Tiga Puluh Tujuh

215 26 0
                                    

Rabu Pagi

Gue sedang mengerjakan tugas arsitektur dari salah satu dosen killer di kampus gue, hingga teman sekamar gue, Irene, memanggil nama gue.

"Kyra, ada tamu nih di depan." katanya dari luar. Irene pun masuk untuk memanggil gue lebih jelas.

"Ada yang nyariin lo tuh." kata Irene lagi yang gue tanggapi dengan kerutan dahi.

"Siapa?"

"Gak tahu. Katanya temen lu. Kalo enggak mau, sih, bisa buat gue. Soalnya ganteng banget!" jelasnya lagi.

Siapa? Luhan?

Gue pun meletakkan laptop yang layarnya menampilkan proyek setengah jadi gue, dan melangkahkan kaki keluar pintu kosan.

"Lah, mana? Enggak ada?" tanya gue ke Irene.

"Ada, di bawah." jawab Irene yang membuat gue turun ke lantai bawah.

Gue melangkahkan kaki dengan cepat ke lantai bawah kosan, dan mendapati sosok pria dari belakang secara samar.

Bukan, bukan Luhan. Ia terlalu tinggi untuk ukuran Luhan.

Gue menghentikan langkah gue sejenak untuk berpikir. Terdapat satu nama yang tersirat di pikiran gue, yang membuat hati gue tiba tiba berdenyut sakit.

Enggak, pasti bukan dia. Pasti bukan. Kita sudah berjanji untuk enggak berhubungan lagi, kan.

Gue mengontrol emosi gue, dan berjalan mendekati sosok pria itu. Semakin gue mendekati dia, semakin mirip lah dia dengan seseorang yang namanya sedari tadi gue pikirkan.

Kumohon, jangan dia. Gue belum ngelupain dia, mohon jangan buat dia kembali seperti ini.

Keyakinan gue semakin membulat ketika sosok itu membalikkan badannya menghadap gue.

Langkah gue terhenti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langkah gue terhenti. Gue terdiam mematung.

Gue merasakan mata gue menjadi basah. Sekuat tenaga gue menahan air mata ini agar tidak jatuh. Gue mengontrol nafas gue yang sedari tadi tertahan.

"Om?" gumam gue pelan, sangat pelan.

Mata kami bertemu. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut kami, bahkan hanya untuk bertegur sapa. Kami menghabiskan waktu cukup lama untuk saling berpandangan. Gue enggak berani mengedipkan mata gue satu detik pun, karena takut om Lay yang ada di hadapan gue hanya halusinasi.

Sudah dua tahun. Sudah dua tahun gue tidak melihat manik matanya itu lagi. Tatapan yang dulunya penuh kasih sayang sekarang berubah menjadi tatapan kaku.

"Ada perlu apa?" tanya gue dingin, setelah mencoba mengendalikan emosi gue selama beberapa menit.

Gue berusaha membangun benteng setinggi mungkin agar hati ini tidak lagi jatuh kepada orang yang salah.

Gue berusaha membangun pendirian sekuat mungkin agar rasa cinta yang sudah dua tahun susah payah gue pendam tidak muncul lagi.

"Ada waktu? Om mau bicara sebentar denganmu." tanyanya dengan suara pelan.

Seharusnya gue menolak, seharusnya gue menggeleng. Tapi gue malah mengangguk mengiyakannya.

.

Selama perjalanan, tidak ada satupun kalimat keluar dari mulut kami. Suasana hening, sangat hening bahkan tanpa adanya suara radio. Gue merasakan udara disekitar gue kian bertambah sesak seiring berjalannya waktu.

Om Lay menghentikan mobilnya di sebuah taman yang dulu pernah kita singgahi. Ia mengajak gue ke depan air mancur yang teramat indah.

Ah, gue teringat perkataannya. Melihat air mancur yang indah tidak akan bisa memperindah hidup seseorang juga.

Gue menahan air mata yang sedari tadi hampir terjatuh. Tidak, gue enggak boleh nangis. Setidaknya enggak untuk sekarang.

"Kuliahmu lancar?" tanyanya tiba tiba yang membuat gue melihat kearahnya.

"Lancar." jawab gue dingin.

"Om harap, selama dua tahun ini kamu baik baik saja." kata dia kemudian.

"Aku sangat baik disini." jawabku cepat, terdengar dingin.

Sudut bibirnya terangkat. "Baguslah, kalau kamu baik baik saja." katanya lagi.

"Aku tahu om kesini bukan cuma mau nanya kabar, kan?" kata gue to the point.

Apa yang mau dia bicarakan?

Apa setelah dua tahun, dia sudah menemukan bahwa salah satu dari kita bukan bagian dari keluarga ini?

Apa kita berdua punya kemungkinan untuk bersama?

"Kyra.." panggilnya tertahan. Gue menunggu lanjutan kata-katanya dengan secercah harapan baik yang mungkin saja terjadi. Gue siapkan sisanya untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

Gue menahan nafas ketika om Lay menyodorkan sebuah kartu undangan berwarna keemasan dari dalam jaketnya.

Gue terdiam mematung. Gue mengambil kartu undangan yang ia sodorkan barusan dengan tangan yang gemetar.

"Kartu undangan siapa?" tanya gue dengan suara pelan. Gue membuka kartu undangan tersebut dengan harapan yang terburuk yang sudah gue bayangkan sejak lama. Tercetak jelas nama Lay Zhang dan Jennifer Wang diatas kartu itu.

Gue terdiam menatap apa yang baru saja gue baca. Gue kalah, sungguh. Pada akhirnya gue hanya seorang pecundang yang berharap akan sesuatu yang mustahil.

Gue merasakan atmosfir disekitar gue seolah menekan gue dengan teramat sangat. Rasanya sesak. Air mata gue hampir jatuh, yang sedari tadi setengah mati gue tahan.

"Oh, om akan menikah?" kata gue dengan suara bergetar dan berusaha seolah terlihat turut bahagia. "Selamat, ya!" sambung gue dengan senyum yang dipaksakan.

Kubaca berulang kali nama yang tercetak di kartu undangan itu. Gue berharap apa yang gue baca tidaklah benar.

Jennifer... Rekan kerja om Lay waktu itu rupanya. Dia sukses memenangkan hati om Lay. Dan, gue kalah. Gue pecundang.

"Kyra.." panggil om Lay pelan.

Gue mengepalkan tangan gue dan mengatupkan rahang gue sekuat tenaga, berharap hal tersebut bisa memendam rasa sakit yang gue rasakan.

"Kyra, kamu enggak apa apa?" tanya om Lay dengan raut wajah seolah khawatir.

Gue menghela nafas berat, dan berusaha tersenyum walau teramat dipaksakan.

"Aku gak apa apa, om. Sekali lagi selamat, ya! Aku pasti datang!" kata gue dengan segenap kesadaran yang masih tersisa.

To Be Continued

[COMPLETED] Forbidden Love 🔹 Zhang Yixing (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang