Tegukan Keduapuluh, R

1K 237 10
                                    

Kalau tidak salah, terakhir kali aku datang ke cafe seminggu yang lalu, namun rasanya seperti sudah lama sekali aku tidak menjejaki tempat ini. Barista yang biasa membuat pesanan terlonjak di kursinya setelah melihatku. Aku tertawa. Dengan dramatis dia menghampiriku dan bertanya kemana saja aku selama ini sampai tidak datang seminggu. Haru terasa pada lubuk hati ketika dia mengatakan merindukanku. Makin saja aku tertawa. Padahal yang sering datang bukan hanya aku, pasti ada yang lain ̶ termasuk Jeno. Spontan aku bertanya kepadanya apakah Jeno tetap datang ke sini. Barista itu menjawab, terakhir Jeno datang juga seminggu lalu; datang waktu sore pulang hampir larut. Aku membeku. Dugaanku benar kalau Jeno menungguku sampai selama itu. lekas aku mengucapkan terima kasih padanya dan membawa nampanku terburu untuk ke lantai dua. Meja kotak itu sepi. Panas terasa di mataku dan air mata siap meluruh. Biasanya ada Jeno di sana menunggu sambil menatap keluar. Sewaktu aku duduk tidak ada sambutan atau lambaian tangannya. Hanya ada kekosongan di depan mata. Kursi yang Jeno tempati hampa. Hatiku ikut hampa. Cepat-cepat aku hapus air mataku karena Jeno berpesan kepadaku (lewat suamiku) untuk tidak menangis. Aku memaksa senyum.

Amplop biru pudar terbebas dari pengapnya saku. Gemetar tetap terasa pada tangan ketika aku menggenggam kertas itu. Namaku tertulis dengan baik di sana. Tertulis dengan tinta hitam yang amat cantik setiap lekuk hurufnya. Sejenak aku membayangkan ada Jeno di hadapanku, menulis surat ini sambil menatapku. Hangat namun sesak. Sebab di dalam sini pasti bukan surat berisi kebahagiaan.

Sebelum membuka perekat dari amplop. Aku melamun. tanganku menopang kepala dengan pandangan lurus seakan ada Jeno di hadapanku tengah tersenyum sampai bulan sabit terbentuk pada mata. Senyum terindah yang pernah aku lihat. Bulan sabit terindah lebih dari bulan sabit sebenarnya. Mataku memburam, lekas diseka karena teringat permintaannya.

"Dia bilang, kamu tidak boleh menangis."

Aku membayangkan Jeno mengatakan itu langsung kepadaku. Namun, mataku semakin memburam lantas air mata jatuh tanpa sengaja. Aku seketika lupa dengan permintaan Jeno karena air mata makin berlomba-lomba untuk jatuh. Aku menangis tanpa suara.

Lipatan kertas yang tersembunyi dibalik amplop biru pudar aku ambil perlahan. Kertasnya putih. Bau kertas menguar beserta aroma parfum segar khas dirinya. Aku semakin terhimpit sesak akan rindu yang tak bisa tersampaikan. Jemari bergetar, kertas terbuka. Tulisan cantiknya memenuh kertas. Dengan perasaan tak menentu, aku mulai membaca.

Untuk, Renjun.

Aku masih teringat saat pertama kali kita bertemu. Waktu itu kamu membuatku begitu penasaran sebab selalu melihat keluar jendela tanpa ada pergerakan sedikitpun. Selintas pertanyaan dibenakku, "Apa yang ada di pikiranmu?" Hari pertama bertemu aku ingin menghampirimu namun seratus niatku dikalahkan oleh seribu ketakutanku. Aku kehilangan kesempatan untuk mengajakmu mengobrol karena kamu sudah terlanjur pergi. Di hari kedua barulah aku berani menghampirimu. Akhirnya kita bertukar obrolan namun harus berakhir karena suamimu menunggu. Saat itu aku langsung kecewa. Aku berniat untuk menjauhimu namun tidak bisa. Jadilah aku tetap duduk di hadapanmu, menemanimu yang terjebak sepi.

Lalu aku mengetahui namamu. Renjun. Nama terindah yang pernah aku dengar. Nama terindah seperti pemilik nama. Kemudian kita menjadi teman, dan kamu mengusulkan nama 'coffee mate'. Aku mengusulkan untuk saling bercerita bukan hanya sekedar usul, tapi ada sebab. Aku ingin kamu bercerita tentang hal yang membebani hatimu. Syukur, kamu ingin bercerita sehingga kamu tidak menampungnya sendirian, lagi.

Perlahan aku sadar bahwasannya pertemuan denganmu menumbuhkan rasa dalam hati. Aku tidak bisa mengindar dan akhirnya aku jatuh cinta. Namun kenyataan kamu sudah dimiliki seseorang membuatku ingin menghapusnya. Aku tidak ingin mengulang kejadian yang pernah aku alami beberapa tahun lalu. Aku menyembunyikan perasaan ini tapi ternyata kamu juga memilikinya. Aku tidak bisa senang karena kita saling jatuh cinta di waktu yang salah. Suamimu lebih berhak dicintai olehmu daripada aku yang hanya pengganggu. Aku amat merasa bersalah untuk itu. sampaikan maafku pada suamimu, ya?

Renjun, aku ucapkan banyak terima kasih kepadamu atas hari-hari yang kita lalui di café itu. Terima kasih karena kamu sudah menjadi temanku. Terima kasih sudah ingin berbagai cerita denganku. Terima kasih karena sudah membuatku jatuh cinta. Terima kasih untuk segalanya. Jangan salahkan dirimu karena ini. Kamu tidak salah sama sekali. Jangan menangis. Air matamu begitu berharga untuk jatuh untuk pendosa ini. Simpan itu. Jatuhkanlah karena kamu bahagia, bukan karena sedih melanda.

Maaf, aku memutuskan untuk menjauh karena aku tidak ingin mengganggu pernikahanmu. Juga, aku membantu suamimu yang ingin dicintai olehmu seperti kamu mencintaiku. Bantulah dia dengan mencintainya. Aku yakin kalian akan menjadi pasangan yang bahagia.

Renjun, namamu indah. Aku ingin menyebutnya lagi dengan bibirku.

Renjun, aku harap kita tidak bertemu lagi.

Aku harap kamu selalu bahagia, karena kebahagiaanmu juga kebahagiaanku.

Aku sangat mencintaimu.

Selamat tinggal.

Dari aku, Jeno.

Setetes, disusul tetes lain. Air mataku jatuh membasahi kertas sampai tinta memudar. Kertas diremas seperti hati yang diremas sebab kata-kata yang Jeno buat. Kesakitan terasa di setiap kata dan tersampaikan tidak kira-kira. Aku menunduk. Sama sekali tak bisa menatap ke depan lagi karena takut terbayang akan Jeno di sana, memuncakkan rasa rindu kepadanya.

Aku harap kita tidak bertemu lagi, seperti ditebalkan olehnya sehingga aku terus terbayang kata-kata itu. Dia benar-benar tidak ingin bertemu denganku lagi, tertulis oleh tangannya sendiri. Baik. Aku menghembuskan napas. Americano semakin pahit di lidah. Aku tatap kursinya begitu dalam. Aku mencoba menerima keputusanmu. Jeno menjauh, itu yang dia mau. Sekalipun ada Jeno di sini dan aku menentang keputusannya, pasti hasilnya akan sama saja. Menyorak ketidak-ikhlasan pun pasti tidak akan berguna. Maka, tidak ada pilihan lain selain ikhlas dan mencoba menerimanya.

Keputusanmu, aku terima.

Tapi, Jeno, biarkan aku membalas suratmu. Walau kecil kemungkinan kamu menerima surat ini, setidaknya aku lega. Ada banyak yang ingin aku ungkapkan, sekaligus ucapan perpisahan seperti yang kamu tuliskan di surat. 

Coffee MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang