Bagi seorang Alga, memacari seseorang, bukanlah hanya mencintai sifatnya, apalagi fisiknya. Lebih dari itu, kita harus mencintai kekurangan dan kelebihannya, serta latar belakang hidupnya.
Setelah kegiatan camping berakhir. Alga mengantarkan Abel terlebih dahulu.
Bibirnya terus mengoceh sedari tadi, wajahnya yang datar, namun tak sedikitpun menyiratkan kemarahan. Ia hanya mengingatkan gadisnya untuk selalu menjaga kesehatannya. Semua hal yang ia tahu ini adalah, tentu dari seorang kakaknya yang juga sahabatnya. Mungkin gadis ini jengah dengan ocehan dirinya. Namun, biar saja. Kapan lagi seorang Alga berbicara dengan segudang manfaat."Heem," gadis itu menganggukan kepalanya, memegang lengan tangan kekar milik pria di hadapannya, menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam, agar malam nanti ia bisa tertidur dengan nyaman. "Besok---lo jemput gue kan?"
"Iya, lah." Tangannya bergerak mengusap lembut pipi gadis itu. "Pake, lo gue segala. Kayak ke siapa aja."
"Alay lo. Udah sana pulang, gue mau istirahat."
"Cih, ngusir. Iya ini gue pulang. Bye, Dylo." Motor sport hitam itu melesat meninggalkan halaman rumah gadisnya.
°°°
Gadis itu menaiki anak tangga satu persatu. Langkahnya terhenti ketika melihat pintu kamar Kakaknya yang terbuka, serta Rashel yang tengah mengobrol serius dengan wanita yang tak asing baginya.
"Mbak Amy---" Ucapnya sambil melangkah masuk ke ruangan bernuansa dark grey itu. "Yaampun, Mbak Amy udah mulai kerja di rumah Abel?" soraknya senang.
"Iya, Bel. Mbak baru aja kerja kemarin. Biar ada yang ngurusin Rashel kata papa." Ujarnyanya ramah yang dibalas anggukan.
"Kak---lo udah baikan? Lo minta pulang, ya? Ngeyel,nih, pasti. Masih ngilu nggak badan lo yang kebentur? Padahal jangan pulang dulu, biar dokter bisa terus mantau keadaan lo. "
Serentetan pertanyaan dari adiknya itu, membuat Rashel terkekeh geli. Sejak kapan dia menjadi sok perhatian padanya, biasanya ia cuek bebek.
"Gue baik-baik aja kok, Bel. Lagi pula dokter dua hari sekali ke rumah, buat check keadaan gue. Pake sok perhatian lagi lo, ckck."
"Fisik lo kan lemah, gue khawatir aja kalau tulang lo remuk semua."
"Belum juga gue kasih lo badut tujuh hari tujuh malem. Yang ada lo nangis kejer." Ancam Rashel.
"Heh, gue tabok, ya, mulut lo sekali lagi ngomong begituan." Gadis itu mencibirkan mulutnya, meninggalkan Mbak Amy dan Rashel di kamar itu.
°°°
"Yaampun--- kamu sudah pulang? Kenapa nggak telepon papa minta jemput?" sambut pria itu menghampiri dan mencium seluruh wajah anak gadisnya. "Kamu baik-baik aja, hm? Capek, ya? Biar papa buatkan teh hangat dulu. Kamu istirahat, gih sana ke kamar."Gadis itu tersenyum menggeleng. "Nggak usah, Pa. Abel mau langsung tidur aja, capek banget soalnya. Oh iya, tadi Abel di anter pulang sama someone, hihi." Ucapnya terkikik malu menutup mulutnya.
"Wah! Anak papa sudah besar, ya. Hahahaha." Kedua tangan pria itu tergerak memegang kedua pundak anak gadisnya.
"Udah dong, Pa. Kan Abel malu. Nanti deh aku kenalin ke Papa, ya."
"Secepatnya kalau beneran mau jadi mantu papa."
"Cih, Abel masih kecil kali buat punya suami."
"Emang siapa yang bilang kamu mau nikah? Papa bicarain kakak kamu, kok."
Plak!
"Ih Papa, nyebelin. Masa kak Asel rebut punya Abeeeeel." Geramnya yang mendapatkan tatapan maut dari Arland.
KAMU SEDANG MEMBACA
As Long As You Love Me [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[PART LENGKAP] Meskipun Alga tahu Abel sering kali membawa pisau lipat di dalam tasnya, bahkan sesekali menggunakannya di saat tertentu. Pria itu semakin menyukai Abel. Tak peduli seberapa keras sifat gadis itu, Alga tetap menyukainya. Juga dengan A...