Teruslah jadi alasan ibumu,
Untuk tetap tegar dan,
Telihat baik-baik saja.“Ayo hati-hati, aduh adeknya abang ini ternyata berat juga ya.”
Zabir begitu pandai memperlakukan orang lain, agar senyaman mungkin didekatnya.
Hari ini Said sudah boleh pulang,
setelah empat hari di rawat dirumah sakit,
pagi ini bukan hanya Amira, Malik, Maryam, Bu Ajeng dan Pak Badrun saja yang tampak senang disana melihat Said pulih,
tapi juga burung-burung mereka berkicau bersahut-sahutan seolah mengirim pesan berantai akan kabar baik pagi ini.Said masih tampak lemas,
ia terlelap di pelukan Amira,
Malik terus saja menggenggam tangan adiknya itu.Mereka menuju kerumah diantar Zabir,
sedang Maryam dan kedua orang tuanya memandu dengan mobil lain didepan.__
Kini Said berada di kasur rumahnya sendiri, ia tersenyum melihat orang-orang yang ia sayangi ada disampingnya.
Mereka meninggalkan Said untuk beristirahat.
“Ami, ibu sama bapak mau pulang ya,nanti kalau kamu perlu sesuatu telpon saja kami, jangan sungkan ya ndok.”
Amira senang mendengar ucapan ndok yang diucap fasih oleh wanita itu,
ia rindu panggilan itu,
panggilan kesayangan mendiang ibu,
bapaknya dulu.“En’geh buk, hati-hati. Ami sangat berterimakasih, ibu, bapak sama Maryam, sudah mau…”
“Sttttt. Ami kita ini keluarga,
tolong-menolong itu sudah jadi kewajiban kitakan.”
Maryam memotong ucapan Ami ia tidak ingin melihat Ami seolah berhutang budi terhadap keluarganya.“Ya sudah kami pulang dulu ya, assalamualaikum.”
Kata Maryam melanjutkan ucapannya,
kata salam yang hampir di ucapkan berbarengan dengan ketiga orang itu“Waalaikumsalam.”
Jawab Amira dan Zabir yang hanya ada mereka di ruang tamu itu,
Malik sedang menemani sang adik beristirahat, sambil melepas rindunya.Ami menoleh kepada anaknya itu
“Zabir, kamu juga ya pulang saja,
mama mu pasti khawatir.”Zabir tidak mengucap apapun,
ia justru merogoh saku celananya, dikeluarkannya smartphone dan mengarahkan layar gawai itu ke Amira disana tidak ada panggilan masuk selain dua nomor yang disimpannya dengan nama Opa ♥️ kakek ♥️.Ia menjatuhkan pantatnya di kursi tamu itu ia tampak kelelahan tapi dirumah Amira hanya terdiri dari dua kamar,
tidak mungkin baginya menyuruh Zabir beristirahat di kamarnya.Zabir meregangkan ototnya ia mengangkat tangan sesekali membentangkan.
Amira tersenyum,
Zabir jelas tersentak kaget melihat ibu tirinya tersenyum.“Zabir ganteng ya buk?”
Ucapnya dengan nada manja.“Eh apa?”
Lamunan Amira buyar.“Habis ibu senyum-senyum sendiri,
kalo bukan karena ganteng, karena apa coba?”
Zabir tertawa lepas“Kamu itu mirip papa kamu,
mendiang juga gitu kalau pulang dinas terus badannya pegel-pegel pasti badannya di renggangkan gitu.”
Ucapannya sendiri membuatnya tertawa kecil“Coba ceritain tentang papa,
tentang keluarga ini!”Amira terdiam sesaat,
ia tengah berusaha mengingat tidak sulit karena kenangan itu sudah sering kali terlintas,
yang terasa sulit karena ini permintaan Zabir.Harus dari mana dan seperti apa ia bercerita.
“Kenapa? Apa karena di usia terakhir papa, papa gak di samping ibu?”
“Bukan.”
Ia menoleh cepat ke arah Zabir,
menyanggah opini anak tirinya.“Keadaan sudah cukup membaik,
jika aku bercerita, mungkin salah-salah justru aku menghancurkan kedekatan ini.”-Batin Amira“Terus karena apa?”
Zabir beranjak,
melaluli Amira dan terhenti di meja panjang meraih potret yang menggambarkan kebahagian mendiang papanya dengan keluarga itu,
terukir jelas disenyum mendiang.“Apa semua cerita itu harus dibungkam?”
genggamannya mengerat di bingkai figura kayu itu,
ia membalikkan badannya,
kini ia lelaki itu tepat berada di belakang Amira“Zabir.”
Amira memutar badannya,
kini tatapan mereka saling bertemu.“Ibu gak tau mau cerita dari mana,
nanti semua itu satu-persatu pertanyaan yang menyesakkan pikiranmu akan terjawab seiring waktu.”Zabir justru menggeleng pelan
“Cerita saja,
awal semua ini terjadi,
bagaimana bisa seorang Serda jatuh cinta dengan gadis…”Ia memikirkan ucapannya,
tak dilanjutkan justru mengelak dengan pertanyaan lain“Atau bagaimana seorang gadis bisa jatuh cinta denga suami orang?”
“Zabir!”
Amira harus tegas,
ia seperti membentak“Kamu pulang saja,
kelihatannya kamu capek,
lagi pula ibu harus bikin kue untuk dijual,
untuk membayar hutang ibu ke kamu.”Lanjut Amira memutar bola matanya menjelajahi sudut rumahnya sendiri
“Hutang? Ibu menghanggap itu hutang? Aku coba membantu buk.”
Zabir mendekatkan diri,
sontak membuat Amira terkejut.“Ibu gak tau apa yang sedang kamu pikirkan, setelah membantu ibu keluar dari masalah ini, kamu justru seperti menodongkan pistol kearah ibu, itu, pertanyaan macam apa?
Ibu pikir kamu akan mengerti,
tapi justru kamu menuntut setiap cerita itu bahkan luka dan kebodohan itu harus terkuak kembali.”“Aku Cuma mau tau.”
“Cuma mau tau, mau tau tentang apa?”
“Tentang keluarga ini.”
“Baik akan saya persingkat,
kami ada menjadi keluarga kecil seperti ini karena kasih dan sayang serta cinta tulus yang diberikan oleh papa mu.”“Itu gak menjawab semua pertanyaan ku.”
“Barang kali memang gak ada jawaban yang bisa orang lain beri untuk semua pertanyaan mu, mungkin, jawaban itu ada pada dirimu sendiri.”
Amira membuang muka,
ia tidak pernah berdebat sebelumnya dengan lelaki asing,
ia sering mengelak lelaki itu bukan lelaki asing melainkan anak meskipun anak tiri,
tapi ia merasa tidak suka apalagi harus berdebat sampai membentak anaknya.Zabir meletakan bingkai foto keluarga itu,
ia melangkah meninggalkan Amira.
Langkahnya terhenti ketika ia berada di depan pintu.“Mungkin ibu benar,
aku terlalu menuntut untuk setiap pertanyaan ku, yang jawabannya sebenarnya ada di diriku sendiri. pulang buk, assalamualaikum.”Pemandangan punggung Zabir,
Amira tak lepas menatap.“Waalaikumsalam.” Lirihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENCINTAI ABDI NEGARA [COMPLETED✓]
RomanceTentang bagaimana menjadi yang kedua Hadir ku bukan sepenuhnya salah ku, namun bukan berarti itu kebodohan dia. Begitu cara wanita itu menaklukan omongan orang. Aku menjadi sosok yang kedua, menjadi alasan untuk sosok seorang Serda menemukan tempat...