Sembilan

472 98 0
                                    

Hei, apa kabar?! Sudah sangat lama sejak terakhir kali aku mencoba menulis, menumpahkan semua yang kurasakan di sini... Kau tahu?! Tidak banyak hal yang bisa kuceritakan, karena itu lah aku memutuskan untuk berhenti menulis sementara waktu.

Tebak ada dimana aku saat ini?! Di dalam kamarku, yang dindingnya berwarna ungu lembut dan juga perabotannya tidak jauh berbeda dengan perabotan yang kumiliki saat di Beverly dulu.

Yeah... aku sudah pindah dari Beverly.

Dad mendapatkan pekerjaan barunya di West Coast dan memutuskan untuk memulai hidup yang baru di sini. Ini hal yang berat, karena kami harus memulai dari awal tanpa Mum.

West Coast tidak terasa seperti kota-kota yang pernah kusinggahi sebelumnya. West Coast terlalu basah, dan hampir setiap hari embun dan juga awan mendung selalu menghiasi langitnya.

Matahari tidak benar-benar terbit di sini...

Saat ini aku sedang duduk di dalam kamarku, menghadap jendela, mendengarkan musik lembut dari CD player sambil memakan pai buah mini yang kubuat kemarin sore. Seperti biasa, pepohonan besar yang ada di halaman depan rumah kami bergoyang pelan karena hembusan angin. Dan bayangannya tampak menyeramkan.

Kemarin malam aku pergi ke perbatasan bersama Yuqi. Dia Song Yuqi, teman sekolahku yang baru. Dia keturunan China Midland dan dia menyenangkan. Dia selalu tertawa dan yang luar biasa hebat, tawanya menular dengan mudah padaku.

Aku menemani Yuqi untuk membeli sepatu hiking karena minggu depan dia akan pergi hiking bersama ayahnya. Kami pergi ke toko yang menjual alat-alat mendaki di perbatasan. Pelayan atau bahkan mungkin pemilik toko bernama Kai. Dia laki-laki kecil yang memiliki gigi taring menyeramkan tapi wajahnya luar biasa tampan. Dia selalu tertawa saat melayani kami. Tapi tawanya tidak enak didengar.

Yuqi berhasil mendapatkan sepatu yang dia inginkan. Sepasang sepatu hiking berwarna cokelat dengan harga yang tidak bisa dibilang murah.

Aku sedang menunggu Yuqi membayar pesanannya saat Choi Seungcheol datang. Dia mendorong pintu toko dan untuk sesaat, kami berpandangan. Dia tertawa setelah aku tertawa.

Choi Seungcheol mengajakku pergi ke kedai minuman khas anak muda yang terkenal di daerah itu. Jinglebell namanya. Terdengar aneh?! Aku bahkan bertanya pada Seungcheol, apakah penglihatanku mengelabuiku dan dia tertawa. Itu memang namanya. Nama yang aneh.

Kau tahu?! Pelayan perempuan di Jinglebell memakai kemeja sangat ketat dan juga rok mini. Dia berambut merah menyala. Dia memakai kacamata dan aku melihatnya seperti seorang sekretaris cantik yang selalu mengganggu bos tua kaya raya.

Si rambut merah tidak menganggapku ada, dia bahkan enggan menoleh ke arahku. Dia lebih fokus pada Seungcheol yang dengan baik hati menanyakan apa pesananku dan membuat si rambut merah kesal. Dalam hati aku tersenyum menang.

Kami terus bicara. Aku bercerita pada Seungcheol tentang hobi menulisku. Aku katakan padanya bahwa lebih dari sekali dalam satu bulan aku akan menuliskan surat pena dan mengirimnya ke majalah, berharap suratku diterima oleh siapapun. Dan ya, itu memang benar.

Seungcheol terus mendengarkan tanpa bosan. Dia menambah cangkir kedua cokelat panas untukku dan untuknya sendiri. Dia menopang kepala dengan satu tangan dan kukira dia merasa bosan atau mulai lelah. Tapi tidak. Dia justru tersenyum miring dan aku baru memperhatikannya, bahwa dia memiliki lesung pipi di kedua pipinya.

Rambutnya malam itu tidak terlalu rapih seperti ketika dia berada di sekolah. Mungkin terkena tetesan hujan yang turun selama beberapa menit sebelum dia mencapai toko alat-alat mendaki.

Lalu, kami kembali ke West Coast menjelang pukul sembilan malam dan tiba menjelang pukul sebelas. Seungcheol mengantarku sampai depan rumah dan bersikeras untuk menemui Dad karena sudah mengajakku bicara hingga pukul sebelas malam. Tapi beruntung Dad pergi tidur lebih awal jadi Seungcheol tidak perlu bertemu dan bicara dengan Dad malam itu.













Jeonghan sudah tidak pernah menulis diari. Terakhir kali ia melakukannya adalah saat hari kelulusan Middle School. Dia merasa terlalu sedih karena Minghao menjaga jarak darinya dan menuangkan semua perasaannya ke dalam diari yang diberikan oleh Bibi Bae, adik kandung Ibunya.

Jeonghan melihat sekali lagi setiap kata yang ia tuliskan di diari kecil dengan sampul berwarna ungu dan hiasan berbentuk hati di sampul depannya. Itu buku diari yg sama dengan yang Bibi Bae berikan bertahun-tahun lalu.

Jam digital yang ada di atas meja berbunyi beberapa kali. Tepat pukul tujuh malam. Hari itu Yoongi tidak bekerja. Dia mendapat hari libur hingga dua hari berikutnya. Dia bersikeras mengajak Jeonghan pergi memancing besok di sungai yang ada di belakang kedai milik Paman Kim dan Jeonghan tidak bisa menolak. Yoongi sangat senang memancing.

Perut Jeonghan berbunyi cukup keras. Dia merasa lapar, tapi terlalu malas beranjak dari kasur dan turun ke bawah hanya untuk mengisi perut dengan lasagna yang baru saja dipanaskan sore tadi.

Pikirannya berlarian tak tentu arah dan wajah yang akhir-akhir ini familiar terlintas begitu saja.

Jeonghan tidak tahu berapa nomor ponsel Choi Seungcheol dan Seungcheol sendiri tidak pernah berusaha memberitahu nomor ponselnya. Kira-kira, apa yang sedang dia lakukan saat ini?!

"Apa yang kau pikirkan, Jeonghan?!" Ia mengerang, membenamkan wajah pada bantal dan berteriak sendiri.

Jeonghan merasa dia sudah gila! Dan sepertinya, dia... jatuh cinta. Lagi. Dengan mudahnya. Dan kali ini ia jatuh cinta dengan Choi Seungcheol!

HEAVEN'S CLOUD | JEONGCHEOL (END)Where stories live. Discover now