Mas Wira Brama Mulandir!

1K 48 0
                                    

Bagaimanapun Kamu
Kita dilahirkan dari Rahim yang sama

“Lagi, lagi dan lagi. Selalu begitu, kamu selalu saja membuat mas mu ini malu didepan teman-teman mas!”

“Aku kan sudah bilang mas, aku tidak akan menikah lagi dengan laki-laki manapun”

“Kamu pikir mas lakuin ini semua demi apa?
Ini demi kebaikan kamu dan juga kedua anak mu itu. Kamu memang keras kepala Ami!”

Amira tertunduk,
ia selalu saja berhasil dibuat merasa bersalah oleh kakaknya itu.

Wira beranjak dari kursi kayu berjalan dengan cepat menuju keluar.

Tanpa mengucapkan apapun ia pergi meninggalkan ruang tamu yang hanya ada Amira seorang disana.

“Assalamualaikum”
Amira harap setidaknya ia mendapat balasan salam itu.

Tidak ada suara yang terdengar dari sang kakak, pandangan terhadap punggung laki-laki itu hilang dipersimpangan jalan.

“Maaf kan adik mu ini kang mas,
Amira ngerti maksud kang Mas baik,
tapi Amira juga selalu berdoa supaya kang mas bisa mengerti keadaan Amira mas”

Ucapan itu terngiang di ruang tamu ditinggalkannya menuju kedapur,
Amira harus menyelesaikan hidangan untuknya serta anak-anaknya tidak boleh ada waktu yang terbuang sia-sia,
setelah ini Amira harus menyiapkan kue-kue kering yang akan dijajakannya di kampung.

“Malik, Said ayo le kita makan dulu.
Belajarnya dilanjutkan nanti!”

“Eng’geh buk”
jawab Malik sambil membereskan buku-bukunya,
sedang dikasur lantai itu masih nampak Said yang sedang sibuk memoles tiap warna dibuku bergambarnya.

Seperti ibu pada umumnya,
ia sabar menghadapi anak-anaknya umur bukanlah patokan untuknya bersikap dewasa.

“Said, anak e ibuk seng pinter, ayo makan dulu, nanti lanjut lagi mewarnainya.”
sambil mengelus-elus rambut lebat sang anak
Said hanya menggeleng-geleng ia tidak menggubris perkataan ibunya itu.

“Ayo buk maem!”
ajak Malik yang sudah tidak bisa berkompromi dengan perutnya itu
(maem=makan)

“Malik, kamu ke dapur duluan eng’geh”

“Ya sudah, eng’geh buk”

“Said, ayo to le maem dulu. Memang kamu gak laper to?”

Lagi-lagi Amira hanya menerima gelengan kepala dari sang anak

“Besok kalo ibu sudah gajian, ibu mau belikan Said krayon seperti punya anaknya pak Bekti,

tapi kalo di ajak makan saja Said susah sekali, yo gak jadi wes!”

Said kini menatap ibunya dengan wajah yang murung.

“Tadi di sekolah, bu guru minta Said buat cerita tentang sosok Bapak”

Hati Amira mulai tidak tenang,
ia mengerti apa yang membuat anaknya itu bersikap seperti ini,
pasti karena perasaan merasa berbeda dengan teman-temannya.

Amira berfikir keras, rasa gelisah itu tidak boleh terlihat oleh sang anak.

“Nanti setelah selesai makan ibu akan ceritakan sosok Abdi Negara. Mau ?”

“Tentang Bapak?”

“Iya, tentang bapak nya mas Malik dan Said”

“Ayo buk cepet kita makan!”

__

Begitulah Amira tidak ada lelahnya seperti wanita-wanita kuat diluaran sana.

Selesai makan siang ia mencuci semua peralatan makan yang kotor, kemudia membuat adonan untuk kue kering, bukan hanya harus berkompromi dengan lelah fisiknya tapi juga dengan lelah batinnya.

“Buk”

“Malik, ono opo le?”

“Nanti kuenya dijajakan lagi?”

“Ya iya to le, kan supaya cepat habis. Malik gak main sama temen-temen Malik?”

“Malik mau bantu ibu berjaja”

Amira berhenti sejenak dari kesibukannya yang dari tadi membungkusi kue-kue kering itu,
ia menatap anaknya,
kemudia menarik sudut bibirnya dengan sumringah.

“Malik, gak capek?”

“Ibu gak pernah capek, Malik harus contoh ibu!”

“Yowes kalau memang Malik nanti mau ikut berjaja, tapi kalo Malik capek Malik harus janji sama ibu, Malik pulang duluan ke rumah,
gak usah dipaksa”

“Eng’geh buk”
wajah sumringah Malik menjadi pelipur lara hati Amira.

Sesederhana itu mengukir senyum diwajah anaknya.

__

Hari itu kue-kue kering di tas anyaman yang Amira jajakan sudah tinggal beberapa lagi, perolehan yang Amira dapat sudah cukup untuk membelikan Said krayon,
Malik tidak meminta apapun untuk upahnya hari ini.

“Malik rene, ayo dulinan!”

Suara riuh teman-temannya Malik itu membuat mereka berdua menoleh ke tengah lapangan luas, yang dijadikan tempat bermain anak-anak kampung itu.

“Sudah sana Malik main sama teman-teman Malik, inikan jualan ibu juga tinggal beberapa bungkus lagi”

Malik menatap ibunya,
Amira bahkan tidak tau apa yang dipikirkan anak sulungnya itu, yang ia dapati diwajah mungil itu hanya raut wajah ragu.

“Udah sana le, ibu juga bentar lagi langsung pulang. Asal kamu gak main sampe larut sore”

“Eng’geh buk, janji gak sampe sore!”

Dia berlari menghampiri kerumunan ramai itu, samil meneriakan salam pada ibunya

“Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam”

MENCINTAI ABDI NEGARA [COMPLETED✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang