Lamaran Kesekian

1.7K 58 0
                                    

Aku ingin memegang janji ku padanya
Juga pada diriku sendiri
Biar kutebus salah ku

“Assalamualaikum”
suara ramah namun lantang itu menjadi tamu pertama pagi itu.

“Waalaikumsalam”
suara lembut anak laki-laki yang keluar dari rumah sambil memberikan senyum.

“Malik, ibu mu endi le, celuk en!”
(*Endi=mana *Celuk en=panggilkan)

“Sekedap ya pakde kulo timbalaken, panjenengan pinarak rumiyen!”
kaki-kaki kecil itu berlari menuju dapur. (Sebentar ya paman saya panggilkan dulu, paman duduk dulu).

“Buk ada tamu?”

“Sopo le?”
Amira menoleh sekilas kemudian masih asik memotong pepaya yang akan dihidangkan untuk makan siang.

“Pakde buk sama temennya!”

“Temennya?”
Amira menoleh pada Malik,
mencoba menenagkan hatinya untuk tidak bersoudzhon dengan kakaknya.

“Ya udah, Malik balik ke kamar, belajar lagi sama adek!”

“Eng’geh buk!”
Amira keluar dengan nampan yang diatasnya ada dua gelas bening berisikan teh.

“Monggo diunjuk”
(silakan diminum)

“Eh jadi ngerepotin gini!”
laki-laki yang bahkan Amira tidak tahu namanya itu
seolah ingin menimbulkan kesan keakraban,
Amira hanya menoleh sesaat sambil tersenyum, lalu menatap kakaknya dengan penuh tanya.

“Jadi gini Ami, Mas Wira mau mengenalkan mu dengan teman mas ini.”
Ia hanya menatap sekilas laki-laki asing itu.

“Namanya Panji. Dia pengusaha lele kampung sebelah. Masih single belum pernah beristri, umurnya juga..”

Belum sempat Wira melanjutkan ucapannya itu, Amira sudah memotongnya.

“Jadi maksud tujuannya datang kesini apa?”

“Jadi begini mbak emmm a…tau dek, kedatangan saya kemari dibarengi dengan niat baik, saya bermaksud untuk melamar dek Amira” laki-laki yang bernama Panji itu menyondongkan diri kepada Amira, dengan penuh yakin meskipun sedikit gugup.

“Melamar?”

“Iya Ami, piye?”
Wira terlihat amat antusias dengan pembicaraan ini,
berharap hari ini akan berbeda dengan hari-hari sebelumnya.

Wajah Amira tertunduk ia tidak mungkin meluapkan amarahnya kepada sang kakak didepan temannya itu,
sudah pasti tidak,
tapi masnya itu selalu kekeh untuk mencarikan Amira jodoh,
sekalipun Amira mengerti maksud kebaikan masnya harusnya sosok yang Amira hormati itu juga bisa mengerti dengan prinsipnya.

“Begini saja, jika dek Ami tidak bisa membari jawaban itu sekarang, biar dek Ami tentukan kapan waktu untuk saya mendapat jawaban itu.”

Amira menelan salivanya, selalu begitu Amira sudah cukup biasa dengan kelakuan masnya, sudah bukan hal yang sulit untuk ibu dua anak itu membuang rasa takut dari amarah yang akan Amira terima setelah ini.

“Buat apa menunggu lama jawaban itu, bukankah ada pepatah semakin cepat semakin baik, saya akan memberikan jawaban itu hari ini juga.!”
Lantang, tegas begitu sosok laki-laki yang Amira cintai mendidik dirinya.

“Mas coba mengingatkan saja Ami, ojo n’gawe mas mu iki isin”
lirih, membisik ke Amira,
bukan berarti membuat Amira ciut. Amira membulatkan matanya.
(ojo n’gawe mas mu iki isin=jangan buat mas mu ini malu)

“Saya sudah punya dua orang anak, sedang kamu, kamu masih lajang.
Bukannya disini saya merasa tidak pantas untuk mu hanya karena status janda.
Kamu seorang pengusaha bukan, pasti orang seperti mu sudah sering menemui banyak hal rumit, tapi kamu tetap gigih karena kamu punya prinsip, begitupun dengan saya.
Saya tidak mau menikah lagi karena saya menghargai kesetiaan mendiang suami saya. Saya harap anda menemui wanita lain yang juga menaruh hati pada anda!”

Seperti tamparan,
setiap lelaki yang coba melamar Amira selalu ditampar dengan ucapan menohoknya.

Panji,
laki-laki itu menarik sudut bibirnya sambil menatap Amira, meskipun itu senyum kekecewaan.

“Terima kasih, setidaknya saya mendapatkan jawaban itu tanpa menunggu lama dan mendapatkan kepastian.
Baik kalau begitu saya permisi dulu.
Mari Wira, dek Ami, semoga lain kali bisa bertemu lagi. Assalamualaikum”

suaranya bulat menahan kecewa,
ia berdiri kemudian disusul dengan Wira dan Amira,
Panji menjabat tangan Wira namun tidak perlakuan yang sama untuk Amira,
ia hanya tersenyum kembali menunjukan ia tidak apa-apa.

“Walaikumsalam”
jawab Amira dan Wira dengan nada yang berbeda.

MENCINTAI ABDI NEGARA [COMPLETED✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang