"Oke, selamat! Lo udah mengibarkan bendera perang sama gue!" gadis itu tersenyum smirk, terlihat mengerikan bagi seorang Abel yang melakukannya. Ia melingkarkan kedua lenganya pada leher Regan, dan menepuk-nepuknya pelan.
Gadis itu mendekatkan wajahnya mendekat pada telinga pria itu, kemudia ia berbisik sangat halus, sampai Regan merinding dibuatnya.
"Re--gue percaya kalau lo nggak akan khianatin temen sendiri. Dan semua yang ada di benak, lo. Gak menutup kemungkinan untuk lenyap dalam satu detik pun."
Psssssst.
Cairan halus menembus dibalik kaos putih Regan. Dingin, sangat terasa di punggung pria itu. Ia menyatukan kedua alisnya. Entah sejak kapan gadis itu sudah menggenggam benda yang berisi cairan yang aromanya sangat menyeruak. Memang, sedari tadi ia hanya terpaku pada mata bulat hitamnya, seolah terhipnotis oleh tatapannya. Entah itu tatapan marah, sedih, bahagia, ia memang memilih bungkam menikmatinya.
"Hati gue nggak seperti kaos tipis ini, yang sekalinya tersentuh langsung menembus, menyebarkan seluruh elemen dan sensasi tersendiri. Nggak semudah itu, Re. Gue ingin lo ngerti."
Regan tak bergeming, pikirannya masih mencerna kata-kata yang diucapkan gadis itu. Salah satu yang terlintas saat ini, mengapa ambisinya hadir dalam lintas persahabatannya. Dan kenapa harus Alga yang memiliki gadis ini. Kenapa harus Alin yang berjuang untuk dirinya, sedangkan ia sekali pun tak mencintai Alin.
"Sekalipun lo masih berada di mimpi-mimpi, lo. Sebaiknya lo bangun, Re. Buka mata, lo. Nggak selamanya yang dikejar akan berhenti dan menepi untuk rehat bersama."
Abel menarik dirinya kembali ke posisi semula. Menatap manik mata hazel itu, lalu tersenyum singkat. Regan sendiri tak paham apa maksud ekspresi itu. Membuat pikirannya kembali bercabang menuju arah tak tentu.
Derum kedua motor Alga dan Ikbal sudah terdengar nyaring. Asap knalpot-nya saja sudah melayang di udara bak awan, serta ciri khas aromanya saja sudah menusuk dalam indra penciuman. Gadis itu langsung melempar asal pilox di genggamannya.
Bodo amat. Stock di rumah segudang. Selagi bisa boros kenapa harus hemat. Eh, ralat. Gimana nanti. Batinnya menggerutu asal.
20 detik Alga lebih cepat dibandingkan Ikbal untuk mencapai garis finish. Sebenarnya Ikbal hanya ingin mencoba motor barunya, yang baru saja diberikan oleh Alga. Sekaligus ingin pamer bahwa ia bisa mengalahkan pria itu. Namun, tetap saja nihil.
"Anjir heran banget dah! Gue udah pake motor dari lo, kembaran pula, masih aja lo yang menang." Ucapnya kesal saat setelah melepaskan helmnya.
"Amal gue bagus masalahnya. Makanya lo kalo temenan gausah sama orang bobrok kayak modelan si Regan." Ucapnya santai menyalahkan sahabatnya itu. Padahal sudah jelas bahwa Alga bobrok kelas kakap yang tak pernah ia tampakkan.
"Belagu ya lu!" tangannya bergerak menoyor kepala Alga.
"Ebuset, ngomong terima kasih aja belum, lo. Pake ngomongin gue belagu. Gibeng juga pala lu!" soraknya, mengepalkan kedua tangan seperti ingin menonjoknya saat ini juga.
"Ehehehe ya mangap!"
"AlGAAA! AYO BALIK, GUE KANGEN." Sorak Abel berlari menuju Alga, sambil melambaikan tangannya.
Gemas.
"Siniii peluk biar kangennya nambah." Alga menyambut gadisnya dengan merentangkan kedua tangannya, dan seketika itu langsung dekapan kembali menguasi dirinya.
Candu. Seperti memeluk boneka besar. Pikirnya.
"Ututututututuutu gemesh banget sih." Ledek Ikbal sambil memainkan rambutnya sendiri memecahkan keheningan. Ralat. Ke-uwuan seorang Alga dan Abel. Oke, yang jomblo diem aja, haluin doi.
KAMU SEDANG MEMBACA
As Long As You Love Me [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[PART LENGKAP] Meskipun Alga tahu Abel sering kali membawa pisau lipat di dalam tasnya, bahkan sesekali menggunakannya di saat tertentu. Pria itu semakin menyukai Abel. Tak peduli seberapa keras sifat gadis itu, Alga tetap menyukainya. Juga dengan A...