Tegukan Kedelapan, R

1.2K 290 4
                                    

Cuaca hari ini melambang hatiku yang turut cerah dengan perasaan berbunga seperti tengah musim semi di sana. Langkahku seringan kapas sampai tak sadar aku melompat-lompat bagai anak kecil yang bahagia sebab diberikan permen sebungkus pada malam Halloween. Penyebabnya satu, yaitu pria tampan yang baru kuketahui namannya lusa kemarin. Pria tampan yang membuatku untuk tidak takut menunjukkan diriku yang sebenarnya. Pria tampan yang ingin menjadi temanku walau hanya dalam café semata. Dia, Jeno. Pria tampan itu.

"Hai."

Cangkir bardenting cukup nyaring saat bersentuhan dengan meja. Jeno memberikan senyum untukku yang aku balas dengan senyum juga. Seperti langit dan aku hari ini, pahatan indah ciptaan Tuhan itu juga berkilau cerah. Aku tidak bisa untuk tidak jatuh pada pesonanya yang lancang membuat jantungku berdebar dengan tempo kacau. Aku benar-benar kacau dan penyebabnya masih karena orang yang sama.

Dia, Jeno.

Dia masih tersenyum kepadaku.

"Hari ini pesan apa?" Jeno bertanya dengan mata diam-diam mengintip cangkirku. Aku buru-buru mengambilnya yang membuatnya mengerutkan kening. Aku mengulum senyum. "Mengapa diambil?"

"Coba tebak?"

Kerutan di kening itu memudar. Dengusan geli dari Jeno membuatku meledakkan tawa. Puas sekali membuatnya bertanya-tanya seperti tadi. Itu lucu. "Aku kira ada apa."

"Ayo, coba tebak."

"Kalau aku berhasil menebaknya"

"Aku akan bercerita."

"Bukannya hari ini memang giliranmu?"

"Memang!"

Aku tertawa lagi. Jeno menepuk kening dan menggelengkan kepala. "Ternyata kamu sejahil ini, ya?"

Aku mengatupkan bibir. Dengan tangan aku membentuk tanda silang. "Tidak, tuh."

"Aku tebak.. Americano lagi?"

"Salah!"

"Latte?"

"Salah!"

"Lalu apa?"

"Moccachino." Aku meletakkan cangkirku kembali di meja. Jeno mendekatkan wajah, sepertinya untuk memastikan apakah benar moccachino adalah minuman yang kupesan hari ini. Barulah dia tersadar ketika mencium aroma manis dari coklat yang beradu dengan aroma kuat dari espresso. Jeno mendengus geli lalu tawanya pecah. Aku ikut tertawa karena Jeno benar-benar lucu. "Jadi, hari ini aku tidak bercerita, ya?"

Tawaku berubah menjadi kekhawatiran karena saat Jeno mendongak (amat cepat) terdengar bunyi gemulutuk tulang yang begitu memilukan. Aku memajukan tubuh namun Jeno dengan cepat memundurkan kursi dan berkata kalau ini bukan masalah serius. Aku ingin menganggap seperti itu tetapi ringisan yang sedari tadi Jeno keluarkan benar-benar membuatku seratus persen khawatir. "Betul tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa." Jeno menggerakan lehernya dan terdengar bunyi lagi sekali. Dia melambaikan tangan, mungkin maksudnya mengatakan kalau dia tidak apa-apa. "Ini sudah biasa."

Jeno tersenyum untuk lebih menenangkanku.

Aku total kalah.

"Oh, kenapa kamu memesan moccachino?"

"Hanya ingin."

Jeno mengangguk. "Tidak ingin cerita?" Lalu, dia menawari. 

Aku menipiskan bibir. "Boleh aku memulainya?"

"Silahkan."

Aku berdeham. Moccachino disesap sedikit dan aku memulai ceritaku.

"Satu cerita yang perlu kamu tahu, aku datang ke sini sebenarnya diam-diam. Suamiku sama sekali tidak mengetahui ini. Maka dari itu aku selalu pulang terburu-buru untuk mengejar waktu sebelum dia pulang dari pekerjaan." Selintas wajah suamiku terlintas. Aku mengepal tangan erat-erat, karena demi apapun aku amat membencinya. Aku ingin lepas darinya dan hidup bebas. "Aku datang ke sini sebab merindukan kebebasan yang dia rebut dariku. Aku dikekang aturan konyol darinya yang mengatakan aku tak boleh pergi keluar kalau tidak bersamanya, sedangkan dia begitu sibuk sehingga keluar rumah seperti mitos."

Coffee MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang