Hanya Sabar

414 32 1
                                    

Jangan sandangkan kata Hanya,
Itu seperti menganggap mudah,
Sabar, semoga mereka tetap begitu,
Sebab tidak semua orang mampu.


Tiga hari sudah Amira tidak pulang kerumah, mandi dan tidur serta menjalankan kewajibannya sebagai seorang umat muslim dilakukannya di mushola rumah sakit.

Zabir juga begitu,
ini yang membuat pikiran Amira berserakan, bagaimana tidak,
ia memikirkan bagaimana khawatirnya orang tua Zabir,
ditambah biaya rumah sakit Said,
belum lagi rasa cemasnya dengan keadaan anak sulungnya,
ditambah rasa tidak enaknya kepada kakak iparnya.

Kemarin Maryam menangis tersendu-sendu ketika di telpon Amira,
katanya begini,

“Mbak, maaf pagi-pagi begini aku menelpon,
aku mau tanya soal Malik,
dia gimana, sehat ajakan mbak?”

“Iya Ami, sudah jangan terlalu kamu pikir,
dia aman disini ada mbak sama kang mas mu, dia tinggal di rumah mbak.”

“Alhamdulillah.”

Sempat Ami dengar suara rebut-ribut di sebrang sana,
iya sepertinya itu Wira yang sedang entah ingin melakukan apa kepada istrinya.

“Ami, kurang ajar kamu, ibu macam apa kamu ini, merawat anak-anak mu saja kamu tidak becus.
Sampai-sampai keponakan ku harus masuk rumah sakit.
Kamu kasih makan apa dia, sampai dia tipes begitu.”

“Mas Wira, mas Ami juga gak tau,
tapi Ami akui memang Ami yang salah,
maaf mas.”

“Drama lagi kamu ini,
ngisin-ngisini yo kowe,
sekarang malah dekat sama anak mendiang suami mu, dia itu cuma beda beberapa tahun dari kamu AMI, dicarikan suami tidak mau malah sama anak sendiri. Malu mas mu ini Ami dia sering keluar masuk rumah mu sembarangan selama kamu di rumah sakit,
m

alu mas mu ini.”

“Mas sudah mas sudah.”
Itu suara Maryam ia menangis kejer,
ia malu akan kelakuan suaminya yang tak henti-henti menaruh rasa murka pada Amira.

“Jangan ikut campur kamu!”
Nada tinggi Wira itu di peruntukan untuk sang istri

“Mas, Ami gak udah gak ngerti lagi jalan pikiran mas, Ami yang salah mas, memang Ami yang salah…”

“Iya memang kamu yang salah,
gak tau malu. Sudah ku bilang dari dulu,
kamu akan menyesal menikahi suami orang.”

Prak seperti kaca,
piring,
gelas,
atau benda lain yang salah perlakuan maka akan pecah berkeping-keping.

Ia merasa hancur ketika ia mendengar itu dari mulut kakaknya sendiri.

Setelah ucapan itu hanya terdengar suara telpon putus,
Amira menagis tak bersuara,
ia masih bersyukur tidak ada Zabir yang menyaksikannya menangis kejer,
wajahnya tenggelam dalam kedua kakinya yang menenggup ia terduduk di lantai.

Ia hanya terus mencoba tegar,
sabar, semoga ini semua akan berakhir indah.

MENCINTAI ABDI NEGARA [COMPLETED✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang