Hari Ini Ada Karena Kemarin

402 35 1
                                    

Jika kita pandai bersyukur,
Maka rasanya setiap hal,
Adalah nikmat dari,
Yang Maha kuasa.

“Ibuuuuu.”

Suara kaki yang berlarian,
tawa-tawa yang pecah,
semua menjadi nada yang berangkaian,
membuat rumah Amira tidak pernah terasa sepi.

Setelah satu minggu kejadian perdebatannya dengan anak tirinya ada ruang kosong di hati Amira, seperti ada yang hilang, setelah hari itu Zabir sudah tidak berkunjung, hanya doa yang mampu Amira iringkan.

Belum lagi banyak warga desa yang menggunjing Amira dengan hal yang tidak-tidak, Amira jatuh cinta dengan anak bujangan lah, suka karena kaya lah, dekat karena sudah terjadi hal yang tidak-tidak lah, masih banyak omongan tidak mengenakan dari warga kampung. Ditambah lagi dengan kang masnya yang datang kerumah dan marah-marah karena malu dengan kelakuan Amira untung saat itu anak-anaknya sedang sekolah.

Ia ingin sekali berkunjung kemakam suaminya namun apalah daya,
jika terlalu sering berkunjung ia takut ketahuan Kesya dan justru menyulut amarah.

__

“Ibu setelah selesai sholat Asar kita kelapangan yuk!”

“Mau ngapain le?”

“Mau lihat Mas Malik menerbangkan layang-layangnya,
yang waktu itu di buatin pak Sodir. Mau ya buk.”

“Iya buk,
sore ini lapangan kampung gading bakal ramai, banyak orang yang berbondong-bondong datang, untuk menerbangkan layang-layang mereka, atau hanya sekedar menyaksikan dan meramaikan suasana.”
Malik puitis sekali,
bahkan ia memeragakan tiap kalimat dengan gaya tangannya.
Said dan Amira tertawa kecil.

“Ayo habiskan dulu makanannya.”

“Habis itu kita ke kelapangan yaaaa.”
Bujuk manja Said

“Emmmm, tapi…”

“Yahhh.”
Kedua anak itu nampak kecewa dengan kalimat tapi yang disematkan Amira,
ia benar-benar dibuat tertawa oleh kelakuan anak-anaknya.

“Ih ibu kan belum selesai ngomong,
tapi mandi dulu habis itu sholat Asar baru kita berangkat.”

“Yeayyyy.”
Mereka kegirangan

“Stttt, makan yang bener.”

__

Ramai,
iya memang ramai sekali suasana lapangan kampung Gading,
dari anak muda hingga orang tua,
mereka menerbangkan layang-layang,
atau sesekali menyaksikan sambil mengabadikan tiap momen.

“Malik ayo sini.”
Pak Sodir teriak dari arah kerumunan.

“Eh Amira ikut juga kau rupanya.”

“Iya pak ini Said yang minta.”
Kedua tangan Amira masih terus melingkar di pundak kedua anaknya

“Ya sudah duduk lah kau di bawah pohon ni,
biar Malik dan kawan-kawannya menerbangkan di sana, tak jauh-jauh.”

Amira mengangguk paham,
sambil mengembangkan pipinya yang merah merona itu.

Sudah tinggi kini melayang,
layangan berbentuk wajah yang tersenyum berwarna kuning itu mengudara,
dengan tali yang masih digenggam Malik.

“Bang Ir.”
Ketika matanya asik menjelajah Said justru melihat Zabir yang berada di kerumunan.

Amira menoleh mencari orang yang dimaksud Said, disana berdiri laki-laki dengan celana hitam panjang, kaus hitam dan memakai masker hitam yang hanya memperllihatkan matanya, serta alis tebalnya serta dengan model rambut andalannya slicked back.

“Bang Ir, sini.”
Said mengawai-ngawai lelaki itu
Ia berjalan dengan kedua tangan yang dirogohkan ke celananya,
tiap-tiap mata yang dilaluinya malah ikut mengiringi langkahnya.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”
Jawab Amira dan Said
“Wah abang bawa layangan, buat Said ya bang?”

“Iya ini buat Said.”
Zabir duduk jongkok dan memberikan layangan serta talinya yang siap diterbangkan.

“Wah, naga, keren. Makasih abang.”
Said berlari ke arah Malik dengan kegirangan,
Zabir ikut mendudukan dirinya di batu dibawah pohon itu tepat disamping Amira.

“Sudah lama kamu gak kesini.”

“Ibu kangen ya?”
ia tertawa kecil.

“Ibu pikir kamu ngambek.”

“Emang Zabir masih boleh ngambek?”
Ia menoleh kea rah Amira.

“Boleh kalau gak malu sama Said dan Malik.”
Ia membalas tatapan itu sambil tersnyum meledek.

“Gak apa-apa,
kan sama adek sendiri.”

Deg,
Amira merasa senang Zabir telah menghanggap mereka keluarga.

“Buk maaf.”

“Maaf, buat apa?"

“Aku tau,
akhir-akhir ini banyak kabar yang gak mengenakan soal ibu dan aku.
Maaf bu, maaf kalau nama ibu jadi tercemar.”

“Itu resiko ibu,
itu sudah jadi resiko.
Semenjak menikah dengan Serda Halim. Mendiang dulu pernah tanya jika suatu saat nanti ibu dan anaknya dipertemukan lalu ada kabar yang tidak enak,  entah apapun kabarnya,
apa ibu siap atau tidak melewati semua itu,
ibu bilang ibu siap,  asalkan Serda Halim selalu disamping ibu. Dan mendiang, bersedia, ya walaupun sekarang ibu menghadapi sendiri.”

“Ibu gak sendiri,
ada Zabir, ada Zabir yang akan nepati janji papa.”

Mereka terdiam beberapa saat

“Zabir harus beryukur atas sakit yang menimpa Said waktu itu.”

“Kenapa?”

“karna setelah hari itu,
Zabir bisa akrab,
bahkan menemukan panggilan yang tepat untuk keluarga Zabir disini.”

Amira tersenyum luwes ia gemas,
tangannya mendarat di rambut Zabir dan ia mengacak-acak rambut anaknya.

Mereka tertawa lepas,
sampai tak sadar ada Wira disana yang kesal dengan kelakuan Zabir dan Amira.

MENCINTAI ABDI NEGARA [COMPLETED✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang