Aku Dan Kisah Kita

420 30 1
                                    

Bang Halim terima kasih,
Untuk ini.

“Pokoknya mesin jahit ini untuk usaha ibu, suapaya ibu gak perlu lagi capek-capek jualan dipasar, dan kalau nanti ibu mau, kita akan buka toko jahit, ibu punya karyawan dan mensejahterakan rakyat sekitar,
gimana?”

“Ibu jadi bos.”
Kata Malik menimpal

“Zabir, kamu beli pakai uang siapa?”

“Uang tabungan kami.”
Zabir memeluk Malik dan Said menunjukannya yang dimaksud dengan kami.

Amira tersenyum,
ia lega bisa memiliki pekerjaan kembali,
bahkan tanpa harus membayar uang sewa ini itu.
Terlebih ini semua dari anak-anaknya.

“Mulai sekarang ibu jangan jualan kue di pasar lagi ya buk,
jika Zabir masih bisa membantu,
ibu gak harus sendirian.
Apa gunanya anak cowok kalau bukan meringankan beban orang tuanya?”

“Kalian bukan beban nak.”

“Ia, itu sangat jelas,
kasih sayang ibu,
pengorbanan ibu,
ibu gak pernah menyerah dalam mengurus kami, itu menjelaskan bahwa ibu tulus dan gak pernah menghanggap kami beban.”

Itu pelukan pertama setelah berbulan-bulan perkenalan mereka.

“Malik juga mau dipeluk.”

“Said juga.”

“Hahahaha. Sini abang peluk semuanya.”

__

“Kamu gak pulang,
ini sudah malam nak?”

“Tunggu bentar lagi aja.”
Zabir masih asik memakan cemilan kue kering yang dibuatkan Amira sambil menonton TV di ruang tamu.

“Kamu bawa pulang aja kue-kue itu,
kamu makan di rumah,
kamu nonton TV di rumah aja.”

“Ini lagi di rumah.”

“Iya maksud ibu itu,
kamu nonton di rumah mama.”

“Gak mau.”

Amira duduk di kursi sedangkan Zabir duduk di lantai yang beralaskan karpet tipis.

“Jangan deket-deket nonton TVnya.”

“Gak buk.”

“Nanti mata mu sakit loh,
pakai kacamata, mending kalo bisa sembuh.”

“Udah minus juga ini.”

“Kok bisa?”

Ia membalik kan badan menatap kearah Amira

“Karna apa coba?”
Ia justru balik bertanya pada ibunya

“Iya ibu gak tau.”
Amira mengangkat kedua pundaknya.

“Buk cita-cita Malik sama Said apa?”

“Kalau Malik itu pengen jadi tentara angatan udara, kalau Said dia ikut-ikut masnya aja,
dia bilang pengen jadi tentara tapi angkatan laut, yang penting sama-sama tentara katanya.”
Amira tertawa kecil sedang  Zabir menatap Amira dengan senyum.

“Kalau Zabir cita-citanya apa?”

“Zabir pengen jadi penulis.”

“Oh ibu tau pasti kamu jadi min gara-gara keseringan liatin layar monitorkan?”

“Yap betul.”

“Lagi garap cerita?”

“Iya.”

Ia menangkap raut wajah kecewa.
“Kenapa le?”

“Lagi stop nulis, gak ada inspirasi.”

“Coba bilang sama ibu,
siapa tau ibu bisa bantu,
gini-gini ibu sudah banyak makan garam.”

Tawa Amira terhenti,
ketika Zabir melanjutkan ucapannya.

“Inspirasinya mama,
tapi mama udah beda,
semua tulisan ku berantakan.”

“Aku?
Biasanya dia menyebut namanya bukan aku atau saya, ini asing kedengarannya”-batin Amira.

“Ibu gak usah ikut mikir,
gak apa-apa kok,
lagian Cuma tulisan doang.”

“Tulisan doang?
Kamu gak bisa nyebut itu sebagai doang,
semua orang bisa menghayal tapi gak semua orang bisa menuangkannya dalam bentuk tulisan, ketika kamu bisa melakukannya kamu jangan malah hanggap itu hal sepele,
apalagi mengangkat kisah nyata,
inspirasi kamu adalah orang hebat,
kamu gak boleh nyetopin gitu aja.
Sekarang bayangin tulisan kamu jadi Novel best seller, dan betapa bangganya raut wajah mama mu, kalo dia tau inspirasinya adalah dirinya.”

Zabir mengembangkan pipinya

“Kamu harus lanjutin tulisan kamu,
masa Zabir anak sastra dikuliahin di Swedia sama papa malah nyerah gitu aja,
itu cita-cita yang hebat,
ibu akan terus dukung dan doain kamu.”

“Zabir sayang ibu.”

MENCINTAI ABDI NEGARA [COMPLETED✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang