolak, memilih untuk membuat air jahe karena hidungnya terasa sangat perih pagi itu.

"Apa rencanamu pagi ini, Hannie?!"

Ayahnya selalu memanggilnya dengan panggilan Hannie. Dia selalu memanggil Mum dengan panggilan Hari. Jeonghan tidak tahu ada apa dengannya dan kata berakhiran -i, tapi yang jelas, Ayahnya selalu senang mengubah nama orang-orang terdekatnya menjadi berakhiran -i. Bahkan dia sendiri yang membuat panggilan Yoongi untuk dirinya sendiri.

"Entah. Kurasa aku akan pergi ke rumah teman."

"Teman yang mana?!" Ayahnya juga selalu bertanya teman yang mana setiap kali Jeonghan katakan dia ingin berkunjung ke rumah teman. Yoongi seorang Ayah yang protektif, terlebih sejak kepergian Mum. "Apa dia Nona Song?!"

Jeonghan mengangkat bahu, menggigit kue kering jahe yang ia buat beberapa hari lalu.

Sebenarnya, Jeonghan akan berkunjung ke rumah Choi Seungcheol. Dia meminta Jeonghan datang ke rumahnya dan dengan bodohnya Jeonghan mengiyakan ajakannya.

Aduh!









Jeonghan membantu Ayahnya membersihkan dapur dan mencuci piring serta gelas kotor. Ayahnya juga sudah memangkas tanaman hias sementara Jeonghan mengganti tanah, memindahkannya dari pot kecil ke pot yang lebih besar. Seperti biasa, pagi ini matahari terlihat mengumpat di balik awan.

Pukul sembilan mereka telah menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Yoongi bicara dengan teman kerjanya melalui ponsel. Sepertinya itu pembicaraan serius karena Yoongi berulang kali harus mendecakkan lidahnya karena kesal.

Jeonghan pergi mandi dan mencuci rambut. Aroma sampo yang baru ia beli benar-benar harum. Wanginya seperti makaron stroberi.

Jeonghan menatap tampilan wajahnya sendiri di cermin. Rambutnya sudah jauh lebih panjang sejak terakhir kali ia memotongnya. Satu hal yang sangat menyebalkan dari rambutnya ketika tumbuh panjang adalah dia selalu mengikal di bagian bawah. Dia akan memotongnya dalam waktu dekat hanya untuk membuatnya tetap lurus dan mudah diatur.

Matahari bersinar malu-malu. Angin dan hawa dingin masuk melalui jendela kamar yang dibuka lebar. Dengan tangan gemetar Jeonghan memasang rantai pengaman.

Jeonghan baru menekan tombol mengirim pesan di ponsel saat mendengar suara mesin mobil di halaman depan. Membuka kembali jendela dan melongok ke luar, kedua matanya membulat saat melihat Seungcheol keluar dari mobilnya. Dia memakai jaket baseball hitam dan celana berwarna senada. Cepat-cepat ia mengaitkan kembali rantai pengaman di jendela dan berlari turun.

Yoongi menyambut Seungcheol dengan berlebihan. Dia menepuk pundaknya beberapa kali seolah dia sudah sering melakukannya. Jeonghan berhenti di dua anak tangga terakhir menunggu Ayahnya bertanya pada Seungcheol tentang lima jenis pertanyaan apapun yang melintas dalam pikirannya saat ini. Seperti bagaimana kabar Tuan dan Nyonya Choi, bagaimana ramalan cuaca hari ini, kapan mereka akan pergi memancing lagi, dan masih banyak yang lainnya. Jeonghan bahkan tidak terkejut jika Ayahnya bertanya apa warna favorit Seungcheol nanti atau apa warna pakaian dalamnya. Beruntung dia tidak melakukan itu.

Seungcheol meliriknya. Matanya terlihat ingin tersenyum tapi bibirnya tidak melakukannya. Jeonghan tahu Seungcheol berusaha menjaga sikapnya sendiri di depan Yoongi.

Yoongi ikut menatap Jeonghan. Satu alisnya terangkat. Jeonghan tahu, posisinya terlihat sangat aneh, dengan satu kaki terangkat di dua anak tangga terakhir. Tangannya meraih pegangan tangga agar tidak terjatuh. Jeonghan tersenyum canggung.

"Aa, kalian mau pergi." Untuk pertama kalinya Jeonghan mendengar Ayahnya bicara seperti itu. Jeonghan menyipitkan mata mencari tanda-tanda bahwa Yoongi baru saja menghakiminya tapi tidak. Sebaliknya, dia terlihat senang dan itu membuat Jeonghan terkejut.

"Ya... Kami sudah membuat janji sebelumnya," Seungcheol yang menjawab.

"Baiklah kalau begitu..." Yoongi mengibaskan tangan seperti sedang mengusir lalat. Dia belum pernah bersikap seperti itu sebelumnya. Dia seolah senang mengusir Jeonghan dari rumah demi bersama Choi Seungcheol hari ini.

Seungcheol memasang sabuk. Dia menoleh mendapati Jeonghan yang masih berusaha memasang sabuk untuknya sendiri. "Kau ingin menyetir?!"

Jeonghan menggeleng. "Aku tidak punya SIM."

Kening Seungcheol berkerut. "Tapi kau mengemudi ke sekolah."

Jeonghan memberinya senyuman bersalah. "Yah... Aku tidak punya pilihan lain... Aku tidak ingin berjalan kaki ke sekolah dibawah guyuran air hujan, dan aku tidak mungkin memaksa Ayahku untuk mengantar jemput. Jadi pilihan apa lagi yang kupunya?!" Jeonghan mengangkat wajah seolah menantangnya. "Aku bisa menyetir mobil Dad tanpa SIM, tapi tidak dengan mobil orang lain. Aku tidak ingin membawa kita ke rumah sakit. Lagipula, jarak dari rumah ke sekolah tidak jauh dan aku tidak perlu menyetir ke jalan raya."

Itu adalah kelebihan yang West Coast miliki. Banyak remaja di bawah umur yang belum memiliki SIM tapi mereka sudah bebas mengemudi kemanapun selama bukan di jalan bebas hambatan.

Seungcheol tertawa dan menggelengkan kepala. Mobilnya bergerak perlahan dan menginjak kerikil di halaman depan rumah. Jeonghan akan berkunjung ke rumahnya untuk pertama kali. Perut Jeonghan terasa mulas. Sepertinya ribuan kupu-kupu menyerang perutnya saat ini.

HEAVEN'S CLOUD | JEONGCHEOL (END)Where stories live. Discover now