Tegukan Kelima, J

1.6K 349 2
                                    

Kamu duduk di sana seperti biasa, dengan mata melihat keluar jendela begitu nyaman.

Nampan aku genggam erat-erat sampai cangkir pada permukaan bergeser sedikit dari tempat semula. Kakiku masih berpijak di sini tanpa ingin bergerak. Sejak kemarin, ketika aku tertampar kenyataan bahwa dirimu merupakan seorang istri dari seseorang, membuatku meragu untuk duduk di hadapanmu lagi. Ketakutan membayangi juga ingatan lama menghantui aku semalaman sampai memejamkan mata pun tidak bisa. Aku memikirkan hal itu tiada hentinya. Aku membuat sugesti untuk jauh saja dan lupakan semua seperti tak pernah berbicara denganmu. Namun, kacau semua dalam sekejap ketika matamu bertemu denganku begitu lembut seakan mengundangku untuk masuk dalam jebak rayu. Senyummu seakan mendorongku untuk duduk di hadapanmu dan kembali terbuai aku pada cantikmu. Dan, setan pada diri ini berhasil memenangkan debat karena sekarang kakiku melangkah padamu, menaruh nampak di meja, lalu duduk dengan perlahan. "Apa kabar?"

"Baik." Begitu jawabmu. Aku tak bisa untuk tidak tersenyum mendengar suara semanis madu itu. candu juga tercecap pada setiap bait kata yang kamu ucap sampai aku ketagihan dan ingin mendengarnya lagi. Aku tidak sabar menunggu kalimat selanjutnya yang kamu tujukan padaku. "Kamu?"

Ada sesuatu dalam diriku yang melompat kegirangan ketika kamu juga menanyakan kabarku. Aku tak ingin membuatmu lama menunggu, maka dari itu aku langsung menjawab. "Aku baik."

Kamu tersenyum lagi. Untung aku tidak sedang minum atau bisa saja aku menyembur. Semuanya terlalu mendadak; matamu yang menatapku, senyum manis yang kamu tujukan padaku, semuanya mengarah untukku. Bagaimana bisa aku berpikiran untuk menjauh kalau diberikan senyum seperti ini saja seperti membuatku tunduk?

"Apa yang kamu pesan?" aku bertanya sebagai pengalihan. Dalam hati harap-harap cemas agar tingkah konyolku barusan tidak disadari olehmu. Mau taruh di mana wajahku ini?

"Latte hangat." Kamu menunjuk cangkirmu.

"Padahal hari ini tidak hujan."

"Aku suka itu."

Tercatat di otakku. Kamu suka minum latte hangat. "Hanya itu?"

"Americano."

"Aku minum itu sekarang." Aku meraih cangkir untuk ditunjukkan padamu.

"Dingin?"

"Bagaimana kelihatannya?"

Kamu tertawa kecil. Dadaku diterpa kehangatan. "Siapa tahu ada es batu dalam cangkir itu."

Kita diam. Kamu menoleh pada jalan yang hari ini lebih ramai orang sebab matahari tak bersembunyi di balik awan mendung seperti kemarin. Di balik cangkir aku mengintip wajah samping milikmu yang begitu sempurna seperti tak ada cela sama sekali. Kala matamu mengerjap, seperti terdapat kembang api tengah meledak dalan hati dan itu cukup aneh karena sudah lama aku tidak merasakan perasaan ini sampai aku menjadi bingung sendiri. Namun, aku menyukai sensasi ini, sensasi yang kurindukan dan kembali kurasakan ketika melihatmu dihadapanku, padahal yang sedari tadi kamu lakukan hanya duduk diam begitu.

Aku kembali menertawakan ketololanku yang mencetus ide untuk menjauh. Karena bagaimana bisa?

"Kenapa kamu selalu melihat keluar?"

Sepersekian detik ketika kamu menoleh ke arahku begitu berharga sampai aku berharap otak ini merekam hal tersebut dan dapat kuputar nanti-nanti. Aku mengulum senyum saat mata kita sudah bertemu. Ah, indahnya mata coklat jernih itu. "Kelihatan aneh, ya?"

"Tentu saja tidak aneh. Aku hanya penasaran. Apa di luar terdapat sesuatu yang begitu menarik perhatian sampai kamu betah sekali melihatnya?"

"Sebenarnya, aku sedang melamun." Ternyata benar, ada sesuatu yang kamu pikirkan. "Banyak yang aku lamunkan, menjalar sana-sini sampai aku tak sadar melamun begitu lama dengan posisi yang sama; melihat keluar seperti tiada bosan padahal aku tidak melihat apa-apa."

"Apa aku mengganggu?"

"Malah aku membutuhkanmu untuk menemaniku mengobrol seperti ini daripada terus melamun dan makin membuatku berpikiran yang tidak-tidak." Sesak terasa di dada karena wajah manismu sekarang bagai diselimut kabut. Cerah digantikan begitu saja dengan mendung. "Terima kasih sudah duduk di sini."

"Sama-sama dan maaf karena aku bertanya seperti itu."

"Tidak masalah."

Kamu melihat jam di tangan. Kamu menatapku dengan pandangan tidak enak. Sepertinya sampai sini saja pertemuan kita untuk hari ini. Padahal aku masih ingin lama-lama mengobrol denganmu, atau mungkin mendengar sesuatu yang membuatmu melamun sedih seperti itu. Namun, aku tutupi kekecewaan dengan senyum terbaik yang aku miliki. Kamu akhirnya tersenyum. Aku merasakan kelegaan.

"Aku pulang dulu, ya." Kamu meraih cangkir dan menyesap sisa isinya dengan cepat. Senyum masih bertahan pada bibirmu. Aku menjadi malu sendiri dibuatnya. "Sampai jumpa besok." Kamu melambaikan tangan.

Aku kembali sendirian.

Aku mengais sisa aroma manis vanilla dari parfum milikmu yang mulai memudar sejak beberapa saat lalu. Terbuai aku sampai membayangkan masih ada dirimu di hadapanku dengan senyum yang aku kagumi itu. Nyatanya kehadiranmu seperti kokain yang membuatku seperti tengah terbang ke nirwana dengan penuh kebahagiaan. Sampai aku lupa dengan sekitar, dan aku tersadar kalau aku juga lupa menanyakan namamu.

Tentu, aku tidak perlu khawatir tak akan tahu namamu. Sesuai ucapanmu, kita akan bertemu lagi besok. Aku akan datang lagi, kalau bisa lebih awal. Aku tidak mau membuat kamu menunggu sampai bosan dan kembali melihat keluar jendela dengan pikiran yang katamu macam-macam itu.

Besok aku akan temani kamu.

Besok juga aku siap mendengar ceritamu kalau kamu mau bercerita.

Coffee MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang