Jeno hari ini membawa paper bag berukuran kecil. Sejak dia datang, aku menebak-nebak dalam pikiran apa yang ada di dalam paper bag tersebut. Apakah di dalamnya merupakan permainan yang Jeno maksud kemarin atau malah bukan sama sekali. Jeno sejak tadi aku pandangi sebagai kode untuk cepat-cepat memberitahu namun yang dia lakukan sedari tadi hanya menyesap kopinya. Sepertinya, dia tengah mengerjaiku karena aku menyadari kalau ada senyum dibalik cangkir. Tak bisa menahan rasa penasaran, aku lalu merebut paper bag itu dan segera membukanya. Aku berdecak. Dengan tak sabar aku mengeluarkan apa yang tadi kulihat dari dalam kantung tersebut. "Jenga?"
"Tahu, kan?"
"Tentu."
Aku perlahan menarik kardusnya dan jenga yang terbuat dari bahan kayu terlihat. Masih tersusun begitu rapih. Pasti jenga ini baru saja dibeli. "Baru?"
"Sudah lama." Oh, ternyata salah. "Waktu itu hanya kusimpan saja dan baru membukanya sekarang."
Aku memperbaiki posisi salah satu balok. "Kalau hanya disimpan, mengapa dibeli?"
"Hanya ingin?"
Benar-benar tidak bisa ditebak.
"Jadi, apa hukuman bagi orang yang merobohkan susunan jenga ini?" Aku bertanya dengan jemari mengetuk-ngetuk pada balok. Sedikit ada debu di sana, menunjukkan kalau Jeno benar-benar menyimpan balok-balok ini begitu lama tanpa sempat disentuh sama sekali. "Traktir kopi untuk besok?"
"Tidak." Jeno menggeleng. "Tapi, harus menari di jalan sana." dia menunjuk luar.
"Menari?!" Aku berseru. "Menari? Di jalan sana? Di tengah keramaian dan dilihat banyak orang?"
Jeno dengan santainya mengangguk. Berbanding denganku yang mendadak gugup. Bagaimana kalau misalnya aku yang kalah? Seumur hidup aku tidak pernah melukan hal konyol seperti demikian. Ah, ditambah aku juga payah dalam permainan yang menambah persen dari kekalahanku. Aku melihat Jeno, dia tertawa kecil. Rasa kesalku lantas membara. Aku tidak ingin melakukan hal konyol itu dan Jeno yang harus kena getah dari ucapannya. Akan aku buat dia kalah dan menari di jalan.
"Oke." Aku menatapnya tajam. "Yang kalah harus menari di jalan, tanpa penolakan. Aku berjanji."
"Aku juga berjanji."
Janji sudah dibuat.
Kita melakukan suit. Aku semakin panik karena sudah kalah sejak awal. Jeno mendapat giliran pertama dan dengan matanya dia menggodaku. Aku semakin kesal. Semakin terpacu juga semangatku untuk membuatnya kalah.
Satu-persatu balok sudah berpindah posisi. Aku semakin gemetaran karena sudah banyak bagian kosong yang makin mempersulitku untuk mengambil balok yang lain. Sedangkan Jeno, dia begitu santai seperti tidak ada beban. Terlihat seperti sok professional dan ingin sekali aku menendang kakinya. Sesekali dia menggangguku saat mengambil balok, aku balas dengan memukul punggung tangannya yang jahil itu.
Aku benar-benar di posisi bahaya. Jeno dengan sengajanya menatapku begitu lekat sehingga gugup makin terasa. Aku juga salah tingkah. Wajahnya begitu dekat dengan wajahku sampai aku bisa merasakan napas hangatnya menerpa pipi. Tanganku dilanda tremor hebat. Kalau begini caranya aku bisa saja kalah. Aku tak bisa berpikir panjang dan tanpa sadar mengambil sisa balok di bagian bawah. Aku sudah memejamkan mata untuk bersiap mendengar rubuhnya balok, tapi sampai tigapuluh detik kemudian tidak terdengar apapun.
Tuhan ternyata masih menyelamatkanku. "Sekarang giliran kamu!"
Aku langsung tertawa karena gantian wajah Jeno yang menjadi gugup. Dia seperti memindai balok ̶ matanya bergulir dari atas menuju bawah dan terus berulang. Wajahnya lalu mendekat pada balok. Untuk membalaskan dendam, aku juga ikut mendekatkan wajah. Matanya membulat, aku terkekeh. Tak seperti tadi di mana aku benar-benar menghidari tatapannya, sekarang aku malah berani menatapnya tepat di mata.
Satu balok kemudian Jeno ambil dan susunan balok itu akhirnya rubuh berserakan pada meja. Aku melompat gembira. "Kamu kalah!"
Jeno menghembuskan napas. Kefrustasian jelas nampak di wajahnya dan aku senang. Sekarang aku merasa seperti orang jahat karena senang di atas penderitaan orang lain.
"Hukumannya bisa diganti?"
Hampir aku menyemburkan latte pada wajahnya. "Diganti?!"
"Sepertinya membelikanmu kopi untuk besok itu cocok untuk hukumanku."
"Tidak." Aku menggeleng. "Janji adalah janji. Kalau kamu tidak mau menepati, lebih baik sejak awal kamu tidak usah membuat janji."
"Oke, aku keluar." Jeno akhirnya berdiri. Aku merentangkan tangan meninju langit. "Lihat dari jendela. Aku tepati hukumanku."
Jeno berlalu.
Ada sedikit rasa bersalah di hatiku karena memaksa Jeno untuk melakukan hukumannya. Tapi, janji tetaplah janji. Dibuatnya janji adalah untuk ditepati, bukan untuk dihindari.
Aku melihat keluar. Jeno sudah ada di sana, berdiri di pinggir jalan yang ramai akan orang. Aku menutup setengah wajahku ketika dia sudah mulai menari. Jeno menari tanpa rasa malu. Dia menari seperti tak ada siapapun di sekitarnya padahal orang-orang sudah menatapnya penuh dengan tanya. Saat matanya bertemu dengan mataku, aku sama sekali tidak bisa menahan tawa. Aku tertawa begitu kencang sampai perutku terasa sakit. Sekarang aku merasa sama konyolnya dengan Jeno yang sekarang membungkuk pada orang banyak seperti penghormatan karena pertunjukannya sudah berakhir. Aku terlarut dalam tawa sampai aku lupa kalau di lantai dua ini aku tidak sendirian. Ada pengunjung lain juga yang sama-sama bersantai di sini. Tapi, aku tidak perduli. Aku ingin tertawa sekencang mungkin. Menertawakan Jeno yang sudah tiba dan duduk di depanku lagi. Dia diam, aku masih tertawa.
"Bagaimana?" aku bertanya di sela tawa. Benar-benar segar dalam ingatan Jeno yang asik menari di pinggir jalan. "Seru?"
Jeno mendengus dan setelahnya tertawa. Dia menjatuhkan kepala di atas lipatan tangan sehingga tawanya teredam kemeja. Aku semakin tertawa. "Malu."
Aku tidak kaget lagi semisal kita diusir dari tempat ini karena mengganggu ketenangan pengunjung lain.
Tawa kemudian mereda setelah puas. Aku mengatur napas yang sedikit sesak dan dihembuskan secara teratur. Jeno bersandar pada sandaran dengan mata terpejam. Wajahnya merah padam sampai ke telinga, tidak ada bedanya dengan tomat segar yang baru dipetik. Dalam sekejap posisinya ditegakkan kembali. Wajah semerah tomat itu nampak jelas di penglihatanku. "Besok kita harus bermain ini lagi."
"Hukumannya?"
"Sama. Dan, aku harap kamu kalah."
Aku merasa seperti tersambar petir.
"Bergantian seperti kita bercerita kemarin."
"Kalau kamu yang kalah?"
"Ya sudah, aku turun lagi."
"Kamu tidak malu?"
"Malu." Cangkir didekatkan pada bibir. Suara sesapan sedikit terdengar. Hanya sebentar, karena Jeno lekas meletakkan kembali cangkir pada meja. "Tapi, aku juga merasakan bebas."
"Bebas?"
"Aku merasa lepas dengan menari di tengah keramaian seperti itu. Meskipun banyak orang yang melihatku, menertawakanku, melihatku dengan tatapan aneh, tapi aku tidak terganggu sama sekali. Aku bisa merasakan diriku sendiri. Jiwaku merasa bebas, ragaku merasa bebas. Cukup berbelit tapi itulah yang aku rasakan sekarang." Jeno mengusap peluh pada kening. "Makanya kamu juga harus mencobanya."
"Lihat saja besok."
Jeno terkekeh.
Kejamnya waktu pada akhirnya memaksa kita mengakhiri pertemuan hari ini. Aku mengucapkan sampai jumpa pada Jeno yang seperti biasa tetap duduk di tempatnya sampai waktu yang sama sekali tidak aku ketahui. Dia tersenyum, aku membalasnya. Dengan perasaan ringan aku menuruni tangga lalu keluar café ini.
Sembari melangkah, aku menyadari sesuatu. Warna abu yang hampir hitam perlahan memudar dan menunjukkan warna-warni yang sebelumnya tersembunyi; itulah aku yang merasa menemukan diriku yang dulu. Aku merasa hidup kembali. Kesepianku mulai mengabur. Sebabnya adalah Jeno yang dengan senang hati mengulurkan tangan untuk membantuku meskipun aku yakin dia tidak menyadarinya. Dia membantuku menemukan diriku yang dulu. Dia membantuku menghapus rasa sepi. Dia membantuku untuk menjemput cahaya setelah sekian lama tenggelam dalam kegelapan.
Dan aku menyadari kalau Jeno sudah menjadi bagian penting di hidupku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Mate
Hayran KurguGurat takdir Tuhan mempertemukan kita di meja kotak dua kursi dekat kaca dengan pemandangan jalan yang tak pernah ingin sepi. Larut kita dalam berbagi kata sampai tak sadar kita juga berbagi rasa. © 2020 - Njuneoclear a.k.a Ciya (Biasakan melihat ta...