Seorang gadis di pojok sana membenamkan wajahnya di kedua lutut. Tubuhnya bergetar hebat, terlihat dari rambutnya yang lepek, tubuhnya basah kuyup."Kak Ashel?" gadis itu menyelipkan rambut pada sisi telingannya, dan sedikit membungkukkan badannya, agar dapat melihat jelas gadis di hadapannya.
"PERGI, LO!" pekik gadis itu, yang memang adalah Rashel.
Dengan kilat tubuh Rashel di dekap oleh Abel. Gadis itu terus memberontak, mendorong kasar tubuh adiknya itu. Dengan sekuat tenaga juga Abel menahannya. Gadis itu menangis deras. Hanya menggeram, tak menimbulkan suara.
Abel mengusap punggung gadis itu terus, sesekali mengecup pipi kakaknya. Setelah itu, tak ada lagi berontakan. Hanya Rashel yang terus bergumam pelan.
"Lo jahat, Bel. Gue nggak suka sama lo." Suara serak dari bibirnya, terdengar bergetar dan nyaring di pendengaran Abel.
Abel semakin mengeratkan dekapannya tanpa menjawab perkataan Rashel.
"Lo--jahat." Bisik Rashel. Ucapanya melemah tak bertenaga.
Sreeet!
"Argh." Ringisan kecil keluar dari bibir Abel. Gadis itu memegang tengkuknya ketika sebuah goresan mendarat di leher jenjangnya. Perih. Rashel menggoreskannya menggunakan pisau lipat.
Pisau lipat? Batin Abel.
Gadis itu menjauh dari Rashel. Mengernyit dengan tingkahnya akhir-akhirnya. Dan benar, piasu lipat miliknya di genggam oleh Rashel. Entah sejak kapan ia mengambil benda itu darinya.
Rashel menatap datar wajah adiknya. Perlahan ia mulai bangun, menompang dengan kedua kakinya yang lemas. Rambutnya sudah tak karuan. Eyeliner-nya pun sudah memenuhi kantung matanya. Bibir pucat dengan sebelah tangan memegang pisau, membuat siapa saja yang melihatnya akan bergetar hebat.
"Papa," gumam Rashel hampir tak terdengar. Namun Abel masih bisa membaca pergerakan bibirnya.
"Papa? Papa kenapa, kak?" ucap Abel dengan nada khawatir.
"BERHENTI!" pekik Rashel, ketika adiknya mulai kembali mendekatinya. Gadis itu tehenti.
Sedetik kemudian Rashel tertawa diiringi cucuran air mata di pipinya. Menjambak rambutnya sendiri dan terduduk di sisi kolam renang. Kemudian ia celupkan ujung pisau itu ke dalam air. Dengan lihai jemarinya membuat goresan di telapak tangan, menjadikan pancuran cairan merah kental mengalir.
Sikapnya berubah 180°. Tidak ada sikap dinginnya. Ia berbicara layaknya anak kecil yang berbicara sendiri. "Papa, cuma pamit sama, Abel. Papa nggak pamit sama Ashel. Hiks," gadis itu menempelkan telapak tangannya ke dalam air, membuat air kolam itu sedikit merubah warnanya, akibat darah yang ia berikan. "Ashel benci, ketika papa lebih sayang sama Abel."
Abel mengernyit, tak paham maksud ucapan Rashel. "Lo ngomong apa, sih, Kak?"
Yang ditanya malah mendengus kesal, sambil memercikan air ke luar kolam. Sedetik kemudian tangisnya pecah. Menghentakan kakinya di dalam air dan merengek seperti anak kecil yang meminta jajan kepada orang tuanya. "Papaaah--nggak ada. Satu-satunya bikin papah inget sama Ashel, kalau Ashel kenapa-napa. Dan sekarang papah nggak bisa ke sini karena lo, Bel!" ucapnya dengan nada menyentak. "GUE SENENG BUAT DIRI GUE TERLUKA CUMA BUAT PAPAH. GUE LAKUIN SEMUA YANG NGEBUAT PAPAH BERALIH KE GUE. TAPI NYATANYA, PAPAH SELALU DAN LEBIH PERHATIAN SAMA PUNGUT KAYAK LO! PAPAH GUE UDAH NGGAK ADA DI DUNIA INI. DAN GUE YAKIN, DIA HANYA PAMIT KE, LO BUAT PERGI KE AMRIK, YANG BERUJUNG KECELAKAAN GINI."
KAMU SEDANG MEMBACA
As Long As You Love Me [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[PART LENGKAP] Meskipun Alga tahu Abel sering kali membawa pisau lipat di dalam tasnya, bahkan sesekali menggunakannya di saat tertentu. Pria itu semakin menyukai Abel. Tak peduli seberapa keras sifat gadis itu, Alga tetap menyukainya. Juga dengan A...