Tegukan Kesembilan, J

1.1K 280 9
                                    

Nampaknya cuaca di bumi makin menujukkan keambiguan dan susah diprediksi secara pasti tak seperti ketika aku masih kecil. Berdasarkan perkiraan cuaca yang selalu tayang pukul enam pagi, minggu-minggu ini hujan akan terus turun meskipun terkadang cerah walau tak berlangsung lama, menjadikan kita selalu antisipasi akan payung atau tetap diam di rumah jika tidak ingin kerepotan. Namun, prediksi itu meleset dimulai sejak dua hari lalu. Matahari bersinar begitu terik dengan langit cerah berwarna biru terhias awan putih yang selalu bergerak sebab tiupan angin. Suhu semakin naik seperti membakar kulit. Tidak mungkin di cuaca sepanas ini aku memesan sesuatu yang hangat seperti kemarin. Maka, americano dingin dengan es batu memenuhi gelas adalah pilihan yang cocok. Renjun juga memilih memesan frappe yang buihnya meluap keluar gelas sebab kecerobohannya yang tadi hampir tersandung kaki sendiri.

"Aku memang ceroboh," akunya kemudian mendengus geli. Aku menggelengkan kepala sebagai reaksi. "Kalau tadi aku terjatuh, mau ditaruh di mana ya wajahku?"

"Aku akan langsung pulang kalau begitu."

"Lalu tidak mendengar ceritamu?"

Nampaknya Renjun begitu penasaran dengan ceritaku. Padahal, aku sama sekali tidak menyiapkan cerita untuk kuceritakan hari ini. Pada dasarnya hidupku begitu monoton dan sama sekali tidak seru. Apa yang diharapkan dariku yang hidup sendirian sejak bangku SMA?

"Kamu ingin aku bercerita apa?"

Gelas frappe ditaruh pada meja. Buih yang tersisa di sudut bibir diusapnya menggunakan tisu. Tatapan Renjun begitu tajam, namun aku malah tertawa. Renjun lucu kalau sedang begitu. "Kenapa bertanya kepadaku?"

"Mungkin kamu ada permintaan?"

"Tentang hidupmu?"

Aku menatap jalan ramai orang-orang. Aku menggali sekaligus memilah apa yang ingin kuceritakan padanya. Ketika melihat satu titik, aku teringat sesuatu. Kemudian, aku menoleh kembali pada Renjun yang nampaknya tidak sabar dengan ceritaku. Aku tertawa, Renjun menatapku tajam. Rasanya seru sekali membuatnya kesal seperti itu. Gemas. "Tidak sabar, ya?"

"Aku masih menunggu." Jarinya diketukkan pada meja. Bibir yang sewarna sakura di musim semi mengerucut. Dia merajuk ternyata. "Kalau kamu tidak ingin bercerita, aku pulang sekarang."

"Ho, kamu merajuk?"

"Jeno!"

Aku tertawa. "Baiklah-baiklah."

Aku menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. "Aku sudah hidup sendiri sejak SMA. Aku kabur dari rumah dengan rasa sakit di hati yang aku pendam selama bertahun-tahun. Aku muak tinggal di sana, seperti tidak dianggap. Keberadaanku seperti halnya debu. Yang mereka lihat hanyalah Kakakku juga Adikku."

"Kamu anak kedua?"

"Betul. Pernah mendengar sindrom anak tengah? Itu bukan fiktif, tapi nyata. Aku mengalaminya sendiri."

"Jeno, tidak apa-apa?"

Aku mengangguk. "Tidak apa-apa. Aku bercerita seperti ini mungkin bisa dijadikan pelajaran jikalau kamu mempunyai anak nanti."

Renjun terdiam. Aku kembali melanjutkan ceritaku. "Jarak umur antara aku dan Kakakku kira-kira 5 tahun, dengan Adikku 6 tahun. Maka dari itu Kakakku sudah mempunyai dunianya sendiri, mempunyai temannya sendiri. Daripada bermain denganku, dia lebih memilih dengan temannya. Lalu, aku sendirian. Ibuku sibuk mengasuh Adikku yang waktu itu masih bayi. Jadilah aku melakukan segala hal sendirian.

"Seperti yang aku katakan tadi, orangtuaku hanya melihat mereka berdua. Orangtuaku lebih mementingkan kepentingan Kakak dan Adikku, baru untukku dipertimbangkan setelah kepentingan mereka sudah terpenuhi.

"Aku tidak seperti anak yang lain, pulang sekolah langsung bermain dengan teman-temannya. Tidak, aku tidak seperti itu. Banyak yang harus aku lakukan. Orang lain mungkin bangga dengan kemandirianku ini, tapi sebenarnya yang aku rasakan hanyalah luka. Kesedihan melingkupi hidupku. Makin bertekad lah aku pergi dari rumah sebab tidak sanggup lagi menanggung semua beban itu.

"Dan, berhasil. Aku pergi dari sana. Aku mendaftarkan diri pada SMA di luar kota dan syukurlah aku diterima. Aku hidup sendirian sejak itu. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, aku melakukan banyak pekerjaan serabutan. Pontang-panting bekerja dari pagi sampai bertemu pagi lalu berangkat sekolah. Lulus SMA, aku langsung mencari pekerjaan lain karena aku tak memiliki cukup uang untuk kuliah."

"Kenapa memilih menjadi pelatih taekwondo? Padahal ada pekerjaan lain yang lebih menjajikan, bukan?"

"Taekwondo ini seperti hidupku. Aku sangat menyukai taekwondo dan aku mendedikasikan diri untuk bela diri ini. Lagipula, menjadi pelatih juga pekerjaan menjanjikan, meskipun gaji tidak sebesar pekerjaan lain."

"Sekarang bagaimana hubunganmu dengan orangtuamu?"

"Aku sama sekali tidak pernah menemui mereka sejak itu. Menghubungi saja rasanya benar-benar malas. Mereka juga tidak akan pernah menganggapku, jadi untuk apa aku memikirkan itu?" Haus terasa setelah panjang-lebar bercerita. Gelas yang terus membasah sebab mencairnya es batu kuambil dan dirasakannya dingin pada epidermis. Kemudian, kuteguk isinya sampai tandas tak bersisa. Aku lega. "Jadi, apa yang kamu dapat?"

"Aku tidak ingin mempunyai anak."

Aku menyeritkan kening. "Mengapa?"

"Aku tidak ingin mempunyai anak dengan orang itu."

Ah, iya. Renjun membenci suaminya. Mana mungkin juga dia mempunyai anak dengan kondisi pelik seperti itu? Bisa-bisa apa yang terjadi kepadaku terulang dan aku tidak mau itu. Jangan ada aku berikutnya, meskipun sebenarnya di luar sana pasti tetap ada. "Renjun, kalau suatu hari kamu mempunyai anak, jangan seperti orangtuaku, ya?"

"Aku ingin mempunyai anak, tapi jangan dengan orang itu."

Bagaimana kalau denganku?

Aku menertawakan diriku sendiri kemudian.

Itu tidak mungkin pasalnya.

"Jangan terlalu emosi, Renjun."

"Aku mengatakan yang sebenarnya, Jeno."

Kita tertawa.

Aku melirik jam di tangan. Sudah cukup sore. Langitpun sudah berubah warna. "Tidak pulang?"

"Kamu mengusirku?"

"Bagaimana kalau kamu ketahuan suamimu?"

Renjun mendengus. "Ancamanmu menyeramkan."

"Bukannya kamu yang mengatakan itu sendiri?"

"Kapan?"

"Kemarin?"

Renjun memiringkan kepala. Sial, gemas. "Tidak?"

Aku menyerah. "Oke, tidak."

Padahal kemarin Renjun mengatakannya bukan?

"Aku pamit dulu."

"Hati-hati." Aku melambaikan tangan. "Besok giliranmu untuk bercerita."

"Aku?"

"Iya, Renjun."

"Oke. Aku akan bercerita besok. Dadah, Jeno!"

Lalu, Renjun pergi meninggalkan aku di sini seperti orang bodoh karena tersenyum-senyum sendiri.

Coffee MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang