Sembilan Belas

136 25 0
                                    

Pukul dua siang. Jeonghan mendengar langkah siswa-siswa di koridor. Beberapa dari mereka berjalan keluar dari kelas dan beberapa berkata kepada temannya untuk segera menemui mereka di halaman parkir sekolah.

Siswa tingkat akhir pasti sedang berkumpul di depan mobil mereka masing-masing, bercerita banyak hal sebelum kembali ke rumah. Dan siswa tingkat dua akan berkumpul dengan teman-teman klubnya. Hari itu memang jadwal latihan klub tari dan klub memanah.

Jeonghan masih terbaring diatas ranjang UKS yang sangat keras dan dingin. Ruang UKS terasa seperti rumah sakit dengan ranjang rumah sakitnya, ditambah bau alkohol yang menyengat.

Mr. Kim bersikeras menghubungi Yoongi, berjaga-jaga kalau cidera leher Jeonghan cukup parah.

Jeonghan belum boleh menggerakkan leher terlalu banyak, meskipun rasanya ingin sekali ia mencoba menari atau sedikit membunyikan leher seperti yang biasa dia lakukan. Dan begitu ia mencoba melakukannya, rasa sakitnya memang sangat luar biasa.

Menjelang pukul tiga, sekolah sudah jauh lebih sepi. Ia ingin menangis berbaring di ranjang UKS seorang diri. Yuqi dan Hoshi berusaha menghiburnya dengan mengirimkan banyak sekali pesan suara. Ia bisa mendengar suara sengau Yuqi dan suara lemas Hoshi. Ia harap kedua temannya segera pulih.

Pintu ruang UKS dibuka dari luar. "Siapa itu?! Kalau kau manusia sebutkan namamu! Kalau kau hantu, percuma menakutiku karena leherku benar-benar sakit sekarang!"

"Kau terlalu banyak membaca novel." Itu suara Seungcheol!

Seungcheol sudah berdiri di sebelah ranjang rawat dalam waktu singkat. Dia memakai jaket tebalnya dan ada salju di rambutnya yang hitam. Jeonghan setengah membuka mata, memperhatikan bahwa wajah Seungcheol kembali memerah karena salju dan hawa dingin.

"Darimana kau tahu aku di sini?!"

"Mr. Kim... Aku mendengarnya bicara dengan beberapa guru."

"Apa yang dia bilang?"

"Bahwa kau membuat dirimu sendiri celaka, dan ini kali ketiga. Apa lagi yang akan tersisa darimu di kelas olahraga nanti?!" Jeonghan mendengus. Seungcheol benar-benar mengutip perkataan Mr. Kim dengan baik. "Bagaimana perasaanmu?"

"Sudah jauh lebih baik. Mr. Kim memberiku obat penghilang nyeri yang sangat ampuh."

Seungcheol menarik kursi dan duduk di sebelah ranjang rawat sambil menopang dagu. "Kau bisa menyetir sendiri?!"

"Pertanyaan macam apa itu?! Tentu saja tidak bisa, dasar bodoh!"

"Sikap galakmu tidak berubah sedikitpun bahkan dalam kondisi seperti ini."

"Terima kasih... Kuanggap itu sebagai pujian."

Yoongi datang menjelang pukul empat. Dia memakai jaket kulit di luar scrubnya. Dia bahkan tidak merasa perlu melepas nurse capnya. Bau karat yang sangat menyengat membuat perut Jeonghan mual.

Seungcheol membantu Yoongi mendudukkan Jeonghan di kursi penumpang. Dengan hati-hati Jeonghan menggerakkan kepala, meminta Seungcheol untuk mendekat. "Apa kau akan menghubungiku nanti?!"

Seungcheol mendengus, setengah geli setengah terkejut. "Kalau itu yang kau mau."

Jeonghan tiba di rumah, masih berhati-hati agar tidak membuat lehernya semakin parah. Yoongi membantu memasangkan alat penyangga dan itu benar-benar sangat menyebalkan. Jeonghan katakan padanya bahwa dia hanya perlu kompres dan obat penghilang nyeri tapi Yoongi menolak. "Aku seorang dokter, Hannie. Jangan lupakan itu!"

Memakai piyama benar-benar menyulitkan. Butuh waktu lebih dari lima menit hanya untuk memakai atasan piyama berwarna pastel favoritnya. Sialan Park Jihyo dan minion-minionnya!

Yoongi sudah kembali ke rumah sakit. Dia berteriak dari lantai bawah, berjanji dia akan membawakan makan malam untuk mereka berdua sebelum menutup pintu depan. Jeonghan bisa mendengar suara mesin mobil dan roda yang menginjak halaman depan yang bersalju.

Membayangkan dia akan terus berada dalam kondisi seperti itu selama beberapa hari kedepan benar-benar membuat Jeonghan ingin marah dan menendang apapun. Itu mengejutkan, karena dia termasuk pecinta kedamaian. Dan sepertinya itu semua karena West Coast. Airmata menetes tanpa bisa ia cegah.

Jeonghan tidak pernah memiliki seorang musuh sebelumnya. Bahkan di Beverly, ketika dia selalu bersama dengan Jeon Wonwoo atau Xu Minghao siswa tertampan di sekolah yang sangat kaya raya. Tidak ada yang mencari perkara dengannya karena hal itu. Semua temannya di Gold Coast sangat baik meskipun mereka tampak menjaga jarak dengannya. Dan itu membuat Jeonghan sedikit banyak merindukan Beverly. Atau Gold Coast. Lagi.

Jeonghan sengaja meletakkan ponsel berada dekat dari jangkauan tangan hanya untuk berjaga-jaga kalau Seungcheol menepati janjinya. Tapi Seungcheol tidak menghubunginya atau mengirimkan pesan singkat. Itu semakin membuat Jeonghan frustasi.

Menjelang pukul delapan, ponselnya bergetar. Dengan setengah mata terpejam Jeonghan menjawab panggilan masuk saat melihat nama Seungcheol muncul di layar.

"Apa kau mengunci jendela kamarmu?!"

"Tidak, ada apa?!"

"Bagus... Tolong jauh-jauh dari jendela... Aku mau masuk."

Masih dalam posisi tidur, Jeonghan menahan napas, menunggu Seungcheol masuk ke dalam kamar dengan cara yang tidak normal. Atau tidak sopan, kalau boleh dibilang.

Seungcheol mendarat mantap dengan kedua kakinya. Dia memakai jaket parasut hitam, wajahnya jauh lebih pucat dari sore tadi.

"Aku baru pulang membantu Dad. Dia memiliki masalah dengan mobilnya... Bagaimana lehermu?!"

Dengan hati-hati Seungcheol membantu Jeonghan duduk dan bersandar pada dipan. Dia meletakkan dua jarinya di leher Jeonghan, memijatnya pelan. Jeonghan bergidik merasakan betapa dingin jemari Seungcheol di kulitnya.

"Tidak apa... Bagaimana kabar Ayahmu?!"

"Dia baik," Seungcheol tersenyum miring. "Malam ini jauh lebih berbintang dari sebelumnya... Mau lihat bintang bersamaku?!"

Meskipun Jeonghan tidak mengerti apa maksud kalimatnya, tapi ia setuju ketika pelan-pelan Seungcheol membantunya beranjak dari kasur. Dia menarik dua kursi lipat yang ada di sudut kamar dan meminta Jeonghan untuk duduk. Mereka membiarkan dua jendela kamar terbuka lebar, duduk berdampingan, memandang ke langit malam. Seungcheol benar. Malam itu tampak jauh lebih cerah dan berbintang.

"Apa kau pernah mendengar segitiga musim dingin?!"

Jeonghan memutar mata. "Tentu saja pernah. Semua orang menyebutkan itu. Bahkan Mom mengucapkan itu setiap kali musim dingin tiba." Dari sudut mata ia bisa melihat Seungcheol tersenyum.

"Bagaimana menurutmu dengan Sirius?!"

"Hmm... Bahwa Sirius adalah alpha?!"

"Ya... Kau tahu itu rupanya!"

"Sudah kubilang!" Sesuatu yang hangat terasa mengalir dalam tubuh Jeonghan.

"Magnitudonya minus 1,46."

"Bagaimana dengan suhu permukaannya?"

"Berkisar antara 7000 hingga 10.000."

"Kau tahu banyak soal itu."

"Tentu saja..." Seungcheol kini menghadap ke arahnya, membuat Jeonghan salah tingkah. "Ayahku pernah membelikanku teropong bintang yang sangat bagus. Itu benda termahal yang pernah kudapat sebagai hadiah natal, dan Ibuku membelikan banyak sekali buku bacaan tentang alam semesta."

"Benarkah?!" Jeonghan tidak pernah tahu Seungcheol sangat menyukai hal-hal selain anatomi manusia dan menurutnya itu sangat hebat. Jemari Seungcheol perlahan meraih jemarinya. Lagi-lagi Jeonghan bergidik merasakan dinginnya kulit Seungcheol di kulitnya.

"Apa kau pernah mendengar tentang kisah Cassiopeia?!"

Jeonghan tidak sempat menjawab pertanyaannya, karena sesuatu yang basah kenyal lembut dan hangat menyentuh bibirnya saat itu.

HEAVEN'S CLOUD | JEONGCHEOL (END)Where stories live. Discover now