Tabiat

527 41 0
                                    

Namanya juga anak mu
Sikap, caranya berbicara
Seolah menjiplak dari kamu


Selama diperjalanan mereka berempat terus saja mengobrol, suara gelak tawa mereka menenggelamkan rasa gundah yang sedang dirasakan Zabir.

“Assalamualaium ibu, abang.”

Kini pagi ini kedua anak itu menyium dua punggung tangan orang yang mereka sayangi

“Waalaikumsalam.”

Amira memberikan senyuman luwesnya untuk mengiringi jalan kedua anaknya itu.

“Terima kasih sudah mengantarkan kami,
kalau begitu saya permisi.”

“Loh-loh tunggu. Mau kemana biar saya antar!”

“Lebih baik kamu pulang!”

“Kok nyuruh saya pulang ini kan bukan rumah, jadi saya gak bisa diusir dong dari sini.”

“Ya sudah terserah kamu mau pergi kemana”

Amira berjalan meninggalkan Zabir,
namun bukan Zabir namanya jika alasan yang mengantarnya kesini belum terpenuhi.

“Biar saya antar, saya mohon”
Zabir menetap melas ibu tirinya,
sedangkan orang-orang yang berjalan melewati mereka tidak lepas memperhatikan kejadian itu sesekali

“Kamu ini kenapa sih. Lihat semua orang jadi memperhatikan kelakuan kamu, saya mohon, tolong.”

Zabir menoleh kekanan kekiri melihat orang yang lalulalang,
ketika matanya kembali kearah Amira tadi, ternyata sosok ibu tirinya itu sudah pergi menjauh.

Ia menarik satu sudut bibirnya,
kemudian berjalan kembali ke dalam mobil.

Sudah cukup jauh ia berjalan,
Amira meniatkan diri untuk pergi ke pasar, mencoba bertanya apakah disana masih ada lapak kosong yang bisa disewanya dengan harga murah.

“Kira-kira untuk satu bulan berapa biaya sewanya?”

“Ya murah saja mbak, untuk lapak itu saya beri harga Rp.500.000,- sebulan gimana?”

“Mahal sekali pak, gak bisa dikurangi to?”

“Aduh ya gak bisa”

Amira terlihat bingung,
baginya uang sebanyak itu bisa dijadikannya tabungan untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya.

“Gimana buk?”

“Nanti saya kesini lagi ya pak, saya pikir-pikir dulu.”

“Ya sudah kalau begitu.”

Sudah jauh-jauh Amira berjalan kepasar dekat pelabuhan ikan, justru keputusan tidak bisa diambilnya hari itu juga.

“Ini.”

“Zabir kamu ngapain disinin nak?”

Amira dibuat terkejut dengan laki-laki yang menyodorkan air mineral botol.
Sedangkan Zabir dibuat Amira terkejut ketika ibu tirinya itu memanggilnya nak.

“Ini.”
Ia memaksa Amira menerima minuma tidak berwarna yang disodorkannya.

“Terima kasih.”
Mereka berdua terduduk di bawah pohon besar, untuk bernaung dari teriknya matahari.
Angin menghembus menerjang mereka.

“Ada apa?”
Tanya Zabir yang menangkap wajah cemas ibu tirinya itu.

“Kamu sendiri kenapa selalu menyempatkan datang kemari?”

Zabir menelan salivanya,
ia menatap Amira dengan wajah muram

“Setelah pulang dari Swedia, tepat tidak lama setelah papa meninggal semuanya berubah. Aku rasa semua kebahagiaan ku menghilang satu persatu.”
Katanya sambil memainkan botol air mineral di tangannya itu

“Banyak hal yang harus kamu syukuri!”
Amira coba menenangkan

“Bersyukur akan kepergian papa dan bersyukur sekarang mama malah….”

Ia tidak sanggup melanjutkan ucapannya,
air mata itu terbendung sehingga membuat matanya berkaca kaca, ia beranjak dari kursi kayu yang mereka duduki.

