Tegukan Keenambelas, J

842 231 1
                                    

Perkataanku kemarin lusa tentang kejadian beberapa tahun lalu akan terulang ternyata benar adanya. Aku tentu tidak terkejut lagi, apalagi ketika mendapat bogeman mentah di pipi (yang masih membekas sampai sekarang) oleh seseorang yang aku yakini adalah suami Renjun. Aku sudah tahu kalau itu akan terjadi. Aku juga sudah mempersiapkan diri karena inilah resikonya sehingga aku tidak perlu memikirkan diriku sendiri. Sekarang yang aku pikirkan adalah bagaimana keadaan Renjun setelah kejadian kemarin. Aku benar-benar marah saat orang itu menarik Renjun seperti tidak ada perasaan. Benar kata Renjun, orang itu malaikat hitam ̶ bukan, orang itu iblis. Kemarin aku hendak menyusul mereka namun sakit di punggungku membuat semuanya terhambat. Aku tidak dapat mengejar mereka. Aku tidak dapat menyelamatkan Renjun dari iblis itu. Aku juga menjadi marah kepada diriku sendiri. Tuhan pun tak luput dari marahku; aku marah mengapa semuanya begitu rumit. Lalu, setelah marah dengan tidak tahu dirinya aku menangis memohon-mohon kepada-Nya untuk selalu melindungi Renjun. Aku benar-benar khawatir dengan Renjun. Aku tidak bisa tidur semalaman. Aku terus memikirkan Renjun.

Malam berganti pagi, pagi berganti siang, lalu sore datang dan aku kembali datang ke café dengan perasaan campur aduk. Bodohnya aku mengharapkan kedatanganmu meskipun aku tahu kemungkinannya begitu kecil. Tidak mungkin kita dapat bertemu kembali setelah kejadian itu. sebab itulah semalam aku menyesali segalanya. Kalau ada kesempatan sekali untuk bertemu, aku akan meminta maaf pada Renjun. Aku meminta maaf atas pertemuan kita yang membuat semuanya rumit. Aku meminta maaf kepadanya karena berani-beraninya jatuh cinta kepadanya.

Aku termenung, memandang bangku kosong yang biasa Renjun tempati. Seperti biasanya, aku akan tenggelam dalam fantasi akan kehadiran Renjun di hadapanku dan tersenyum untukku, menenangkanku kalau semuanya baik-baik saja. Tanpa sadar aku meneteskan air mata, segera aku hapus dengan jemari. Americano yang aku pesan semakin saja terasa pahitnya. Kepalaku terasa ingin pecah. Napasku berhembus tidak beraturan. Dadaku sesak seperti tertimpa beban berat. Aku makin merasa bersalah dengan Renjun.

Renjun, maafkan aku.

Bagaimana keadaannya sekarang?

Seribu doa aku panjatkan supaya Renjun benar-benar dalam keadaan baik. Aku khawatir. Aku takut terjadi sesuatu padanya yang disebabkan oleh iblis itu.

"Jeno."

Air mataku jatuh. Sepertinya aku benar-benar tenggelam dalam fantasi sampai aku mendengar bayangan Renjun memanggil namaku. Napasku semakin tidak beraturan. "Renjun, maafkan aku."

"Jeno."

Tidak ada bayangan yang bisa mendekat dan mengulurkan jemarinya untuk menghapus air mata. Aku semakin dibuat tidak karuan ketika sadar kalau Renjun benar-benar ada di hadapanku. Dia menghapus air mataku dengan jemarinya yang lembut. Pipiku tak luput dari usapannya sampai aku memejamkan mata, terbuai dengan sentuhannya. Beban di dadaku sedikit terangkat sebab mendapati Renjun ternyata baik-baik saja. Wajahnya tetap lembut seperti tak ada cela.

"Renjun, maafkan aku." Aku berucap sekali lagi. Renjun menjauh dan duduk. "Maafkan aku."

"Kamu tidak ada salah sama sekali. Seharusnya aku yang meminta maaf padamu, Jeno." Aku terkejut ketika Renjun mengamit tanganku. Punggung tanganku diusapnya lembut. Aku merasa tenang. Usapan jemari Renjun seperti terdapat penenang. "Aku yang menjadi penyebab kekacauan ini semua sampai kamu terkena imbasnya." Jemarinya lalu mendekat pada sudut bibirku yang masih membiru. "Semakin kacau karena aku jatuh cinta padamu, Jeno."

Aku membulatkan mata. Renjun juga jatuh cinta kepadaku. Aku seharusnya senang namun untuk sekarang aku sama sekali tidak bisa. "Kumohon, Renjun. Jangan membuat kamu menjadi pendosa juga sepertiku. Jangan jatuh cinta kepadaku. Jatuh cintalah pada suamimu, Renjun. Dia lebih berhak daripada aku yang bukan siapa-siapa."

"Kamu berhak, Jeno!" Dia membentakku. "Dibandingkan dia, kamu lebih berhak! Aku jatuh cinta kepadamu karena kamu lebih pantas untuk dicintai daripada malaikat hitam itu! Aku jatuh cinta kepadamu, Jeno! Kamu sudah menjadi bagian terpenting dari hidupku! kamu yang menyelamatkanku ̶ "

"Renjun, cukup. Cukup aku saja yang menanggung dosa ini. Cukup aku saja yang jatuh cinta kepadamu. Cukup aku saja, Renjun. Jangan dirimu." Aku memotong, penuh keputus-asaan. Kembali, kejadian beberapa tahun lalu terlintas seperti menertawakanku. Akupun tertawa karena tak pernah aku merasakan cinta dengan tenang dan selalu berhubungan dengan seseorang yang sudah dimiliki orang lain. Sepertinya Tuhan memang sedang menghukumku dengan memberikan cerita yang sama kepadaku. "Renjun, aku mohon. Sekalipun aku begitu mencintaimu, aku tidak mau kamu jatuh cinta kepadaku. Ini semua salah, Renjun. Benar-benar salah. Tidak ada kebenaran sekalipun dipaksakan."

"Jeno, aku mohon–"

"Aku juga memohon kepadamu, Renjun. Aku sudah mengalami hal seperti ini dan sakit sekali." Aku menghembuskan napas. "Aku tidak bisa memaksakan keadaan seperti dulu. Aku tidak mau kehilangan orang yang aku cintai lagi. Cukup dia saja yang pergi dari hidupku."

"Jeno, aku mencintaimu. Biarkan aku bersamamu. Hidup denganmu. Tolong, Jeno. Aku mohon."  Kelemahanku adalah melihat seseorang memohon, ditambah yang memohon padaku sekarang adalah Renjun. Namun, semua ini salah. Permohonan Renjun adalah kesalahan. Semua yang kita hadapi sekarang adalah kesalahan.

"Aku juga, Renjun." Aku membalas genggamannya. "Tapi, kita tidak bisa."

"Jeno ̶ "

"Aku tidak ingin kehilanganmu, Renjun."

Aku mencoba membuat keputusan terbaik untuk tidak kembali kehilangan seseorang yang aku cintai. Aku tidak mau mengulang kejadian itu. Cukup dia saja yang pergi. Aku tidak mau kehilangan Renjun dari pandanganku. Aku tidak ingin membuatnya semakin rumit. Aku mempersilahkan akalku yang mengambil alih dan memohon kepada hatiku untuk tidak berontak. Jangan, jangan seperti dahulu.

Tuhan, mengapa harus seperti ini?

Renjun, aku benar-benar mencintaimu sampai aku tidak bisa mengucap namamu lagi. 

Coffee MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang