Rashel membanting tubuhnya di atas kasur dengan posisi tengkurap. Ia membenamkan wajahnya di permukaan bantal. Isakan kecil dari bibirnya keluar begitu saja. Ia terbangun, dan berlari kecil menuju balkon. Dirinya terduduk begitu saja, dan mengusap wajahnya kasar.Memeluk kedua lututnya di tengah keheningan. Menenggelamkan wajahnya adalah obat terbaik untuk melihat Dunia semakin suram.
Pada akhirnya, ketangguhan yang ada dalam diri akan lemah, ketika sebuah rasa yang terpendam semakin membendung. Tidak ada kata yang terucap. Namun, mata adalah saksi sebuah tindakan. Merekam semua kejadian yang berlalu lalang. Akibat terlalu berani bermain dengan rasa, hingga pada titik akhir tersadar bahwa ini sebuah ke-tidak adilan.
°°°
"Papaaah, Abel tidur, ya. Maafin nggak bisa temenin Papah nonton film-nya sampai akhir. Besok takut kesiangan," Abel mengerucutkan bibirnya. "Selamat tidur papah!" mengecup kedua pipi Arland.
"Iya, gapapa, kok. Selamat tidur anak cantik." Ucap Arland kembali mengecup dahi putrinya.
Abel berjalan langkah sempoyongan. Ia melihat mbak Amy di koridor lantai atas yang berjalan berlawanan dengannya.
"Dari mana, Mbak? Kok, belum tidur?" sapa Abel.
"Eh, ini--em, nganterin teh hangat untuk Rashel, Bel. Kamu mau, juga Mbak buatin?"
"Nggak usah, Mbak. Abel udah ngantuk. Oh iya, kak Ashel udah tidur?"
"Belum, tuh. Masih beresin kamar," ucap mbak Amy, yang langsung menepuk pundak Abel. "Mbak ke kamar, ya. Udah ngantuk."
"Oh yaudah, deh. Makasi, ya, Mbak." Ujarnya sambil kembali menuju kamarnya.
Abel terhenti ketika baru saja selangkah memasuki kamarnya. Pupil matanya membesar. Ia memperhatikan sekeliling. Ada apa ini? Mengapa aroma ini---
"BANGSAT PILOX GUE!" gadis itu menjerit mengeluarkan siara yang amat melengking.
Ia berlari dengan gelisah menuju tiap sudut kamarnya. Bau menyengat yang sangat ia cintai itu seakan sudah menyatu dengan dinding.
Kali ini, matanya tertuju pada meja rias yang sudah berantakan. Segala macam skin care sudah tidak tertata. Ingat! Tidak ada make up di sebuah ruangan milik gadis itu.Ia melihat wajah dirinya di cermin, sedikit samar. Bukan. Lebih tepatnya, ia membaca kalimat yang ada di cermin itu.
-menerima hal yang sangat sulit untuk diterima.
-konsekuensinya. Sangat buruk ternyata.
-satu dua tiga. Hap! Aku menemukanmu.
Apa, sih. Ini yang sangat ia benci. Menyerang hanya dengan kalimat sampah seperti ini. Bahkan tidak menjadi masalah jika sebuah pisau atau pistol sekali pun yang akan ia hadapi. Gadis itu menyeret jari telunjuknya pada kalimat yang ditulis menggunakan cairan merah. Apa yang diinginkan pecundang itu? Berani sekali ia mengusik hidup seorang Rishabel yang jelas-jelas tak pernah menyentuh secuil pun kulit tubuhnya.
Pecundang dengan gaya klasik yang selalu bermain di belakang melalui topengnya hanya akan menjerumuskan dirinya sendiri pada lingkaran penghinaan.
Iris mata yang menajam, napas yang masih stabil. Namun, ia berjalan menuju balkon. Tempat di mana aroma pilox itu menyeruak tertiup angin.
Ia menarik handle pintu, dan---
BUGH!
"ARGHHHHH!" gadis itu tergelincir. Hampir saja kepalanya terbentur pagar balkon. Tulang belakangnya terasa nyeri. Benturan keras di bokongnya sakit bukan main.
KAMU SEDANG MEMBACA
As Long As You Love Me [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[PART LENGKAP] Meskipun Alga tahu Abel sering kali membawa pisau lipat di dalam tasnya, bahkan sesekali menggunakannya di saat tertentu. Pria itu semakin menyukai Abel. Tak peduli seberapa keras sifat gadis itu, Alga tetap menyukainya. Juga dengan A...