“Memang tidak mudah menerima takdir yang justru sebelumnya tidak kita inginkan.
Tapi inilah kehidupan.”

“Anda tidak tahu apa-apa mengenai kehidupan saya.”

“Jelas tidak, bagaimana ibu mu ini bisa mengerti, jika kamu sendiri saja tidak mau bercerita. Coba kamu ceritakan masalah mu!”

“Bukankah saat ini kita sama-sama tengah menghadapi masalah lantas mengapa anda seolah ingin mencarikan jalan keluar akan permasalahan hidup ku.”

“Itulah wanita. Ketika ia menikah ia telah menyandang status sebagai istri,
ketika memiliki anak maka statusnya ikut berubah menjadi seorang ibu,
ketika suaminya pergi,
maka seorang wanita harus bisa menempatkan diri sebagai istri, ayah,
bahkan teman untuk anak-anaknya.
Ia harus bisa menyelesaikan masalah yang ada bukan hanya masalah hidupnya namun juga masalah yang dihadapi anak-anaknya.”

Amira seperti seorang ibu pada umumnya, suaranya lemah nan lembut,
terlebih bagaimanapun juga Zabir adalah anaknya.

“Maaf, saya tidak sopan berbicara dengan anda.” Ia menunduk murung

“Aku Cuma gak ngerti sekarang ini apa yang harus aku lakukan”
Lanjutnya sambil membuang wajah dari Amira.

“Coba ceritakan, karena bagaimanapun juga kamu adalah… emm”

Amira melihat jika Zabir masih belum bisa menyebutnya dengan panggilan ibu,
Amira memaklumi anak tirinya itu.
Hingga tiap kalimat ibu atau ingin menjelaskan bahwa dia adalah anaknya sulit ia ucapkan, begitu, selalu saja tertahan.

“Mama berniat menikah lagi.”

“Apapun yang sudah menjadi keputusan mama mu, itu adalah hal terbaik yang sudah ia pikirkan dengan matang. Percayalah.”

Apa yang dikatakan oleh Amira seolah mampu menenagkan hati Zabir

“Aku tidak menyukai laki-laki itu!”

“Apa kamu dan keluarga mu menyukai ibu?”

“Maksudnya?”

“Jelas, akulah yang sudah merebut papa mu kelihatannya begitu.
Walupun sebenarnya bukan seperti itu,
sulit menjelesakan kepada mereka yang sudah terlanjur menanamkan ketidak kepercayaan kepada kita.”

“Tapi ini semua berbeda.”

“Kita bisa sedekat ini, padahal dulu kamu dan keluarga mu tidak menyukai aku, bukan berarti apa yang kita benci adalah apa yang berakhir dengan buruk.”

Rasa kesal Zabir terpupuk dengan rasa ketidak sukaan itu hingga rasanya benci itu menggumpal.

“Mama tidak mencintai papa.”

“Kamu gak boleh bicara begitu!”

“Buktinya mama memilih menikah lagi dengan lelaki lain yang menggantikan posisi papa.”

“Tidak ada posisi yang bisa digantikan dalam hidup kita, setiap orang memiliki arti tersendiri nak. Cobalah untuk menerimanya.”

Mereka tenggelam dalam cerita itu,
hingga waktu berjalan tanpa mereka sadari sudah hampir sore.

Hari ini ia menjemput anaknya diantar oleh Zabir,
bahkan hari ini ia juga tidak memasak hidangan.
Zabir memang berniat untuk mengajak keluarganya itu makan direstoran kota.
Terlebih Amira menerima tawaran makan bersama itu.

Hanya saja entah kapan Amira beserta Malik,
dan Said akan dikenalkan dengan keluarga besar dari mendiang Serda Halim Syahrul.
Ia tidak mungkin terus-terusan menutupi semua ini, apalagi masih ada Pak Syahrul Maher orang tua tunggal yang telah ditinggal anak semata wayangnya beserta sang istri.

Semoga waktu lekas berpihak.

MENCINTAI ABDI NEGARA [COMPLETED✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang