Tolong jangan bertanya sampai kapan,
Kita berdoa saja.“Ibu, Malik.”
Kini Zabir tepat berdiri didepan dua orang yang sudah tampak kelelahan itu.“Bang Ir.”
Malik memeluk Zabir dengan derai air mata yang tak henti,
sedangkan Amira ia tetap terlihat tegar dengan keadaan yang menerpanya.Zabir menatap ibunya itu dengan sendu,
ia sampai menaruh rasa iba dengan keadaan yang harus menimpa keluarganya itu.Amira, Malik, Marya, Bu Ajeng, Pak Badrun serta Zabir, mereka terjaga sampai pukul 11.00 malam, kesunyiam jelas mencengkam.
Amira sudah mempersilahkan kedua orang tua Maryam untuk pulang namun mereka tetap kekeh untuk tinggal,
sedangkan Maryam ia terus berusaha meminta suaminya si Wira untuk datang.
Amira sebenarnya tidak tega melihat Malik harus ikut terjaga seperti ini.“Malik kamu tidur saja le.”
“Malik gak ngantuk buk.”
Begitu terus ucapnya“Malik ayo sama nenek kita tidur di mobil kakek yuk!”
“Gak nek, makasih.”
Sesekali Amira bangkit dari kursi ruang tunggu itu untuk menjenguk ke ruangan inap anaknya lewat jendela.
“Buk.”
Zabir mendekat ia ragu untuk melingkarkan tangannya.“Saya merasa gagal menjaga Said.
Saya pernah bilang ke kamu jika mereka akan selalu baik-baik saja,
saya salah. Maaf .”sudah, air mata itu tak terbendung,
ketika Malik sudah benar-benar terlelap tidur dan dibawa ke mobil bersama neneknya,
hanya Pak Badrun dan Maryam yang menyaksikan air mata itu membasahi pipi putih merona Amira“Ibu gak pernah gagal menjadi seorang ibu. Barangkali hari ini memang harus terjadi.”
Kini giliran baginya untuk menenagkan wanita yang biasanya selalu bisa menenagkan Zabir ketika ia diterpa masalah.
Suara isak tangis rintih itu terdengar memecah kesunyian lorong,
Maryam mendekat ia merangkul adik iparnya itu, Maryam juga begitu,
ia merasa kecewa dengan suaminya yang tak kunjung datang,
baginya bagaimanapun juga harusnya Wira ada disini menguatkan adiknya.__
Kini giliran matahari yang memunculkan diri saatnya bulan bersama gemerlap bintang yang istirahat.
“Pak, lebih baik, bapak ajak ibu pulang saja. Kasian sudah dari kemarin sore nunggu disini terus, saya titip Malik biar dia ikut pulang pak.”
Suara Amira lirih“Ya, biar ibu sama Malik bapak bawa pulang ya, kamu disini sama Maryam,
nanti kalau ketemu Wira bapak suruh dia menemani disini.”“Jangan pak, gak usah mungkin kang mas Wira lagi sibuk,
lagi pula disini ada Zabir sudah cukup menjaga kami.”Zabir tersenyum kepada pak Badrun seolah mengisyaratkan dia bersedia menjaga kedua wanita itu.
“Ya sudah bapak pulang dulu ya, assalamualaikum.
Zabir jaga ibu dan tante kamu ya.”“Iya…….kek.”
Terukir senyum indah dikulit putih itu.
Zabir sempat berpikir sebutan apa yang harus disematkan ke kedua orang tua Maryam,
hingga tanpa ragu dan merasa sudah sangat diterima oleh keluarga itu,
Zabir memulai dengan sebutan yang ia pikir akan menimbulkan keakraban yang lebih dari hari ini.Masih hening,
seusai sholat subuh merjamaah ketiga perut orang itu masih belum ada yang terisi.
Zabir menangkap tatapan ibunya yang mulai kosong.
Sedang Maryam yang duduk di ujung bangku dekat Amira terlihat jengkel,
mungkin karena suaminya yang tak kunjung datang.“Huh.”
Maryam membuang kasar karbondioksida itu hingga membuyarkan lamunan Amira“Kenapa mbak?”
“Mbak gak habis pikir kenapa kang mas mu itu seolah hatinya tidak lagi berfungsi.
Sudah tau adiknya sedang berduka bukannya kemari malah seperti anak kecil.”“Sudah lah mbak mas Wira memang begitu jika sedang kesal,
nanti dia akan membaik sendiri.”Amira mampu membuat takjub Zabir,
ia bangga memiliki ibu tiri seperti Amira yang selalu meluaskan hati.“Biar saya carikan sarapan dulu.”
“Hati-hati ya nak.”
Zubir mengganguk paham,
disetakannya sudut bibir yang ikut ia tarik.“Ting”
Amira merogoh saku roknya dan menatap layar ponselnya.
“Ami, maaf aku baru tau jika anakmu Said sedang dirawat di rumah sakit. Maaf juga aku tidak bisa menjenguk, hari ini aku harus bekerja. Aku hanya bisa membantu lewat doa, semoga Said lekas sembuh, kamu jangan terlalu khawatir, jangan lupakan kesehatan mu juga.”- Alsan
Amira tersenyum,
laki-laki mana yang mampu membuat sosok Amira melukis senyum indah dipagi hari ini seperti itu kiranya Maryam bertanya,
namun siapapun itu,
Maryam merasa senang melihat adik iparnya begitu.“Iya San gak apa-apa. Terima kasih sudah mengirimkan doanya, semoga Allah mengabulkan, aamiin.”
Disebrang sana ada Alsan yang tersenyum menerima pesan dari nomor yang disimpannya dengan nama AM inisial dari nama panjang Amira.
Amira memasukan kembali ponselnya ke dalam rok.
Tak lama setelah itu dokter datang,
ia masuk ke ruangan Said,
amira mengekor dibelakang dokter itu,
berharap doa-doanya yang sudah melangit dijabah sang maha kuasa.Dari kaca pintu itu Amira menatap sendu anaknya yang terkapar tak sadarkan diri.
“Bu Amira.”
“Iya dok, bagaimana dengan kondisi anak saya?”
“Gejala tipes akan membaik setelah mengkonsumsi obat kira-kira kondisi anak ibu akan membaik dalam tiga sampai empat hari mendatang, kita berdoa saja ya buk.”
“Terima kasih dok.”
Dokter itu hanya mengangguk dan pergi untuk memeriksa pasien yang lain pastinya.
“Mbak Maryam,
mbak pulang saja biar aku yang jaga Said,
gak apa-apa kok mbak.”Amira kasihan melihat kantung mata Maryam yang mulai menghitam,
Maryam terlihat benar-benar lelah.Tak ada jawaban dari kakak iparnya itu,
Maryam hanya terdiam ia memang merasa lelah tapi tidak mungkin rasanya ia meninggalkan Amira seorang diri.“Ada apa?”
Zabir menangkap kedua wanita itu berdiri didepan pintu ruangan Said seperti tengah berunding.“Eh Zabir, gak ada apa-apa. ayo kita makan.”
Ucapan itu mengganjal di hati Zabir,
ibu tirinya itu terus-terusan saja menutupi kesedihannya.Setelah selesai makan,
tiba-tiba kakak ipar Amira pamit pulang tepatnya setelah menerima pesan dari seseorang,
Zabir sempat menawarka diri untuk mengantar tantenya itu,
tapi ditolak halus oleh Maryam,
ia pulang bukan saja membawa wajah lelah tapi juga wajah cemas.Amira tidak bisa memastikan apa yang akan kakak iparnya itu dapati setelah sampai rumah, ia hanya bisa berdoa semoga bukan karena murka kang masnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENCINTAI ABDI NEGARA [COMPLETED✓]
RomanceTentang bagaimana menjadi yang kedua Hadir ku bukan sepenuhnya salah ku, namun bukan berarti itu kebodohan dia. Begitu cara wanita itu menaklukan omongan orang. Aku menjadi sosok yang kedua, menjadi alasan untuk sosok seorang Serda menemukan tempat...