Setelah luka

564 37 0
                                    

Dengan mereka
Aku yakin aku mampu

“Dada buk, assalamualaikum.”
Malik dan Said berlari kecil menuju masuk ke sekolah

“Waalikumsalam”
Teriak Amira dengan suara lantangnya

__

Disberang dengan kisah lain

“Mau kemana lagi kamu Zabir?”
Suaranya lembut,
seperti seorang ibu pada umumnya.

Lelaki yang dipanggil Zabir itu membalikkan badan,
kearah suara yang memanggil namanya.

“Mau keluar sebentar.”
Memang selalu begitu nadanya selalu datar saat berbicara dengan mamanya itu.

“Kamu gak mau ikut mama.”
Wanita itu mengelus lembut bahu anaknya.

“Gak.”

“Zabir, kamu itu harus bisa terima keadaaan. Mama juga gak bisa hidup tanpa papa,
ini semua terjadi karena memang sudah takdir, kita bisa apa!”

“Kita bisa apa? Mama bisa setia dengan mendiang papa,
dan kita, kita akan tetap baik-baik saja.”

“Ini semua bukan hanya untuk kepentingan mama Zabir, kamu harusnya ngerti.”

“Iya, harusnya aku ngerti mama memang gak sayang sama mendiang papa.”

“Semua sudah kami jadwalkan,
mau gak mau kamu harus meneriam keadaan yang akan terjadi.”
Kini nada itu meninggi dengan mata yang membulat.

“Terserah mama.”

Ia pergi meninggalkan rumah, tanpa salam, tanpa mencium tangan mamanya.

__

Disebrang dengan cerita lain.

“Ami.”

“Ami”

“Amira”

“Saya tidak menggaji kamu untuk duduk melamun di sini.”
Suara tinggi dibarengi dengan tangan yang menggeprak meja,
membuat Amira lantas tersentak kaget

“Asataga bu maaf.”

“Maaf, maaf, maaf terus kamu ini,

Amira Amira kalau kamu terus begini saya akan memberhentikan kamu,
tidak perduli sebaik apa dulu almarhum dan almarhumah orang tua kamu!”

“Saya menyesal bu, saya benar-benar menyesal.”

“Maaf Amira mulai besok kamu harus berhenti kerja.”

“Astagfirullah, saya benar-benar minta maaf, saya tau saya salah. Saya mohon bu, saya harus tetap bekerja agar anak-anak saya bisa tetap lanjut sekolah.”

“Seharusnya jika kamu memiliki kewajiban untuk menuntaskan sekolah anak-anak mu, kamu harusnya lebih giat bekerja bukannya malah seperti ini!”

“Saya tau saya salah bu,
saya sangat menyesal,
tapi tolong bu jangan pecat saya.”

“Maaf Amira keputusan saya sudah bulat.”

Pemilik toko jahit itu pergi meninggalkan Amira.

“Ami tadi aku sudah manggil-manggil kamu.
Tapi kamu gak ngegubris,
maaf aku cuma bisa bantu itu.”
Alsan terlihat menyesal karena tidak bisa melindungi wanita yang ia cintai itu.

“Iya San, gak apa-apa memang aku yang salah. Sudah kamu jangan merasa bersalah begitu.”
Ia masih mampu berbicara dengan senyum yang diukirnya

Lagi-lagi ia melamun disepanjang jalan,
Amira harus memikirkan pekerjaan apalagi yang bisa dilakukannya selain berjaja kue kering olahannya itu.

“Amira.”

“Mbak Maryam.”

Mereka berpapasan dijalan,
Maryam lekas-lekas menegur adik iparnya yang terlihat kacau itu.

“Kamu kenapa Mi?”

“Aku dipecat mbak, sama bu Isum.”

“Kenapa bisa?”

“Aku yang salah mbak,
mbak jangan khawatir ya,
biar aku yang memikirkan semua ini.”

“Mi, mbak benar-benar gak tau apa yang bisa mbak lakukan saat ini,
mbak hanya bisa mendoakan semoga ada hal baik setelah semua ini.”

“Terima kasih mbak.”

“Mbak!”
Amira melihat kakak iparnya itu menenteng belanjaan

“Iya Mi.”

“Mbak habis dari pasar!”

“Iya, mbak beli sayur, hari ini tamu kang mas mu mau datang.”

“Tamu?”

“Iya, katanya dari kota soal jual beli tanah.”

“Mbak, apa aku jualan kue di pasar sore aja ya, menurut mbak gimana?”

“Itu bisa kamu coba Mi,
kalau kamu memang perlu modal yang banyak kamu bilang aja sama mbak,
mbak akan bantu kamu, dan mbak janji kang mas mu gak akan tau soal itu.”

“Makasih ya mbak,
mulai besok aku akan coba suvei tempat dulu.”

“Apa perlu mbak temani?”

“Gak perlu mbak, aku kesana sendiri saja, nanti aku kabari mbak.”

“Ya sudah kalau memang maunya begitu.
Mbak pulang dulu ya Mi, kamu hati-hati di jalan, jangan terlalu banyak melamun.”

“En’geh mbak.”

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, mbak juga hati-hati ya.”

MENCINTAI ABDI NEGARA [COMPLETED✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang