Hujan tengah membasahi bumi ketika pertama kali aku datang ke cafe ini. Pertama kali juga aku melihatmu di meja samping kaca besar yang merepresentasikan jalan ramai meskipun hujan terus turun entah kapan berhentinya. Kamu yang memakai coat berwarna mocca juga syal merah melilit leher terduduk manis di sana dengan secangkir minuman hangat pada genggaman. Wajahmu kelihatan apatis. Egoistis juga terasa pada dirimu ketika aku menyadari tak pernah sekalipun wajahmu ditolehkan dari jalan dan terus terpaku di sana meskipun meja di depanmu terdapat pengunjung baru. Aku begitu penasaran, apakah lehermu tidak pegal dengan posisi yang terus begitu? Aku berani bertaruh, meski ada keributan yang memusingkan kepala pun, kamu tetap diam dengan mata terus menatap pada jalan dan telinga seakan ditulikan.
Tapi, pasti ada alasan dari sebuah kejadian. Pastinya kamu memiliki alasan mengapa terus terdiam. Pasti ada alasan mengapa kamu tidak menolehkan kepala dan terus bersandar pada kaca. Penasaran mendadak menyerang. Ingin aku tanyakan kepadamu, apa yang sedang kamu pikirkan?
Sayangnya, aku hanyalah sosok asing juga penakut yang hanya bisa menanyakan itu di dalam hati sekaligus menebak-nebak apa jawabannya. Aku ingin menghampirimu namun aku takut. Seratus niatku dikalahkan oleh seribu ketakutanku. Alhasil, aku tetap duduk di sini sambil memperhatikan dirimu yang seperti tidak memiliki niat untuk mengganti posisi walau seinci. Loyalitas pada posisimu itu ternyata cukup menguntungkan sebab aku tak perlu takut semisal mendadak kepalamu menoleh dan ketahuan sudah apa yang sedari tadi aku lakukan. Tak perlu juga aku menyiapkan seribu alasan jikalau aku ketahuan dan tak perlu juga aku menyiapkan diri untuk menerima seribu dosa sebab kebohongan yang aku ciptakan dari alasan tersebut.
Aku tidak paham dengan apa yang kamu pikirkan, namun aku lebih tidak paham lagi dengan diriku sendiri. Kamu hanyalah sosok asing yang baru aku temui, tapi mengapa aku ingin terus memperhatikanmu seperti ini? Mengapa aku bertanya-tanya tentang apa yang kamu pikirkan? Mengapa aku ingin sekali menghampirimu dan bertukar obrolan denganmu?
Ada apa dengan diriku?
Aku berusaha berpikir jernih. Mungkin itu semua karena aku tidak bisa melihat seseorang duduk sendirian dan terlihat kesepian. Benar, itu alasannya. Ada suatu hal di sudut hati yang sedari tadi memaksa untuk menemanimu dan menjadi tempat dirimu bercerita. Tapi, apa bisa sedangkan niatku saja terkalahkan oleh rasa takutku?
Aku terlalu lama berpikir sampai akhirnya aku gagal untuk duduk di hadapanmu. Kamu pergi dan meninggalkan meja juga cangkir di atasnya. Masih dengan wajah yang sama, kamu sepertinya tidak menyadari tatapanku padamu. Ternyata kamu se-apatis itu. Aku semakin ragu, namun semakin juga aku penasaran denganmu. Mungkin, besok aku bisa duduk di depanmu?
Itu kalau kamu datang lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Mate
FanfictionGurat takdir Tuhan mempertemukan kita di meja kotak dua kursi dekat kaca dengan pemandangan jalan yang tak pernah ingin sepi. Larut kita dalam berbagi kata sampai tak sadar kita juga berbagi rasa. © 2020 - Njuneoclear a.k.a Ciya (Biasakan melihat ta...