Dua Minggu

379 31 1
                                    

Tak kunjung ada kepastian,
Amira hanya bisa berdoa untuk keluarganya disana,
Berdoa untuk kang masnya yang mendekam di balik jeruji,
Berdoa untuk kesembuhan anak tirinya Zabir, serta semoga semua lekas membaik.


“Ibu kok nangis?”
Tidak seorangpun memberi tau tentang apa yang terjadi, Said dan Malik hanya terheran akhir-akhir ini ibunya suka didapati sedang melamun,
sesekali air mata itu menetes.

“Malik.”
Ia memeluk anaknya itu dengan erat.

“Buk,
hari ini nenek jemput ya?
Harus ikut memangnya?”

“Iya le,
Malik jaga Said ya jangan nakal di rumah nenek sama kakek.”
Malik mengangguk setuju.

“Ibu,
mobilan yang dibeliin abang mana?”

“Biar ibu yang cariin ya,
Said sama mas Malik tunggu dulu.”

__

“Buk, tititp anak-anak ya.”

“Jangan seperti itu Ami,
ibu senang ada mereka disini,
rumah jadi ramai.”

“Hehe makasih buk.”

“Ami ayo, nanti kesorean.”

“En’geh mbak.”

“Assalamualaikum.”
Ucap Maryam dan Amira hampir bersamaan.

__

“Selamat malam,
Pak saya mau bertemu dengan tahanan atas nama Wira Brama Mulandir.”

Wira berjalan menemui kedua wanita itu, pelukannya jatuh terlebih dahulu kepada Maryam,
mereka melepas rindu.

“Ami.”
Ia menoleh kearah Ami,
dan melepas pelukannya dari Maryam.

“Mas.”

Masih dalam pelukan,
Wira benar-benar menyesali perbuatannya,
baju Amira basah dengan air mata yang ditumpahkan kang masnya itu.

“Maafin mas Ami,
maafin mas ya.”

“Mas,
maafin Ami juga,
Ami masih berjuang supaya mas bisa dibebaskan.”
Kini ia menatap sendu kang masnya.

“Mas memang pantas mendapatkan ini Ami.”
Wira mencengkram erat bahu adiknya.

“Gak mas, gak boleh.”

“Maryam,
tolong jaga Ami,
Said dan Malik.
Sudah cukup jangan sampai mereka mempermalukan Ami lagi.”

“Iya bang, iya.”

__

Susah payah Amira dan Maryam datang jauh-jauh ke kota,
justru nasib baik tak memihak.

“Ami.”
Maryam membuyarkan lamunan adik iparnya itu.

“Mbak,
pak Syarul dirawat di rumah sakit mana ya?”

“Mbak gak tau Ami,
kalau pun kita mau menjelajahi seluruh rumah sakit di kota besar ini,
jelas kita hanya akan membuang-buang waktu, bisa saja pak Syahrul dirawat di luar kota.”

“Aku gak berani menghubungi Zabir,
aku takut nanti dia malah cekcok sama keluarganya.”

“Ami,
sekarang kita pulang ke kontrakan aja yuk,
kamu harus istirahat.”

__

Semenjak kejadian pengeroyokan Zabir, semenjak kakaknya mendekam di balik jeruji besi,
semenjak ia dilabrak di tempat umum.
Semenjak itu pula Amira berubah menjadi lemah,
ia mudah meneteskan air matanya,
kemana Amira yang dulu,
yang kuat,
yang tegar yang selalu menyembunyikan tiap sakitnya,
kemana Amira yang pantang meneteskan air matanya.

Seolah sudah tak tahan lagi,
semua seakan menyesakkan dadanya, memenuhi isi kepalanya.

“Ami, tidur dulu.”

“Mbak,
besok aku mau ke rumah pak Syahrul lagi.
Aku mau tanya dimana dia dirawat.”

“Buat apa Mi?”

“Bukannya aku gak tau malu mbak,
menuntut janji pak Syahrul ketika dia sedang sakit. cuma mau meminta kepastian,
setidaknya jika memang harus kembali ke kampung, aku kembali dengan keadaan lega.”

“Ami, mbak gak bisa bantu banyak,
mbak hanya bisa bantu doa saja.
Semoga semua ini lekas membaik.”

“Itu sudah lebih dari cukup.”
Senyumnya buyar ketika melihat ada sosok yang memperhatikan mereka.

“Itu siapa mbak?”

“Siapa Mi?”
Ia memalingkan badan untuk menemukan siapa yang Ami maksud.

“Gak ada siapa-siapa Mi,
kayanya kamu kecapean,
ayo masuk kita istirahat dulu.”
Maryam menuntun Amira dengan pelan,
langkah Amira terhenti.

“Ada apa lagi Mi?”

“Mbak masuk dulu saja,
nanti Ami nyusul.”

Amira merogoh sakunya

“Besok saya mau ketemu, temui saya di taman dekat komplek perumahan kakek”- Nak Zabir DH

“Zabir.”

“Apa Mi?”
Maryam menoleh.

“Gak mbak,
gak apa-apa,
sebentar lagi Ami masuk.”

Amira benar-benar tercengang,
tengah malam begini Zabir mengirim pesan kepadanya,
setelah lama tidak ada hubungan komunikasi. Belum lagi Zabir seolah mengetahui keberadaan Amira di kota.

MENCINTAI ABDI NEGARA [COMPLETED✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang